Chapter 18 Bioskop 21++

11 2 0
                                    

"Warning!!! Cerita ini hanya boleh di baca dengan usia 21++!!!"

"Untuk yang masih di bawah umur, di larang keras untuk membaca cerita ini!!!"

***

Danang mulai tersenyum, kemudian ia menghempaskan napas. Tangan kirinya jatuh ke paha Mirah, dan Mirah membiarkannya saja. Danang mulai berpikir, "Barangkali Mirah takut kehilangan aku lagi."

Mendadak, Mirah sedikit kaget ketika mobil berbelok ke arah lain. "Hei, kenapa belok ke sini, Nang?" tanyanya kepada Danang.

Dengan tersenyum ceria, Danang pun menjawab, "Aku ingin merayakan perdamaian kita ini di sebuah midnight show. Kau keberatan?"

Mirah hanya tertawa sambil merebahkan kepalanya di pundak Danang. Hati Danang menjadi kian cerah, dan segenggam keindahan itu pun kembali bermekaran di dalam hatinya.

Acara midnight malam itu mempunyai penonton yang hanya sedikit sekali. Namun dengan demikian, demi service, film tetap di putar. Danang jadi tertawa sendiri melihat penonton yang jumlahnya hanya 14 orang itu. Kebetulan dari keempat belas penonton itu, hanya dua orang yang bukan berpasangan. Selebihnya mempunyai pasangan masing-masing.

Satu hal yang menguntungkan Danang adalah posisi tempat duduknya paling belakang. Merapat dengan tembok belakang. Dalam bangku satu deretan dengannya, tak ada penonton lain. Demikian pula bangku dengan deretan depannya dari ujung kiri dampai ujung kanan, kosong. Deretan bangku ke tiga ada sepasang penonton, tapi mereka berada di pojok kanan, jauh dari Danang dan Mirah.

Kesempatan itu digunakan Danang memeluk Mirah, yang selama ini bermusuhan dengannya. Danang merasakan kemesraan yang terjadi malam itu, melebihi kemesraan yang sudah-sudah. Sepertinya suatu permusuhan yang telah berubah menjadi damai, terasa lebih damai dari saat-saat sebelumnya.

"Mir…" bisik Danang. "Sebenarnya selama ini, rindu ku dalam wujud kebencian pada diri mu. Tapi, setiap mejelang tidur ku, aku selalu gelisah memikirkan kamu. Aku sangat ingin memeluk mu seperti sekarang ini."

"Aku juga. Sebenarnya selama ini aku menahan rindu ku, memaksakan diri untuk membenci mu. Padahal di rumah aku sering merasa menyesal sendiri. Aku suka menangis jika ingat sikap ku kepada mu, Nang." bisik Mirah.

"Kau sungguh-sungguh, Mir?" tanya Danang memastikan.

"Kau perlu bukti?" tanya Mirah bagai sebuah tantangan. Danang hanya tertawa dalam desah, tanpa suara.

Film di putar, kebetulan tentang cerita roman yang masih belum banyak potongan sensornya. Makin panas saja dara para penontonnya, termasuk Danang dan Mirah.

Nyatanya, Mirah sendiri hanya bisa diam saja ketika tangan Danang menyusup di dadanya, menyentuh kepekaan yang paling ujung dari permukaan dadanya itu. Bibir Danang pun di sambut hangat oleh Mirah. Malahan sambutan itu lebih lincah ketimbang lidah Danang. Mirah bagai seseorang yang telah lulus mengikuti pendidikan, ia tau dan hafal betul bagaimana mendidihkan darah lelaki dalam kecupan lembutnya.

Tak peduli sampai di mana cerita film berlangsung. Sandaran jok yang empuk dan tinggi itu membuat tubuh mereka bagai tengelam di sana, saling bercumbu, saling mendesah lirih, dan saling berpacu dalam dengus napas yang memburu.

"Nang… kita pulang saja, yuk. Kau menginap di tempat ku." kata Mirah.

"Tidak, ah. Di sini saja, Mir." kata Danang.

"Ah, gila kau!" ucap Mirah.

"Kalau sedang begini, apakah ada yang waras?" tanya Danang.

Mirah mengikik seperti Danang. Kemudian ia membiarkan Danang meraba pahanya. Mirah sengaja membuka kesempatan lebar-lebar supaya jari-jemari Danang bisa menari lebih leluasa lagi. Bahkan kancing blus-nya di buka sendiri, kemudian ia membisik pada Danang dalam erangan lemah, "Ambillah…! Ambillah semuanya, Nang. Ohhh…!"

Danang menjadi seperti bayi yang membutuh kan Asi seorang ibu. Haus dan rakus, sukar di bedakan. Mirah yang menyaksikan pemutaran film itu, sebentar-sebentar memejamkan mata, menahan gejolak nikmat.

Beberapa saat kemudian, Mirah ingin menunjukkan kebolehannya dalam bercumbu. Dan kini, Danang sendiri yang terengah-engah sambil matanya berlagak memandang ke layar lebar. Ketika ia mencapai tujuan pelayaran cintanya. Mirah menggenggamkan kedua tangan kuat-kuat.
Lega rasanya hati Mirah. Tenang. Ia punya waktu satu hari untuk memperpanjang masa kecantikannya. Selanjutnya ia hanya duduk terkulai lemas di empatnya semula, sementara Danang masih sesekali menciumnya dan mengusap-ngusap lembut, yang menghadirkan desiran indah. Mereka menunggu saat film usai sambil menikmati sisa kemesraannya.

Saat itu, Danang sempat berbisik. "Aku mencium bau busuk, Mir…"

"Oh, ya?" Mirah mengendus-ngendus. "Ah, aku tidak mencium bau apa-apa itu." ucapnya.

"Aneh. Makin lama makin tajam bau busuk itu. Uhhh, amis juga. Jangan-jangan ada yang membuang kulit udang di sini, ya?" kata Danang.

Danang gelisah, mencari-cari bau bangkai dan amis yang menusuk hidung itu. Mirah mulai merasa tak enak. Jangan-jangan Danang mulai merasakan kehadiran roh Almarhumah Sarmini?

"Ah, sudahlah…! Lupakan soal itu. Kemesraan kita masa harus tertanggu oleh bau seperti itu sih…" kata Mirah seraya meraih wajah Danang yang berpaling, kemudian ketika wajah Danang kembali menghadapnya, Mirah mengecup bibir Danang dengan lembut. Tangan Danang masih bermain di permukaan dada yang bidang dan menonjol dalam kepadatan menantang.

"Kok… rasanya pahit amat, Mir? Kau makan apa sih?" tanya Danang.

"Aku belum makan apa-apa." jawab Mirah.

Lampu masih padam. Gelap. Mereka saling mencekam dalam kegelapan yang romantis. Namun, ketika film mulai hampir selesai, Mirah buru-buru merapikan pakaiannya. Menyisir rambutnya sekedar, dan memoleskan lipstick di bibirnya secara sekilas saja, tanpa harus memandang ke dalam cermin. Ia ingin berkesan tetap rapi ketika keluar dari gedung film.

Namun, pada saat lampu menyala terang, Danang jadi terperanjat. Mulutnya ternganga lebar dengan mata mendelik, tapi ia tak mampu mengeluarkan suara sedikit pun. Ia melihat wajah Mirah menjadi hangus, busuk, dan berlendir menjijikkan. Sementara itu, di sampingnya sendiri Danang melihat ada seorang perempuan yang duduk dengan tanang. Wajahnya hancur. Berminyak. Menjijikan dan mengerikan sekali.

"Nang…?! Kenapa begitu sih?" Mirah mendadak menyentuh tangan Danang, tetapi Danang berusaha menarik tangannya. Ia sangat ketakutan memandang Mirah di sebelah kanannya, dan seorang perempuan lain yang wajahnya terdiri dari daging berminyak di sebelah kirinya.

"Kkk… kau… ohhh… kkk…. kau…" Danang tak bisa bicara apa-apa.

Mirah tak mengerti apa yang di lihat Danang, tapi ia bisa membayangkan. Makin lama, Danang kelihatan semakin tegang, kemudian tersentak badannya. Ia bagai sukar bernapas. Tubuhnya merosot, jadi bersimpuh di lantai. Tersentak lagi dengan mulut mengaga dan mata mendelik. Ia memegangi lehernya sambil berusaha meronta seperti orang di cekik kuat-kuat, sampai akhirnya ia pun tergeletak di bawah bangku. Mirah menjadi tegang juga.

Karena Mirah mengetahui apa kira-kira yang di lihat Danang, maka ia pun segera pergi keluar gedung, meninggalkan Danang yang tersentak-sentak sendirian di bawah tempat duduknya.

***

Bersambung…

Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang