Jayden baru saja tiba di Jakarta. Dia benar-benar kepikiran dengan ucapan Julian. Sebab sebenarnya, dia juga ingin cepat-cepat menikahi si wanita. Namun restu orang tuanya penting juga."Halo? Sayang, aku sudah sampai."
Iya, bagus kalau begitu.
"Aku siap-siap kerja dulu. I love you!"
Allright. See you!
Julian langsung mematikan panggilan. Membuat Jayden jelas merasa tidak enak. Apalagi Julian tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Karena wanita itu hampir tidak pernah marah di depannya. Hanya kemarin saja, karena mungkin Julian sudah terlalu lama bersabar. Sebab Jayden tidak pernah menujukkan keseriusan.
Jayden mulai menarik nafas panjang. Sebelum akhirnya bersiap masuk kerja. Karena dia harus menggantikan si ayah untuk rapat pada dua jam yang akan datang.
5. 30 PM
Hari ini Jayden pulang ke rumah orang tuanya. Membuat mereka bingung tentu saja. Sebab jarang sekali si anak pulang di saat besoknya masih harus kerja.
"Jayden mana, Ma?"
"Masih mandi mungkin saja. Itu dia!"
Jayden mulai menuruni tangga. Lalu menuju meja makan. Berniat ikut bergabung makan malam bersama orang tuanya. Sebab dia ingin membicarakan soal Julian pada mereka.
Makan malam berlangsung seperti biasa. Hingga akhirnya Jayden tiba-tiba saja bersuara. Saat mereka sama-sama selesai makan.
"Aku akan menikahi Julian, Ma, Pa."
"Dia hamil? Kamu yakin itu anakmu, Jayden?"
Jayden menatap marah ayahnya. Sebab dia tampak begitu merendahkan Julian. Sama seperti ibunya dan beberapa orang di luar sana.
"Mama tidak akan setuju! Silahkan nikahi dia! Tapi kamu tidak akan mendapat restu!"
Ibu Jayden tampak ingin pergi dari ruang makan. Namun Jayden langsung berbicara. Membuat wanita itu langsung membeku seketika.
"Aku akan tetap menikahi Julian ada ataupun tanpa restu kalian. Dia orang baik, Ma, Pa! Tidak bisakah kalian melupakan masa lalunya? Kalian sudah tahu apa itu love bombing, kan? Julian tidak bisa lepas lebih cepat karena dulu dihujani banyak cinta! Padahal itu hanya cara Meghan untuk memanipulasi Julian! Aku benar-benar mencintai dia, Ma, Pa! Aku tidak bisa meninggalkan Julian!"
Jayden langsung bangkit dari duduknya. Lalu pergi dari rumah. Sembari mendial nomor Julian yang sejak siang tidak aktif entah karena apa.
6. 10 PM
Di tempat lain, Julian sedang berada di rumah Jake dan Carla. Karena di sana ada Hilda dan Sania. Sehingga dia ikut ke sana untuk reunian juga.
"Julian, ponselmu di mana? Jayden cari kamu. Ponselmu tidak aktif katanya!"
"Low bate ternyata. Aku charger sebentar."
Jake mengangguk singkat. Lalu kembali ke ruang kerja. Sebab istri dan anaknya sedang bersenang-senang dengan mereka.
Julian langsung mengisi daya ponselnya. Lalu kembali bercanda bersama teman-temannya. Hingga tengah malam dan mereka sudah bersiap tidur bersama.
"Kamu menginap, kan?"
"Iya. Anak-anak menginap, bisa dincincang aku kalau pulang!"
Julian terkekeh pelan. Sedangkan Carla mulai menatap sendu dirinya. Sebab dia tahu jika si sahabat tengah memiliki masalah sekarang.
"Kalian bertengkar, ya?"
"Tidak."
"Bohong! Jake diteror Jayden. Katanya kamu tidak bisa dihubungi sejak siang tadi. Ada apa? Tidak biasanya kamu seperti ini."
Julian menarik nafas panjang. Dengan mata berkaca-kaca. Karena berniat bercerita.
"Sepertinya aku akan putus saja. Orang tua Jayden tidak suka aku sampai sekarang. Bukannya tidak mau usaha. Tapi, aku saja selalu dilarang saat mau ke Jakarta. Sebenarnya wajar, karena dia pasti malu juga. Ah---seharusnya aku tidak menangis sekarang!"
Julian mulai menyeka air mata. Sedangkan Carla mulai memeluknya. Sebab saat ini mereka sedang berada di kamar mandi berdua. Karena Carla sedang buang air kecil dan dibantu oleh Julian.
"Apapun keputusanmu. Aku akan mendukung. Kamu masih punya aku, Hilda dan Sania. Kita tidak akan meninggalkanmu Julian."
Julian mengangguk singkat. Air matanya juga sudah berhenti sekarang. Sebab dia sudah bisa berdamai dengan keadaan. Namun tetap saja, dia sedikit merasa sedih jika harus putus dalam kurun waktu dekat.
3. 30 AM
Julian yang sedang tidur tiba-tiba saja harus bangun saat Hilda mengguncang tubuhnya. Mengatakan jika pacarnya datang. Padahal, pria itu baru kembali ke Jakarta kemarin pada jam lima.
"Bangun! Pacarmu datang!"
"Serius?"
"Seribu rius! Eh! Eh! Cuci muka dulu sana!"
Julian langsung ke kamar mandi sebentar. Lalu menemui Jayden yang sudah duduk di atas sofa. Karena menunggu kedatangannya.
"Ada apa?"
Jayden langsung bangun dari duduknya. Lalu menatap Julian yang wajahnya masih basah. Karena dia baru saja mencuci wajah.
"Kenapa nomormu tidak aktif sejak siang? Aku khawatir, Sayang."
Jayden berusaha mendekat. Namun Julian mundur satu langkah. Seolah enggan didekati si pria.
"Jayden, ayo putus saja! Aku baru sadar jika selama ini terlalu memaksakan. Seharusnya aku sadar diri lebih cepat. Karena hubungan kita tidak memiliki masa depan."
"Julian! Apa-apaan yang kamu katakan!? Tidak! Aku tidak mau putus! Aku tidak peduli jika---"
"Kamu memang tidak peduli. Tapi aku peduli. Karena jika jadi orang tuamu, aku juga tidak akan merestui kamu bersama wanita sepertiku. Selama ini kamu juga pasti malu, kan? Jujur saja, aku juga tidak akan marah. Karena jauh sebelum kamu malu padaku, aku juga sudah terlebih dahulu malu pada diriku. Ayo akhiri saja! Kita sudahi hubungan tidak jelas kita!"
Julian langsung kembali ke kamar tamu. Dia menangis saat itu. Sebab harus memutuskan hal besar demi kebaikan pria itu.
Jake yang diam-diam menguping juga mulai mendekati Jayden. Menghibur si sepupu yang tampak kalut. Sebab dia tahu jika Jayden tidak seperti itu.
Tidak malu dengan masa lalu wanita itu. Namun karena Jayden tidak ingin Julian disakiti siapapun. Tidak ingin wanita itu merasa sakit hati karena ucapan orang luar yang tidak tahu apapun.
END.
Kayaknya bakalan too good too be true kalo hubungan Jayden + Julian gak ada rintangan. Jadi bakalan aku cut sampe di sini aja. Tapi, aku bakalan buat sequel cerita mereka di work yang selanjutnya.
So, stay tune, ya!!! Follow akun ini supaya nggak ketinggalan!!!