• Dia Pergi •

5K 725 60
                                    

Happy Reading <3

Sorry for typo

Manik Lisa menembus jauh kaca jendela apartemennya. Langit malam menghiasi pemandangan. Hari benar-benar sudah sangat larut dan malam ini adalah hari terakhirnya di negeri itu. Detiknya meninggalkan dan mengubur semua mimpinya.

Lisa tau dia akan sedikit menyesal melakukan ini. Menyesal karena melepas impiannya sejak dulu, tapi setidaknya dia juga melakukan hal benar ... mempertahankan kehidupan anaknya yang tengah dia kandung. Sungguh tak ada yang lebih berharga daripada merasakan janinnya tumbuh.

Tak pernah sedikit pun Lisa berpikir dia akan mengalami kejadian ini, tapi percayalah karena ketika masalah ini menghampirinya, Lisa berusaha untuk lebih kuat lagi setelah pertempuran trainee. Dia juga yakin pada dirinya, setelah bongkahan rintangan yang telah dia lewati sebagai seorang trainee idol, gelombang ini pasti bisa dia lewati juga.

Lisa tak ingin menangis lagi. Dia tak ingin membuat anaknya di dalam sana merasakan kesedihannya.

Lisa menundukkan wajahnya dan mengusap perutnya yang masih rata. "Jangan khawatir, sayang, aku akan selalu ada untukmu, anakku. Kita akan terus bersama melewati hari besok dan seterusnya."

Tas punggung hitam terletak di atas sofa bak bukti dia benar-benar akan pergi, tapi Lisa hanya membawa barang yang perlu dia bawa, selebihnya dia tinggalkan di tempat itu.  Tak lama dari ucapannya, dering ponsel menyentak Lisa dari lamunannya. Dia mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo ..." Lisa menyapa dan diam sejenak seakan membiarkan lawan bicaranya berbicara. Sudut bibirnya sedikit tertarik. "Baiklah, aku akan segera turun," tandasnya dan panggilan dimatikan.

Lisa mengamati dalam-dalam setiap sudut apartemennya untuk terakhir kali. Tempat ini yang telah menjadi tempat tinggalnya selama berada di negeri tersebut, dan dia akan tinggalkan untuk selamanya.

Secarik kertas putih Lisa letakkan di atas meja dekat pintu masuk dan kemudian dia pergi.

• • •

Musik di ruangan latihan itu berhenti saat Maxie memberi kode pada salah satu staff di sana. Dia kesal, ya dia sedang kesal, karena Jeka terus melakukan kesalahan selama latihan bahkan berulang kali. Dan entah sudah berapa lama mereka mengulang, tapi sungguh Maxie dan yang lainnya sudah lelah.

Pemuda itu mendekati Jeka dan sedikit mendorong tubuh kawannya itu. "Jeka, apa yang terjadi denganmu?" Intonasinya terdengar sedikit kasar, ekspresi jengkel tak terhindar dari raut Maxie ketika menatap Jeka. "Fokus tolong fokus. Kita akan tampil di acara besar."

Jeka menepis tangan Maxie. Jeka diam, tak bersuara, tapi tatapannya seakan ingin menghajar wajah menyebalkan Maxie sejak tadi.

"Jek, kau merasa bersalah bukan? Membunuh anak yang tidak bersalah sama sekali." Bryan bersuara. Sejak tadi dia memang ingin menghakimi Jeka dengan perkataannya.

"Brengsek!" Jeka hendak menghajar Bryan, tapi Wycliffe dengan cepat menahannya. "Tau apa kau dengan urusanku?"

"Tau apa?" Bryan mendecih. "Lisa temanku, brengsek. Jika aku tau hal ini terjadi, aku tidak akan pernah mengenalkan dia padamu!"

"Yak guys, apa-apaan ini?! Apa kalian sudah gila?" Jeffrey setengah berteriak. "Bryan, lagipula Jeka tidak meninggalkan Lisa. Mereka masih bersama. Jangan membuat masalah lagi, tolong jaga kekompakkan kita."

Jeka memandang pada semua rekannya bahkan staff yang ada di ruangan tersebut. Dia menghela napas dan berderap meninggalkan ruangan itu sembari sedikit menyenggol lengan Maxie.

ɴᴏᴛ ʏᴏᴜʀ ꜱᴏɴ • ʟɪꜱᴋᴏᴏᴋTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang