Yen Yen tertawa dalam gumam. "Aku nggak sangka kalau kamu akhirnya jadi sales bedak beginian."
"Usaha, Yen. Usaha kan apa saja boleh!" jawab Mirah, padahal dia bukan sales bedak.
"Ya, ya… menarik juga sih baunya. Coba ku pakai sedikit, Mir…!" ucap Yen Yen.
"Eh… hm… anu…" Mirah kebingunagan. Mulai grogi. Bagaimana cara menolaknya? Mirah tak ingin Yen Yen yang mengenakan bedak tersebut. Mirah tak ingin Yen Yen jadi korban.
"Apa nggak bisa di coba? Nggak boleh, ya?" tanya Yen Yen.
"Bukan nggak boleh, tapi… hm…" Aduh bagaimana Mirah harus menjawab? Bagaimana harus memberikan alasan yang tepat. Benar-benar Mirah di tempatkan pada satu sisi yang menyudut, sukar bergerak.
"Oke deh… aku nggak akan coba, tapi berapa harganya?" tanya Yen Yen.
"Hem… begini, Yen. Maksud ku, bukan nggak boleh di coba. Tapi… tapi ada satu bedak lagi yang lebih baik dan pantas untuk kulit wajah mu yang kuning langsat begini. Kalau bedak ini, sebenarnya khusus untuk yang berkulit sawo matang. Nah, seperti orang yang sedang di rias oleh pegawai mu itu pantas!" kata Mirah sambil menuding ke arah pelanggan yang sedang di rias oleh pegawai Yen Yen
"Kalau begitu boleh ku cobakan kepada langganan ku itu?" tanya Yen Yen.
"Oh, ya. Silahkan! Coba saja!" jawab Mirah semangat.
Akhirnya di temukan juga jalan untuk menghindari maut yang nyaris merenggut nyata Yen Yen. Kebetulan di situ ada pelanggan yang sedang pasang sanggul, lengkap dengan rias wajah. Sanggul sudah selesai di pasang oleh pegawai bertubuh kurus itu. Kini giliran wajah yang perlu di rias untuk menyeselaikan bentuk sanggul. Yen Yen sendiri yang merias wajah pelanggan itu. Ia membubuhkan bedak pemberian Mirah di wajah pelanggannya.
"Hm… baunya enak juga bedak ini, ya?" kata orang itu.
"Bedak baru, Tante. Luar negeri punya. Tuh, ada tulisan Paris di belakangnya." seraya Yen Yen menunjukkan tempat bedak pada bagian belakangnya.
Selamat sudah. Yen Yen tidak menjadi korban. Mirah sebentar lagi juga akan berubah menjadi cantik. Pelanggan itu, entah di mana rumahnya, tapi yang jelas dalam waktu singkat, wajahnya akan menjadi rusak, lalu menemui ajal secara mengerikan.
Mirah tidak mau tahu tentang hal itu. Tapi yang jelas, kepergian Mirah saat itu menghasilkan satu gagasan baru, bahwa ia harus membuka salon kecantikan untuk menjaring calon korban. Ia harus mengikuti kursus kilat, sekali pun itu cukup mahal.
Tetapi siang itu Mirah tak jadi masuk ke rumah. Ia melihat sebuah mobil Baby Benz hijau tua masih nongkrong di depan rumahnya. Celaka! Julio masih belum pulang juga. Padahal hari ini sudah siang. Sudah lewat dari jam 1 siang. Sedangkan wajah Mirah belum berubah. Masih kelihatan buruk, dan memalukan sekali jika harus bertemu dengan Julio.
Gawat. Lalu, harus ke mana lagi Mirah? Menunggu saat berubahnya wajahnya menjadi cantik memakan waktu cukup lama, terutama setelah orang yang memakai bedak itu wajahnya sudah menjadi rusak. Jika belum, maka belum juga wajah Mirah berubah menajdi cantik
Losmen. Yah, Mirah harus pergi ke sebuah penginapan dan menunggunya di sana. Penginapan yang cukup sederhana dan tarifnya pun murah, menjadi tempat persembunyan Mirah dengan wajah buruknya. Di dalam kamar penginapan itu, Mirah menunggu saat-saat yang sangat mendebarkan. Jantungnya berdetak-detak, dan benaknya menjadi resah memikirkan nasibnya. Andai saja korban itu tidak menjadi rusak wajahnya, mungkin karena satu kesalagan yang tak di sadari Mirah, lantas Mirah tidak berubah menjadi cantik. Ohhh… apa lagi yang harus ia lakukan?
Beruntung sekali kekhawatiran seperti itu tidak terjadi. Mirah tertidur, dan ketika bangun pada sore hari, ia buru-buru lari ke depan cermin, dan menemukan wajahnya telah berubah menjadi cantik lagi. Manis sekali. Mirah pun menghempaskan napas lega. Kini, ia bisa bebas berkeliaran ke mana saja tanpa takut kepergok orang yang telah mengenalnya sebagai perempuan cantik.Tepat ketika ia keluar dari penginapan itu, sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Mirah tersentak kaget beberapa saat. Julio menampakkan wajahnya ketika kaca pintu mobil itu di turunkan. Mirah benar-benar gugup, karena ia sadar bahwa keadaannya saat itu dapat menimbulkan praduga negatif.
"Sorry, Jul…! Aku sedang…" belum sempat Mirah menyelesaikan ucapannya, Julio sudah memotong dan berkata, "Aku tahu."
Julio masih berada di dalam mobil, dan Mirah berdiri di luar mobil dengan sedikit membungkukkan badan. Julio memandang Mirah dengan sorot mata yang tajam, seakan memendam kemarahan yang di tahannya kuat-kuat. Mirah sempat menggeragap dalam kebingungannya itu.
"Kau suruh aku menunggu di rumah mu seharian penuh, sementara kau bercumbu dengan langganan mu di penginapan itu, begitu?" kata Julio kesal.
"Jul, aku tidak mengerti maksud mu." kata Mirah dengan hati teriris-iris. Ia menahan tangisnya agar tidak meledak di situ.
Julio tidak mempunyai senyum sedikit pun di sudut bibirnya. Ia juga tidak menyuruh Mirah untuk masuk ke dalam mobil. Ia memperhatikan penginapan tersebut, sejenak kemudian beru berkata lagi, "Di bayar berapa kau di situ?"
Mirah hanya menggigit bibirnya. Sakit sekali mendengar ucapan tersebut. Matanya mulai berkaca-kaca.
Julio berkata lagi, "Kalau kau jadi pelacur, jadilah pelacur terhormat! Jangan tanggung-tanggung."
"Aku bukan…" belum sempat Mirah menyelesaikan ucapannya, Julio sudah memotong dan berkata, "Terlambat!" tukas Julio. Mirah jadi berhenti bicara.
"Aku sudah tahu rahasia pribadi mu. Ku lihat dengan mata kepala ku sendiri. Dan, aku menyesal terhadap cara mu melangkah. Kalau kau mau, aku bisa menjual mu kepada boss-boss. Pasti laku. Uang mu pasti banyak!" lanjut Julio.
"Julio, ku mohon kau dengar penjelasan ku dulu." kata Mirah.
"Ku rasa sudah tak perlu. Semuanya sudah jelas, Mirah. Oke, kalau kau setuju dengan usul ku tentang boss-boss yang mampu membayar mu lima ratus ribu semalam, datang ke kantor ku. Aku tidak akan tanggung-tanggung membantu mu." kata Julio.Setelah bicara begitu, Julio langsung menjalankan mobilnya. Meninggalkan Mirah berdiri tersekap tangis. Ia menahannya kuat-kuat, tapi gagal. Tangis itu tetap meledak di pinggiran jalan. Ada beberapa orang yang memperhatikannya, tapi Mirah tidak peduli. Ia melangkah dengan gontai. Lemas. Yang di burunya adalah kecantikan, dan itu telah ia peroleh. Tetapi, yang ingin di suguh kecantikan itu justru pergi darinya.
Sambil melangkah di terkam duka, Mirah mencoba mencari jalan keluarnya. Haruskah ia ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada wajahnya? Oh, jangan! Julio bisa lari ngibrit. Lebih parah lagi. Ia harus bertahan menyimpan rahasia itu. Setidaknya, dengan modal kecantikan yang ada, hati Julio masih bisa di luluhkan, jika marahnya telah reda.
***
Bersambung…
Sampai jumpa.di chapter selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorreurKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...