Terjebak Macet (2)

885 105 4
                                    

Vina berdiri di depan pintu ganda tebal berwarna coklat dengan satu pintu telah terbuka. Dia alihakan keterkejutannya saat melihat anak kecil dibelakang atasannya itu. Dengan cepat  berjalan melewati Alwyn, menuju ke arah security,  mengambil semua barang yang dibawa staf keamanan yang bertugas di lantai paling bawah itu. kemudian membawa semua barang itu  ke dalam ruangan kerja atasanya yang tidak sembarang orang bisa masuk kesana. 

“ Makasih pak, bapak boleh kembali ke bawah “ ucap Vina sambil tersenyum ramah pada sang  satpam yang langsung mengangguk patuh, berbali badan menuju lift yang berbeda dari lift yang dia naiki bersama atasannya tadi. 

Setelah melewati lrong sepi berjalan karpet, Alwyn membuka pintu tebal di samping kanan dan mempersilahkan Lio dn Vina masuk kedalam ruanng kerja pribadinya. 

Ruang kerja pribadi Alwyn cukup luas, dinding kaca tebal menghadap kejalanan memperlihatkan gambaran kawasan ibu kota yang padat dan terlihat kecil dari atas gedung. Ada meja besar berbahan marmer gelap dengan di topang tiang besi  mengkilat dan kursi kerja tinggi berbahan kulit berwarna senada yang menjadi fokus utama dari ruangan itu. di belakang kursi kerja terdapat rak buku menggantung berwarna gelap dengan pintu kaca geser, penuh dengan arsip-arsip tebal. Tepat dibawah rak buku, lemari berbahan kayu jati tebal berwarna senada. Ada sofa set berwarna coklat dengan lengan tinggi dan sandaran yang tegap berkaki-kaki tinggi.  Dihadapannya terdapat dua meja kopi yang digabungkan menjadi satu. Karpett berwarna abu-abu  menyelimuti seluruh ruangan, dengan dinding tebal dan kedap suara. 

“ Saya letakkan disini ya pak “ ucap Vina, setelah wanita itu meletakkan semua kantong plastik di atas meja kopa yang dilingkari sofa tempat dimana dia menaruh ransel milik anak atasannya itu. 

“ Iya , ada kabar dari orang pusat kapan Pak Kemal datang ? Lio ! duduk  disini “ tanya Alwyn tanpa melihat asisten kantornya itu, pria itu sudah duduk di sofa meraih salah satu plastik dan mengeluarkan isinya . 

“ Katanya jam setengah dua pak, setelah Pak Kemal habis makan dan istirahat siang “ jawab Vina, matanya melirik anak kecil yang menurut ketika dipanggil atasannya itu. anak itu mendekat dan kini duduk di sofa disamping Alwyn. bola matanya bergantian melirik wajah ayah dan anak itu, sedikit terpana dan kagum bagaimana atasaanya yang terkesan dingin dan apatis selama ini ternyata sangat lembut dan hangat dihadapan anak itu. 

Alwyn mengangguk, kemudian dia mengangkat wajahnya bingung menatap asisten kantornya itu masih berdiri tidak jauh dari seberang meja. Dia tidak nyaman jika aktivitas di ruangan pribadinya melibatkan orang-orang asing. 

“ Vina tolong panggilkan Anton dan tutup pintuya “  perintahnya  dingin. 

“ Oh--- iya-iya pak “ Vina gelagapan, dia salah tingkah karena katahuan melakukan sesuatu hal yang sangat tidak penting, tidak biasanya dia mau berlama-lama di ruangan ribadi atasannya ini kalau bukan untuk melihat sesuatu yang memang menarik rasa penasarannya terhadap anak kecil itu. wanita cepat berbalik badan dan ergi dari sana. Dalam hati dia mengutuk kebodohannya. 

“ Ini dimana  ? “ tanya Lio, anak itu sudah bergabung di sofa, duduk disebelah ayahnya. 

“ Di Kantor Papa ! “ jawab Alwyn, dia menatap wajah putranya lekat dan berpikir jika Lio sudah tidak marah lagi. Pria itu merasa lega. 

“ Kantor ? “  tanya Lio lagi dengan mata membulat, ipi mengembung manik coklatnya menajam seolah berpikir. Membuat Alwyn geli melihatnya. 

Office ! “ ucap Alwyn menekankan kalimatnya dekat dengan wajah anak itu. 

“ Ngapain kita disini ? “

“ Inikan tempat Papa kerja “

“ Kerja ? “

Alwyn berdecak menyungingkan senyum, dia mencoba membaca isi pikiran putranya itu. apa yang dikipikirkan Lio mengenai dirinya yang sering kali memberikan alasan bekerja setiap kali dia akan pergi dan datang dihadapan anak itu. 

“ Papa kerja disini ? “ tanya Lio, menirukan bahasa tubuh layaknya orang dewasa yang justru terlihat lucu dan menggemaskan. 

Alwyn mengangguk meyakinkan anak itu sebagai jawaban. Melihatnya Lio diam, matanya menata lekat ayahnya sambil memikirkan sesuatu yang sepertinya agak slit untuk anak itu pahami. Kemudian dia berdecak kesal karena tetap saja tidak mengerti. Yang justru mengundang tawa bagi Alwyn yang merasa lucu melihat ekspresi anak itu. 

 “  Papa buka ini aja ! “ ucap Lio kesal, tidak ingin membicarakan apapun lagi selain dirinya lapar. Menyerahkan bungkusan kecil warna-warni yang bertangkai putih. 

“ Makan permennye setelah kamu makan roti “ Jelas Alwyn lembut agar Lio menuruti perintahnya dan mengerti bahwa ini demi kebaikkan anak itu sendiri. sebenarnya dia membeli aneka ragam makanan gula penuh warna itu supaya bisa membujuk Lio untuk berhenti marah ketika di mobil tadi. pria itu mengambil salah satu roti di dalam kotak hijau bergambar menara Eiffel

Tidak banyak bertanya dan menolak, Lio sepertinya tidak keberatan atas permintaan ayahnya itu. meletakkan kembali permen ke atas meja. Anak itu menerima bungkusan roti isi keju yang sudh dibuka oleh ayahnya, kemudian melahap isinya. Alwyn  menatap Lio dan memastikan anak it makan dengan benar. Karena jangan sampai ibu dari anak itu mengira kalau dirinya tidak serius menjaga Lio selama wanita itu fokus menjalani konsultasi. 

“ Nanti Papa keluar sebentar, Lio nggak apakan tinggal disini ? “ tanya Alwyn penuh kehati-hatian, nadanya lembut seperti memohon agar anak itu mau menurutinya. 

Mendengar itu, Lio berhenti mengunyah. Menjauhkan rotinya dari mulut, anak itu menatap sang ayah. Matanya berkedip-kedip polos. 

“ Kemana ? “

“ Papa ada urusan kerja dan sangat penting, kamu disini sambil nonton. Maukan ? “

“ Lio sendirian ? “

“ Mau Papa panggilkan Vina, Tante yang diluar tadi, namanya Vina “ Jelas Alwyn. 

Lio menggeleng cepat dengan wajah resah tidak setuju dengan usulan ayahnya itu. dia berdecak sebal. 

“ Terus gimana Lio ! Papa harus keluar. Ini penting ! “ ucapnya memohon. Pria itu menatap ponselnya sejenak dengan wajah risau. 

“ Kamu boleh main tab sepuasnya, nonton apapun juga boleh “ tawar Alwyn. 

Lio menatap dingin ayahnya, sebenarnya dia juga sudah terbiasa tinggal sendirian tapi itu terjadi saat dirinya berada di rumah. tapi saat ini dia merasa berada di tempat asing, tempat yang baru pertama kali dia kunjungi. Mencoba meyakinkan diri bahwa dirinya akan aman ditempat ini seorang diri, matanya berpendar mengitari ruangan. Dimata Lio ruangan itu sangat sepi, namun juga sangat terang karena pantulan cahaya yang masuk dari dinding kaca, membuatnya dapat langsung melihat langit dan jalanan dibawah sana. Tapi itu bukan alasaanya untuk merasa dekat dengan ruangan itu, kemudian matanya menangkap jajaran foto yang berdiri di atas lemari diawah rak buku. Ada foto ayahnya sewaktu muda dan terdapat wajah kakeknya juga disana. dan matanya berhenti kala menemukan wajahnya sendiri dalam bingkai kecil di atas meja. Dia tidak ingat kapan foto itu di ambil, tapi dia ingat pemandangan dibelakang tempat dirinya berdiri di samping ayahnya yaitu lapangan pacuan kuda. Oh waktu itu pikirnya walaupun tetap saja dia tidak tahu kapan persisnya. 

Meluruhkan pundaknya, anak itu merasa kasihan pada sang ayah yang sedari tadi menatap dirinya menunggu jawaban. Akhirnya dia mengangguk pelan sebagi jawaban.

LOVE HURTS : Love In Regret From AlwynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang