01. Kompositum Rasa

19.1K 1.1K 116
                                    

"Ada yang rusak oleh waktu, ada pula yang pulih karena waktu."

° ° °

GESA baca tulisan dalam sebuah cangkir kopi yang baru saja dia beli. Asap dari pekatnya kopi itu masih mengepul tipis. Bahkan, genggaman Gesa bisa merasakan sepanas apa cairan berkafein tinggi itu.

Kopi sederhana dalam cangkir yang terbuat dari karton berpadu dengan sore hari dalam ruangan sunyi. Kopi hitam itu menjadi cangkir ketiga bagi Gesa untuk menukas harinya. Bukan karena Gesa begitu memuja kopi hitam, tapi dia menanti setiap kalimat yang cangkir kopi itu bawa. Sudah banyak kalimat yang Gesa baca, tapi kali ini kalimat itu mengusik hatinya.

Mungkin benar. Ada yang rusak oleh waktu, ada pula yang pulih karena waktu. Jika bertanya di mana posisi Gesa saat ini, Gesa tak tahu ke mana harus mencari jawaban. Mungkin sudah pulih, atau mungkin semakin rusak karena waktu.

Namun, satu hal yang kini Gesa pahami. Ternyata, waktu tak pandang bulu untuk enggan menunggu. Hampir 3 tahun waktu telah berlalu, tapi Gesa menyiakan-menyiakannya dengan berjalan di tempat yang sama. Lebih dari seribu malam Gesa lewati sendirian. Mengulang kembali setiap kenangan yang tidak dia miliki. Menuai kembali setiap duka yang tidak dia tinggalkan. Kemudian, berakhir dengan luka yang ternyata belum sembuh.

Gesa letakan cangkir kopi itu di atas meja, kemudian duduk bersandar di atas kursi kebanggannya. Perlahan, sepasang manik legam itu tertarik pada ponsel hitam ber-wallpaper seorang gadis kecil, gadis mungil berbaju biru muda.

Rasanya, baru kemarin sore Gesa meninggalkan putri kecilnya. Rasanya, baru kemarin sore pula Gesa berlutut dalam pusara pelebur kebahagiaan. Kini, bayi mungil itu sudah menjadi gadis kecil. Senyumannya begitu cantik nan polos. Bibirnya mungil dengan mata bulat bagaikan sepasang manik legam dalam kelopak bunga. Sungguh, tatapan indah itu bahkan ingin Gesa miliki selamanya. Terbayang dengan indah bagaimanna putri kecilnya berlari. Terdengar dengan merdu bagaimana malaikat kecilnya merengek memanggil sebutan ayah untuk Gesa.

"Ayas ... putri ayah."

Gesa bergumam pelan, mengecap kembali panggilan sayang yang dia berikan untuk putrinya. Demi Tuhan, Gesa hanya mampu menawar hatinya melalui potret. Menjaga dari kejauhan, merindu melalui jeda, juga mencinta dalam interval jarak dan waktu.

Bukan Gesa tak kuasa untuk bertemu, tapi ada janji yang harus dia tepati.

Tiba-tiba, ketukan pintu mengalihkan perhatian Gesa. Dia pandangi pintu kaca di hadapannya. Samarnya pasir kuarsa itu tidak mengizinkan Gesa untuk menerka siapa yang berdiri di balik pintu. Hanya siluet seseorang yang bisa netranya pandang.

Gesa beranjak dan melangkah mendekati pintu itu. Perlahan, dia putar kunci pintu yang mengurungnya sejak pagi. Figur seseorang berdiri dari balik pintu, seorang perempuan berkemeja putih lengkap dengan rok hitam dan id card yang mengalung di ceruk leher layaknya seorang karyawan.

"Selamat sore, Pak Gesa. Saya hanya mau memberikan laporan sebelum pulang," begitu katanya. Dia Jessyra, gadis muda berambut panjang yang baru beberapa bulan bekerja bersama Gesa.

"Oh, iya." Gesa mengangguk, lalu melangkah dan memberikan jalan untuk Jessyra masuk ke dalam ruangan.

"Venue acaranya sudah siap, Pak. Dekorasi juga mulai dipasang. Untuk kudapan sudah dipesan jauh-jauh hari. Oh ya, karena kita tidak meminta bantuan EO, jadi kita harus cari sendiri untuk pemandu acara. Kata Pak Mada, beliau yang akan mencari sendiri." Jessyra mulai mengabsen setiap hal yang sudah dia kerjakan selama beberapa hari terakhir. Gadis itu juga membuka ponselnya, memastikan tidak ada yang terlewat. Sedangkan, Gesa hanya mengagguk-anggukan kepalanya, mencerna setiap ucapan dari karyawannya itu.

MENGULANG HARGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang