Chapter 20 Panik

6 0 0
                                    

Belum sempat Mirah memperoleh jawaban yang pasti dari dirinya, tiba-tiba Winni muncul dari pintu belakang dan berkata, "Tante…, Om Julio datang."

"Aduh, celaka aku kalau begini!" Mirah menjadi panik. Ia tak berani menemui Julio yang ada di ruang tamu bersama Sofia itu. Sudah tentu Julio akan kecewa, kaget melihat wajah Mirah menjadi seburuk itu.
Di dalam kamarnya, Mirah kebingungan sendiri. Panik. Ia mondar-mandir mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan itu. Ia mencoba menyisir rambutnya, merias wajahnya, tapi… oh, masih saja tidak menarik. Masih akan mengejutkan Julio, dan besar kemungkinan lelaki itu akan pergi dan tak mau mengenal Mirah lagi. Padahal Mirah sudah terlanjur menaruh hati kepada Julio, tak ingin kehilangan pemuda tampan berdarah Itali itu.

Akhirnya Mirah memutuskan untuk pergi. Pergi dan tidak mau menemui Julio sebelum wajahnya kembali cantik. Ia tidak memikirkan kekecewaan Julio atas kedatangannya pagi itu. Ia memikirkan kekecewaaan yang lebih besar jika Julio sampai memergoko wajah Mirah dalam keadaan bopeng dan giginya menjorok ke depan.

Dengan mengenakan pakaian alakadarnya, Mirah memanjat pagar belakang, langsung menyusuri selokan besar, dan menyeberang jembatan bambu darurat. Maka ia sampai di tepi jalan raya Ia sengaja mengenakan topi sebagai penutup wajahnya yang bopeng itu. Ia menggantungkan tas kecil yang biasa di pakai bekerja, dan di dalam tas itu ia menyimpan bedak mautnya.

"Mirah…!"

Celaka. Ada yang mengenalinya. Bahkan memanggilnya. Mirah tidak berpaling ke arah orang yang memanggilnya. Tetapi, sebuah mobil berhenti bagai menghadang langkahnya.

"Mirah…! Mau ke mana kau?!"

Ya, ampun…! Lala mengenalinya dari belakang. Kini ia bahkan turun dari mobilnya dan mendekati Mirah. Uh malunya. Gugupnya Mirah saat itu. Ia tak tahu harus berbuat apa ketika Lala sendiri berkerut dahi memandang wajah Mirah yang buruk itu.

"Mirah…?! Hem… kau… kau…."

"Maaf, aku tidak mengenal siapa Nona." kata Mirah berusaha bersikap wajar.

"Jadi… kau bukan Mirah?" tanya Lala memastikan lagi.

"Nama saya… Novi. Mungkin Nona salah lihat. Permisi…!" kata Mirah.

Mirah melangkah lagi dengan kaki gemetar yang di pertahankan agar tidak kelihatan. Lala terbengong-bengong. Ia merasa mengenali sosok perempuan itu dari belakang. Rambutnya, ia kenal sebagai rambut Mirah. Tas yang tergantung di pundaknya, juga ia hafal sebagai tas kerja Mirah. Tetapi, begitu melihat wajahnya, ternyata lain sekali dengan Mirah yang di kenalnya.

Dengan sedikit tertawa geli sendiri, Lala segera masuk ke dalam mobil dan bergumam sendiri, "Sialan. Malu sendiri aku jadinya. Namanya Novi kok di panggil Mirah, tentu saja dia kebingungan. Hi, hi, hi…!"

Mobil Lala pun melaju. Melewati Mirah yang berjalan menunduk. Untung saat itu Mirah mengenakan pakaian alakadarnya yang belum pernah di lihat Lala. Andai ia mengenakan pakaian yang sudah pernah di lihat Lala, pasti Lala akan tidak percaya jika Mirah mengaku bernama Novi.

Bodohnya Mirah, mengapa ia tidak naik taksi menuju suatu tempat? Mengapa baru sadar setelah ia berjumpa dengan Lala? Maka, gerutunya pun terdengar bagai gumam ketika Mirah menghentikan sebuah taksi. Sambil masuk ke dalam taksi itu, dalam hati Mirah hanya mendesah, "Hah… namanya panik! Orang pintar seperti apa pun bisa saja menjadi bodoh seketika!"

"Ke mana nih?!" tanya supir taksi bersikap tak ramah. Mungkin karena ia melirik wajah Mirah yang kurang menarik sama sekali, sehingga ia meremehkan kehadiran Mirah di dalam taksinya.

"Jalan saja dulu, Bang. Nanti saya tentukan arahnya." kata Mirah kepada supir taksi itu.

"Lho… bagaimana si situ? Mau bepergian kok nggak tahu arah? Keder, ya?" kata supir taksi itu kepada Mirah.

"Ya. Saya sedang keder. Bingung. Pokoknya berapa pun jumlah argo yang ada pasti saya bayar!" seraya Mirah melirik supir taksi, dan supir taksi itu menggerutu tak jelas.

Cukup lama juga taksi itu melanjut tanpa arah, sekehendak supirnya. Mirah benar-benar bingung. Ke mana ia harus pergi, kepada siapa ia berikan bedak itu."

"Stop… stop…!" tiba-tiba Mirah menyuruh taksi itu berhenti. "Mundur sedikit, Bang!" serunya kepada supir taksi itu.

Dan, taksi itu pun berhenti di depan sebuah salon kecantikan milik Yen Yen, bekas teman SMA-nya.

"Mirah…?!" seru Yen Yen dengan ceria. Ia buru-buru menghampiri Mirah dan memeluknya dengan penuh persahabatan. "Ku pikir kau sudah meninggal!" kata Yen Yen yang gemar berkelakar. Mirah menimpali tawa Yen Yen yang ceria itu.

Sejak lulus dari SMA, beru satu kali Mirah bertemu dengan Yen Yen. Itu pertama kali Yen Yen buka salon kecantikan. Tapi untuk selanjutnya, Mirah tidak pernah bertemu lagi dengan Yen Yen. Lebih-lebih pada saat perkawinan Yen Yen dengan Leonardo, teman sekelas juga, Mirah tidak bisa hadir, karena waktu itu melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta.

Yen Yen salah satu teman wanita yang dekat dengan Mirah semasa SMA. Hanya Yen Yen yang mau bergaul tanpa memilih-milih wajah temannya. Ia gadis yang supel, ketika itu. Ramah dan humoris. Sampai sekarang ia masih seperti itu.

Tak heran jika Yen Yen menceritakan kelancaran usahanya di bidang kecantikan itu, bahkan ia mempunyai dua kapster yang bekerja di situ sejak awal di bukanya salon tersebut sampai saat ini belum ganti-ganti. Konon, mereka betah bekerja di salon kecantikan milik Yen Yen ini.

"Buka saja usaha seperti ini, Mir! Hasilnya lumayan lho. Apalagi kalau kita bisa mengikat langganan, huh… paling tidak kita bisa punya pemasukan sendiri. Tidak mengandalkan gaji suami." tutur Yen Yen dengan riang.

"Iya, ya…?" gumam Mirah.

Waktu itu yang terbayang bukan penghasilan buka usaha seperti Yen Yen, melainkan banyaknya kesempatan untuk mempertahankan kecantikan Mirah yang misterius itu. Kalau saja Mirah membuka usaha salon kecantikan, sudah tentu calon korban datang sendiri, tanpa repot-repot Mirah memburunya ke mana-mana.

Yen Yen belum pernah melihat Mirah menjadi cantik, sehingga menurutnya, memang dari dulu wajah Mirah tidak berubah. Yen Yen tidak menaruh curiga apa-apa. Hanya saja, Mirah sendiri yang menjadi bimbang. Haruskah bedak itu di kenakan pada wajah Yen Yen? Haruskah Yen Yen menjadi salah satu korban yang di butuhkan Mirah?

"Bedak ini cukup sejuk jika di pakai di wajah." kata Mirah dengan ragu-ragu. "Mungkin mereknya belum terkenal, tapi jelas buatan luar negeri. Dan, aku memang sedang memasarkan bedak ini. Sebagai sample, aku hanya mambawa satu buah." kata Mirah. Ia pun membuka tutup bedaknya, "Hm… coba cium baunya. Lembut kan?"

Yen Yen tertawa dalam gumam. "Aku nggak sangka kalau kamu akhirnya jadi sales bedak beginian."

"Usaha, Yen. Usaha kan apa saja boleh!" jawab Mirah, padahal dia bukan sales bedak.

***

Bersambung…

Sampai jumpa.di chapter selanjutnya ya

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang