Chapter 9 Kejanggalan Hati Mirah

23 12 3
                                    

"Kenapa tidak? Miliki saja sekarang." kata Hans.

Kemudian, Hans menyuruh pelayan untuk membungkus gaun tersebut. Hans sendiri yang membayarnya ke kasir. Mirah tersenyum menahan tawanya yang nyaris lepas terkikik.

Malam itu, Mirah berhasil mendapatkan sebuah gaun mahal dan gelang emas bermatakan berlian pada bagian tepiannya. Hans yang membelikan, dan itu sudah merupakan tanda-tanda tersendiri yang mencerminkan maksud hati Hans.

Namun ketika Mirah hendak masuk ke sebuah toko komestik, mendadak ia jadi terperanjat. Matanya terbelalak dan wajahnya menjadi tegang. Pucat. Di toko itu ia melihat beberapa pelayan berseragam ungu muda. Salah satu pelayan itu tampak wajah yang masih di ingat oleh Mirah. Wajah Sarmini.

Mirah merinding seketika, dan lidahnya kelu sesaat. Sarmini masih hidup? Bukankah ia sudah mati dalam keadaan wajahnya rusak sama sekali? Kenapa sekarang Sarmini menjadi pelayan toko dengan wajah lembut? Manis?

"Kenapa, Mir?" bisik Hans yang merasa heran melihat Mirah menjadi pucat dan mematung. Hans tidak tahu kalau jantung Mirah berdetak keras dan lututnya gemetar.

"Kau sakit?" bisik Hans lagi. Cemas.

"Hem... anu... tidak. Eh, iya... eh...!" Mirah gugup sama sekali.

Kemudian Mirah pun mendekati salah seorang pelayan, dan bertanya pelan, "Suz... maaf, pelayan itu namanya siapa?" seraya Mirah melirik orang yang mirip sekali dengan Sarmini yang saat ini sedang melayani nyonya.

Pelayan itu pun menjawab, "Dia pegawai baru. Namanya..."

"Kita pulang saja, Mir?" bisik Hans. "Kau kelihatan pucat sekali. Ayo..." Hans setengah memaksa, karena ia khawatir Mirah jatuh pingsan di situ. Mirah tak sempat mendengar pelayan itu menyebutkan nama orang yang mirip Sarmini itu. Ia bingung dan gelisah. Apalagi kali ini Mirah di bukakan pintu mobil oleh Hans, Mirah jadi makin bingung lagi.

"Masuklah. Biar ku antar kau pulang." kata Hans.

Mirah pun akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil BMW warna puih. Duduk di samping Hans yang mengendarai mobil itu dengan tenang.

"Teleponlah aku kalau kau butuh sesuatu, Mir." kata Hans sewaktu mereka tiba di depan rumah Mirah. "Mudah-mudahan kau lekas sembuh."

"Hem... ya, terima kasih semuanya Hans. Ku rasa... ku rasa aku tadi memang sedikit pusing." jawab Mirah.

Mirah memasukkan kartu nama diri Hans ke dalam dompetnya. Kemudian, ia pun melangkah memasuki halaman rumah setelah mobil Hans pergi.

"Borong apa kau, Mir?" sapa Samsi yang duduk di teras, sendirian.

"Ah, sekedar pakaian buat ganti-ganti saja kok." jawab Mirah sambil memperlambat langkahnya.

"Sofia ke mana, Sam?" tanya Mirah kepada Samsi.

"Pergi. Tadi ada susulan dari keluarganya Ummi, katanya..., Ummi meninggal." jawab Samsi.

"Hahhh...?!" Mirah terkejut. Memang benar-benar kaget. Setelah itu barulah ia ingat tentang bedak pemberiannya.

"Sama siapa Sofia ke sana?" tanya Mirah.

"Cuma berdua, dengan Winni." jawab Samsi.

"Ooo... kasihan si Ummi, ya..." seraya Mirah melangkah masuk ke pavilyunnya. Pikirnya jadi lebih menerawang lagi. Tengkuk kepalanya jadi merinding beberapa kali.
Malam menunjukkan pukul 11 lewat 20 menit. Sambil menggantungkan gaun yang baru di belinya, pikiran Mirah tertuju pada pelayan di toko komestik yang mirip Sarmini. Mirip sekali. Atau memang Sarmini? Ah, sayang pelayan tadi di tanya belum sempat menyebutkan namanya. Mirah jadi penasaran sendiri.

Mirah baru saja ganti pakaian, mengenakan gaun tidur yang terbuat dari kain tipis. Nyaman digunakan untuk tidur. Mendadak, terdengar suara tangis Nadia, adik Winni.
Mulanya Mirah tidak menghiraukan suara tangis Nadia, sebab itu sudah menjadi kebiasaan Nadia yang berusia 3 tahun itu, tiap malam pasti terjaga dari tidur dan rewel.

Tetapi, kali ini tangis Nadia berkepanjangan. Mungkin karena Sofia tidak ada di sampingnya, jadi Nadia merasa jengkel. Mengamuk seakan menuntut, mengapa ia tidak di ajak pergi seperti Winni kakaknya.
Waktu Mirah datang ke kamar Nadia, anak itu sedang di gendong Samsi, papanya, Agaknya Samsi kewalahan menenangkan Nadia. Bahkan sempat di bentaknya anak itu. Tangis Nadia semakin keras.

"Nan..., Nana, ayo ikut Tante saja...!" kata Mirah. Lalu, Nadia di ambil alih dari gendongannya.

"Cup cup cup... Sayang. Nggak boleh nakal ah. Ini kan masih malam. Kalau Nana teriak-teriak, nanti tetangga pada bangun terus marah-marah, bagaimana? Ayo, cup... ini Tante. Nana tidur sama Tante saja, ya?"

"Mama... mama..." Nadia masih menuntut untuk turut mamanya.

"Mama sedang beli obat nyamuk. Sebentar lagi juga pulang...! Cup, ah...! Kalau nangis terus, nanti Nana kelihatan kelek, lho. Yuk, ke kamar Tante Mia aja, ya?"

Sejak tadi Samsi meperhatikan Mirah yang bersikap lembut kepada Nadia. Malahan sekarang Nadia berhasil di bujuk dan berhenti dari tangisnya. Anak itu di bawa ke kamar Mirah, di gendongnya sesaat, lalu di letakkan di ranjang. Pantatnya di tepuk-tepuk.

"Ini dot botolnya. Biasanya dia cepat tidur kalau di beri dot botol." kata Samsi yang datang ke kamar Mirah.

"Nggak usah." bisik Mirah. "Dia sudah mau tidur."

Samsi tersenyum canggung. Matanya sempat memandang wajah cantik Mirah yang tengah membetulkan letak bantal yang akan digunakan untuk Nadia.

"Tinggallah... biar dia tidur di sini!" kata Mirah.

"Biar ku pindahkan ke kamarnya saja." Samsi langsung mau mengangkat Nadi, tetapi tangannya di pegangi oleh Mirah.

"Jangan! Baru saja ia tertidur." bisik Mirah, melarang Samsi mengangkat Nadi.

Pada saat itu tatapan mata mereka sempat beradu. Mirah jadi salah tingkah. Ia melepaskan pegangannya pada lengan Samsi.

"Tingallah sana, biar dia tidur dengan ku." seraya Mirah mengalihkan pandangan.

Samsi menghela napas. Ia justru duduk di tepi ranjang, mengusap-usap kepala Nadia. Lalu, berkata pelan, "Ku rasa kakak mu nggak pulang malam ini. Pasti besok baru pulang! Kalau tahu begitu, tak ku izinkan dia membawa Winni. Soalnya besok Winni sekolah."

"Yah... mungkin dia mau pulang cepat-cepat juga nggak enak sama keluarga Ummi. Ah, kasihan betul itu anak. Belum kawin sudah mati." balas Mirah.

"Makanya, kamu sendiri juga harus cepat-cepat kawin. Biar kalau kamu mati nggak menyesal." balas Samsi.

"Enak saja kamu!" Mirah bersungut-sungut. Samsi tertawa tanpa suara.

"Apa sih nikmatnya hidup sendiri begini, Mir? Kamu sudah lewat umur lho. Banyak tetangga membicarakan kamu sebagai perawan tua." ucap Samsi.

"Biar saja mereka bicara seenak mereka. Kenapa aku harus pusing memikirkan omongan mereka." jawab Mirah seenaknya saja.

"Jadi, kau tidak ingin menikah? Nggak kepingin punya suami? Huh... bodoh kamu! Punya suami itu enak. Kalau malam-malam, udara begini, ada yang memberi kehangatan!" ucap Samsi seenaknya juga.

Mirah menahan tawa dengan senyum yang menggairahkan. "Memangnya suami itu seperti kompor. Kalau cuma butuh kehangatan mah, ambil air panas, taruh dalam botol, terus di peluk, kan itu juga hangat!"

***

Bersambung...

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang