Chapter 5 Kembali Jadi Buruk Rupa

29 13 4
                                    

Mirah tetap tidak memberikan komentar soal lain. Ia malahan bercerita tentang lampu kristal yang habis di periksa keorsinilannya itu. Tetapi, Danang menggiring pembicaraan ke arah wajah lagi.

"Sebenarnya dengan wajah seperti itu, kau tidak pantas kerja di tempat kita sekarang ini, Mir. Kau lebih pantas kerja di tempat lain, yang layak untuk seorang secantik kamu."

"Mau kerja di mana lagi sih? Gaji ku cukup lumayan kerja di sini." balas Mirah.

"Ya. Mungkin memang cukup lumayan, tapi… kecantikan mu itu modal, Mir. Modal untuk bekerja dengan gaji tinggi. Misalnya menjadi sekretaris sebuah perusahaan asing atau…"

"Jadi hostes laku nggak?" celutuk Mirah.

"Hus! Jangan sembarangan ngomong!" hardik Danang.

Mirah hanya tertawa ngikik. Danang menikmati tawa yang menyejukkan hati itu, lalu ia menggumam sendiri, "Ah, sayang sekali minggu depan aku sudah harus keluar dari art shop."

"Minggu depan?!" Mirah agak kaget mendengar Danang mau keluar dari kerjanya yang sekarang.

"Aku di terima di perhotelaan, Mir. Jadi penterjemah, di sana gajinya lebih tinggi. Oh, ya… bagaimana jika kau kerja di hotel juga? Kau kan lulusan perhotelan juga. Mungkin teman ku bisa mengusahakan kamu kerja di bagian resepsionis atau…"

"Kau punya teman di sana, Nang? Oh, kalu memang bisa, akum au deh! Sungguh!" potong Mirah.

Tanpa banyak tanya ini itu, ternyata Mirah berhasil di terima di sebuah hotel berbintang. Modal kecantikan wajah dan ijazah Sarjana Muda-nya yang non gelar itu, sudah cukup buat pihak perhotelan untuk menempatkan Mirah di bagian resepsionis.

Dengan begitu, hubungannya dengan Danang menjadi lebih akrab, lebih dekat lagi. Mirah sering di ajak jalan-jalan oleh Danang, nonton di Studio 21, belanja di Plaza, dan semua itu adalah pengalaman pertama yang di alami Mirah semasa hidupnya.

Baru kali Mirah merasa menjadi pusat perhatian laki-laki. Baru kali ini ia merasa melayang-layang, karena ada lelaki yang mau menaruh hati padanya.

"Rasa-rasanya tak ada salahnya kalau aku mengaku berterus terang pada mu, kan?" kata Danang.

"Soal apa?" tanya Mirah.

"Cinta." jawab Danang pelan.

Mirah memandang pemuda berambut ikal itu.

Danang berbisik lagi, "Aku sering tidak percaya, kalau saat ini sebenarnya aku sedang jatuh cinta pada mu, Mirah."

Itulah saat pertama Mirah mendengar seseorang menyatakan cinta padanya. Seumur-umur, baru sekarang Mirah merasa berdebar-debar jantungnya dalam keindahan rasa. Ia jadi tak mampu mengucapkan kata-kata apa pun. Kelu. Ia hampir menangis karena gembiranya.

Bahkan ketika Danang ingin menciumnya di dalam mobil yang sudah berhenti di depan rumah. Mirah, keringat dinginnya mulai mengucur. Takut dan kikuk. Tetapi, akhirnya ia diamkan tangan Danang membelai rambutnya, menyentuh dagunya, dan ia biarkan pula Danang mencium pipinya dengan lembut. Hati Mirah hanya merasa seperti di kerumuni sejuta semut. Indah, tapi menggetarkan.

Namun ketika tangan Danang hendak menyusuk ke belahan dadanya, Mirah buru-buru menepiskan tangan itu dengan satu sentakan mengejutkan.

"Apa-apaan kau?!" bentaknya.

"Ak… aku… aku…!" Danang gugup dan malu.

"Jangan bersikap seenaknya, Danang. Aku masih punya harga diri! Aku bukan perempuan murahan!" kata Mirah dengan ketus.

"Apakah… apakah tak boleh? Kalau hanya memegang, itu kan wajar, Mirah!" balas Danang.

"Tidak! Itu tidak wajar! Aku masih punya harga diri. Kecuali aku tidak punya harga diri lagi, mungkin itu wajar!" jawab Mirah dengan ketus lagi.

"Tapi, Mirah…" belum sempat Danang menyelesaikan ucapannya, Mirah sudah memotong dan berkata dengan ketus lagi, "Kalau kau ingin berbuat begitu, cari gadis lain saja! Aku tidak suka di jamah lelaki seenaknya! Aku bukan alat pemuas nafsu lelaki, tahu?!"

Mirah buru-buru turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah tanpa bicara apa-apa lagi kepada Danang. Hatinya hanya menggerutu saat menutup pintu, "Sialan! Di kiranya aku perempuan yang gampang di gitukan apa?! Apa-apaan dia? Kalau dia kecewa dengan sikap ku, boleh pergi! Aku juga masih bisa mencari lelaki yang lebih tampan darinya!"

Sebelum tidur, Mirah mencuci wajahnya dengan cleansing milk. Sambil membersihkan debu yang melekat di wajahnya, ia memandangi wajahnya sendiri penuh rasa kagum. Tetapi, tiba-tiba cermin di depannya jadi berembun. Buram. Mirah buru-buru mengambil kaos kotor yang pernah di pakainya, kemudian di gunakan untuk emmbersihkan cermin itu.

Cermin itu menjadi bening kembali. Hanya saja, tak lebih dari satu menit, kembali lagi menjadi buram. Mirah membersihkan kembali. Tetapi, kali ini cermin itu tidak bisa menjadi bening lagi. Buram dan buram terus.

"Lho… kenapa cermin ini?!" Mirah bingung sendiri.

Mirah terus menggosoknya kuat-kuat dengan kain kaos itu, tetapi keburamannya justru semakin tebal. Mirah menjadi deg-degan. Apalagi sesaat kemudian cermin itu berubah menjadi hitam. Seperti ada yang membakarnya dari dalam. Hitam, dan makin lama semakin hitam oekat. Gelap. Tak dapat di gunakan untuk bercermin. Mirah bertambah bingung. Ia mengambil air untuk membersihkan cermin itu, tetapi tak berhasil. Tetap hitam hangus.

Anehnya, ketika ia mengambil tempat bedak dan memandang ke cermin kecil yang ada di tempat bedaknya itu, ternyata cermin tersebut juga menjadi hitam.

"Kok semua cermin menjadi hitam sih?!" gumam Mirah dengan rasa heran dan bercampur cemas.

Mirah sedang sibuk mengeluarkan tas dompetnya yang juga mempunyai cermin kecil, namun belum sempat ia menemukan cermin kecil, tiba-tiba cermin rias di depan meja yang menjadi buram. Pelan-pelan berubah bening kembali.

"hahhh...?!" mirah terpekik tertahan. Matanya membelalak memandang wajahnya dalam cermin. Ternyata wajahnya yang cantik itu telah hilang. Kini kembali berujud wajah aslinya. Totol-totol bekas cacar terlihat jelas. Giginya tonggos sedikit dam hidungnya melebar kesamping. Jelek. Wajah asli yang dulu tidak di sukai oleh siapa saja, kali ini muncul kembali dalam keadaan yang tak di sangka-sangka.

Mirah hampir menangis melihat wajah aslinya muncul kembali. Ia resah, dan menjadi bingung sendiri.
"Mengapa hanya seminggu kunikmati kecantikan itu?" katanya meratap dalam hati. "Mengapa tidak selamanya? Oohh… kalau keadaan ku menjadi seburuk ini lagi aku akan kehilangan daya tarik, dan mungkin akan memuakkan siapa saja! Aku akan di ejek seperti dulu lagi…"

Mirah sibuk meratapi dirinya sendiri. kali ini ia benar-benar menangis, merasa kehilangan sesuatu yang amat di bangga-banggakan belakangan ini. makin malam semakin larut ia dalam kesedihannya, sampai tak terasa akhirnya ia pun tertidur.

Suara ketukan pintu terdengar mengagetkan Mirah. Ia terbangun. Memandang jam bekernya. Oh, sudah pukul 8 pagi lewat 15 menit.  Ketukan pintu itu terdengar lagi dengan jelas.

"Pasti Danang menjemput ku." katanya dalam hati.

Mirah pun buru-buru membukakan pintu paviliyunnya dengan hanya merapikan rambut dengan jari tangannya.

***

Bersambung…

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang