Mirah melanjutkan membaca pelan-pelan, meresapi kata demi kata. Sampai beberapa lembar, baru ia menemukan sebaris kalimat yang mencurigakan.
"Wajah persembahan akan menyatu dengan sang Dewi. Wajah itu yang menuntut pada sang kekasih. Dia akan membawa serta sang kekasih pergi ke alam kelanggengan."
"Kok ada sang kekasih segala?" pikir Mirah. "Apaka yang di maksud sang kekasih itu adalah lelaki yang memberikan darah kenikmatan pada sang Dewi? Lalu, apakah yang di maksud: membawa ke alam kelanggengan, artinya kematian? Sedangkan wajah persembahan itu apa, ya? Sedangkan wajah persembahan itu apa, ya? Hm… mungkin yang di maksud wajah persembahan adalah wajah korban? Seperti Almarhumah Sarmini? Jadi, Almarhumah Sarmini menuntut kepada orang yang bercumbu dengan ku? Oh, kenapa ia tidak berani menuntut pada ku? Mungkinkah karena sang Dewi ada di dalam diri ku…?"
Mirah masih sangsi dengan analisanya sendiri. Ia ingin membuktikan kebenaran analisanya dengan cara yang sama. Bahkan ia tak sabar menunggu hari ke tujuh. Apakah benar pada hari ketujuh kecantikannya akan tetap utuh? Tidak berubah? Benarkah akan bertambah satu hari jika ia menikmati kemesraan bersama seorang lelaki?
***
"Aku heran pada mu, Mir. Kau tidak masuk sampai empat hari, tapi Pak Anton nggak marah-marah sama kamu. Padahal kau pegawai baru di sini. Ada apa sebenarnya antara kamu dan Pak Anton?" tanya Dibba, teman resepsionis. Mirah hanya tersenyum, dan angkat bahu.
"Nggak ada apa-apa antara aku dan Pak Anton. Justu aku sendiri tadinya mengira sudah di pecat. Aku datang pada Pak Anton cuma ingin tahu apakah aku masih di izinkan bekerja lagi atau sudah di berhentikan. Tapi nyatanya ia justru menyuruh ku melupakan soal itu. Hanya wanti-wanti, agar lain kali jika aku tidak masuk harus memberi tahu lewat telepon, jadi tidak di cari-cari."
"Aku curiga, jangan-jangan Pak Anton kau hibur dengan tiga kali kerlingan mata?" canda Dibba."Wow… sorry, ya? Ngapain pakai kerling-kerling segala." Mirah bersungut-sungut, membuat Dibba tertawa ngikik. "Yang jelas, Pak Anton tahu, bahwa kakak ipar ku meninggal secara misterius."
"Ooo… kakak ipar mu meninggal? Tapi, ah… misterius bagaimana itu, Mir?" tanya Dibba penasaran.
"Tanpa sakit lebih dulu, tahu-tahu di temukan tak bernyawa di samping istrinya, di ranjang." jawab Mirah.
"Hahhh…? Aneh sekali itu?" kata Dibba yang sempat kaget.
Mirah ingin bicara lagi, tapi dering telepon membuat pembicaraan itu jadi terhenti. Oh, rupanya Hans yang menelepon Mirah saat itu.
"Hans…? Kau di mana ini?" tanya Mirah.
"Di atas mu." jawab Hans sambil tertawa.
"Ah, ngaco kamu! Di mana sih?" tanya Mirah kesal.
"Di lantai tujuh! Cari nama ku di buku tamu dong!" jawab Hans.
"Hah…? Jadi… jadi kau ada di hotel ini juga?" Mirah kaget, tak menyangka kalau Hans ada di situ.
"Tadi siang aku check ini. Tapi, tadi siang kau belum datang, ya?" tanya Hans.
"Jam satu aku baru masuk." jawab Mirah.
"Jam berapa pulangnya?" tanya Hans.
"Antara jam delapan nanti, Hans. Satu jam lagi." jawab Mirah.
"Kalau begitu, kau bisa langsung ke kamar ku dong. Kita jalan-jalan ke Plaza lagi, yuk." ajak Hans.
"Boleh. Nanti selesai jam kerja aku akan naik." jawab Mirah. "Kau di kamar berapa, Hans?" tanyanya kepada Hans.
"Cari dalam buku tamu, kata ku tadi kan?" ujar Hans.
Mirah hanya tertawa renyah. Dalam keadaan wajah secantik bidadari itu, tawa Mirah pun menjadi enak di dengar. Renyah dan mengandung desah yang menggelitik hati seorang lelaki.
Kegembiraan Mirah yang ingin bertemu dengan lelaki berkantong tebal itu menjadi surut sejak munculnya Danang. Pemuda berambut ikal itu menemui Mirah, langsung masuk ke balik meja resepsionis.
"Aku ada acara makan malam dengan tamu kita yang dari Prancis. Kau ikut, ya Mir?" ajak Danang.
"Nggak bisa, Nang. Aku sibuk." jawab Mirah.
"Nanti saja setelah jam kerja." desak Danang.
"Nggak bisa. Cari perempuan lain saja deh! Aku sibuk. Nggak punya selera makan sama kamu." kata Mirah dengan ketus. Dibba hanya memperhatikan mereka, dan menatap Danang yang merah mukanya mendengar kata-kata Mirah.
"Jangan sok angkuh begitu, Mir! Mentang-mentang kau sekarang menjadi cantik, mau berlagak jual mahal lagi. Huh… kuno!" kata Danang kesal.
"Hei, apa maksud mu bilang begitu?!" hardik Mirah.
Danang yang merasa tersinggung dengan sikap Mirah makin geram. Ia pun segera berkata, "Dengar, Mir…! Kau tak perlu jual mahal kepada ku. Aku tahu siapa kau sebenarnya!"
"Aku juga tahu siapa kau sebenarnya, dan karena itu aku lebih baik menjauhi mu! Kau pikir cuma kamu pemuda punya wajah ganteng? Banyak yang lebih ganteng dari kamu yang naksir sama aku!" balas Mirah kesal.
Danang semakin geram, lalu sebelum pergi ia pun berkata sambil menuding-nuding Mirah, "Oke, mungkin kata-kata mu itu betul. Tapi, ingat…! Ingat wajah mu yang sebenarnya, tidak lebih cantik dari pada alas sepatu ku, tahu?! Kecantikan mu itu palsu! Plastik! Sekali waktu akan lumer dan orang akan meludah di depan wajah mu yang bopeng dan gigi mu yang tonggos itu! Bah!"
"Setan kau!" geram Mirah sambil mendelik. Ia tak berani melontarkan sesuatu, karena di lobby banyak tamu, dan Danang langsung pergi begitu saja.
Dibba menimpali, "Kok gitu ya si Danang itu? Sukanya maksa. Pakai ngatain kamu bopengan segala."
"Ah, yang namanya orang gila ngomong apa saja halal!" gerutu Mirah.
Sebenarnya dalam hati Mirah timbul kecemasan. Alangkah malunya jika rahasia kecantikannya terbongkar di depan umum. Ia jadi was-was terhadap Danang, sebab ia sadar, bahwa Danang-lah satu-satunya orang yang mengetahui wajah Mirah yang sebenarnya, di situ. Kalau sampai Danang buka kartu, bicara kepada teman-teman sekerjanya, mau di taruh di mana muka Mirah? Malunya tidak tertolong lagi, kan? Apalagi Pak Anton, manager mereka mengetahui rahasia kecantikan Mirah, bisa-bisa Pak Anton tidak pernah manaruh simpati sama sekali kepada Mirah. Oh… lalu apa yang harus di lakukan Mirah supaya Danang tetap tutup mulut?
Pukul delapan malam kurang beberapa menit, Mirah ingat dengan janjinya kepada Hans. Ia segera bergegas ke lantai tujuh, dan mengetuk kamar nomor 303. Lalu, seorang lelaki dengan uban tipis namun masih kelihatan tegap dan gagah itu mengumbar senyumnya saat membukakan pintu untuk Mirah.
"Ku kira kau tidak datang, Mir." katanya dengan hati lega.
"Promise is a promise." jawab Mirah sambil menampakkan senyumnya yang menawan. "Janji adalah janji buat ku, dan aku berusaha untuk selalu menepati janji ku."
"Good…" setelah tertawa pendek, Hans menyuruh Mirah untuk masuk.
***
Bersambung…Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorrorKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...