Dalam usia 33 tahun, satu kali pun belum pernah Mirah rasakan nikmatnya orang jatuh cinta. Mirah hampir putuh asa. Setiap pemuda yang di dekati, mereka akan menjauh. Setiap lelaki yang di taksirnya, lelaki itu pergi. Mirah merasa hidup ini hanya segunung kesepian yang meratapkan duka. Pernah sekali waktu Mirah mencoba menarik simpati seorang tukang kredit yang bertubuh pendek, gemuk. Namun, lelaki tu pun segera menjauhi Mirah.
Seorang temannya pernah berkata, "Mungkin kau kena kutuk, sehingga tak laku kawin."Ada lagi yang berkata, "Barangkali kau perlu mengadakan selamatan, supaya nasib sial tidak melekat dalam hidup mu."
Mirah telah lakukan semua itu, nyatanya tetap tak ada yang mau mendekat, dan taka da yang mau di dekati. Kalau saja ia anak orang kaya, ia pasti akan melakukan operasi plastik pada wajahnya. Sebab, bekas teman SMA-nya penah berkata,
"Sebagai seorang gadis, wajah mu sama sekali tak menarik, Mirah. Mungkin karena kulit wajah mu yang bopeng, bekas cakar di masa kecil mu, sehingga kau tak punya daya tarik sama sekali bagi lelaki…"Mirah tak pernah bisa membantah. Setiap kali ia memandang wajahnya di cermin, ia selalu benci kepada cermin itu sendiri. Tapi dalam hatinya ia mengakui, bahwa ia punya cacat di wajahnya. Totol-totol bekas penyakit cacar di masa kecilnya merimbun menutupi wajahnya yang asli. Dan, itu sukar di hilangkan. Apalagi Mirah tidak memiliki hidung yang tergolong mancung, sukar sekali bagi Mirah untuk membentuk wajahnya menjadi cantik. Belum lagi jika harus mempertimbangkan masalah gigi yang sedikit tonggos, walau tak menyolok, itu sudah mengurang nilai kecantikan bagi Mirah.
"Kenapa setiap lelaki selalu memakai standart penilaian pada wajah?" pikir Mirah pada suatu malam. "Kenapa mereka tidak bisa melihat kelembutan hati ku? Jadi apa gunanya aku bersikap lembut, berkepribadian bijak, sabar, dan ah, semua itu tidak ada gunanya. Semua lelaki mempunyai penilaian pertama bukan pada hati, melainkan pada wajah."
Itulah sebabnya, Mirah menggunakan kesempatan yang ada untuk mempercantik dirinya. Sebuah buku semacam diary di temukan di sebuah gudang bawah tanah. Ketika itu ia masih bekerja pada sebuah art shop, tugasnya menaksir harga sebuah barang antik. Ia di percaya untuk menaksir nilai harga sebuah meja marmer yang telah lama di simpan di gudang bawah tanah oleh pemiliknya.
Waktu ia menuruni tangga batu yang menuju ke bawah, bulu kuduknya telah merinding beberapa kali. Ruangan itu lembab dan pengap. Di terangi oleh dua cahaya lampu bolham yang remang-remanag. Debu dan benang laba-laba terdapat di mana-mana, menambah seramnya suasana di bawah tanah itu. Pemilik hanya akan mengangkat meja marmer itu ke lantai atas apabila terjadi persetujuan harga.Nyonya Frans pemilik meja marmer berbentuk bundar itu. Konon, Nyonya Frans bekas istri seorang pelaut kebangsaan Haiti. Nama asli perempuan berusia 70 tahun itu adalah Aminah. Tai sejak zaman Revolusi ia sudah di kenal dengan nama panggilan suaminya: Nyonya Frans.
"Usia meja ini sudah cukup tua. Ini peninggalan kakek buyut saya." kata Nyonya Frans. "Pada zaman Dinasti Hang, meja ini sudah digunakan untuk kantor gubernuran."
"Yang membuat mahal suatu barang kuno bukan terletak pada usianya, Nyonya." kata Mirah. "Melainkan juga terletak pada keaslian dan keutuhan pada barang tersebut."
"O, meja ini masih utuh dan asli. Tak pernah mengalami kerusakan sedikit pun. Hm… tunggu sebentar, aku punya lukisan meja ini yang di kerjakan beberapa puluh tahun yang lalu. Hampir satu abad." Nyonya Frans segera pergi ke kamarnya yang ada di lantai atas.
Sementara itu, Mirah ingin mengikuti Nyonya Frans, tapi langkah kakinya sedikit ragu. Ia tak ingin di katakan sebagai gadis pengecut. Karenanya, ia biarkan Nyonya Frans yang sudah bungkuk itu meninggalkan gudang bawah tanah itu, dan Mirah mulai memperhatikan meja bundar dari marmer putih dengan garis tegah antara 1 meter itu.
Cukup berat juga meja itu. Bagian bawahnya juga terbuat dari batu marmer yang berbentuk kotak, tingginya antara setengah meter lebih.
Pada saat ia memeriksa bagian bawah meja karena sangsi ada keretakan di sana, ternyata ia justru menemukan semacam laci. Laci itu bukan seperti laci biasanya yang harus di tarik darri depan ke belakang, melainkan harus di tarik ke bawah ke atas. Waktu Mirah mencona menariknya, ternyata ia temukan sebuah buku yang sudah berdebu. Buku itu tebalnya kurang dari 10 cm. Tapi bagian luar buku itu terbuat dari semacam kardus tebal yang di laposi kain kusam dan lusuh. Sepertinya kain sejenis terpas tipis. Buku itu di ikat dengan kawat sehingga tidak mudah di buka.
Mirah tertarik, kendati pada saat ia memegang buku itu tengkuk kepalanya terasa ada yang meniup dari belaknag. Ia berpaling ke belakang, ternyata ia tidak menemukan siapa-siapa di belakangnya. Buru-buru ia membawa buku tersebut ke bawah salah satu lampu. Membukanya dengan hati-hati. Takut robek karena keusangan buku tersebut.Ternyata, buku itu berisikan tulisan-tulisan dengan tinta cair yang mulai buram. Bahasanya menggunakan Bahasa Indonesia ejaan lama. Buku itu semacam catatan harian seorang gadis, karena tulisan yang ada di situ seperti tulisan seorang gadis. Beberapa lembar buku itu di bukanya pelan-pelan. Salah satu lembarnya bertuliskan kata: Boenga Mimpi Anak Gadis.
Karena mendengar langkah kaki menuruni tangga, Mirah buru-buru memasukkan buku aneh itu pada tas yang di gantungnya di pundaknya. Ia langsung berpura-pura bersikap sedang meneliti meja marmer itu saat Nyonya Frans datang membawa lukisan kecil.
"Ini lukisan mejanya." kata Nyonya Frans sambil memperlihatkan lukisan itu kepada Mirah.
"Bagus. Mirip seperti aslinya." ucap Mirah.
"Jadi, bagaimana? Apakah kamu tertarik dengan meja ini?" tanya Nyonya Frans.
"Hmm… aku akan membelinya." jawab Mirah.
"Kalau begitu, sebagai bonusnya, aku akan memberikan lukisan meja ini pada mu." ucap Nyonya Frans.
"Terima kasih, Nyonya." ucap Mirah.
"Tidak perlu berterima kasih. Seharusnya aku yang berterima kasih. Mau bagaimana pun juga meja ini sudah memiliki usia yang sangat tua, jadi lebih baik jika di pergunakan oleh orang lain dari pada ku taruh di gudang bawah tanah seperti ini dn tidak digunakan sama sekali." ucap Nyonya Frans.
Setelah pembayaran selesai, Mirah pun membawa meja itu beserta lukisan yang di berikan oleh Nyonya Frans tadi. Tentu saja Mirah akan membelinya, karena meja itu masih memiliki kualitas yang bagus, utuh, dan juga usianya sudah lama. Peninggalan sejarah ini juga memiliki harga yang tinggi. Bisa di jual lebih tinggi lagi kepada orang lain yang berminat, apalagi kepada kolektor-kolektor barang antik seperti Mirah ini, pasti akan laku sekali di jual dengan harga yang lebih tinggi lagi.
***
Bersambung…
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorrorKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...