Mirah pun buru-buru membukakan pintu paviliyunnya dengan hanya merapikan rambut dengan jari tangannya.
"Sorry, Nang. Aku terlambat bangun." kata Mirah ketika membukakan pintunya.
Danang tidak bicara sepatah kata pun. Ia justru terbengong meompong memandang wajah Mirah. Kaget melihat wajah Mirah menjadi seperti dulu lagi. Jelek.
Melihat kebengongan Danang, Mirah segera sadar, bahwa wajahnya tidak secantik kemarin malam. Ia menjadi gugup. Panik.
Lalu Danang segera berkata, "Aku ke sini hanya mau minta maaf atas peristiwa semalam, Mir. Tapi, percayalah, mulai saat ini kau tidak akan terganggu lagi oleh keusilan ku. Karena mulai saat ini, kita memang tidak perlu saling berdekatan lagi. Permisi."
"Danang…?!" Mirah menyapa dengan suara parau.
Tapi, Danang tetap melangkah, dan pergi dengan cuek meninggalkan Mirah yang berdiri di depan pintu.
Air mata Mirah meleleh kembali, membasahi pipinya yang berkulit kasar. Danang telah pergi. Pergi dari hidupnya. Bukan karena menyesali perbuatannya kemarin malam, melainkan mengetahui bahwa Mirah sudah tidak cantik lagi. Wajah Mirah sudah tidak nikmat untuk di pandang terlalu lama.
Oh, Mirah terpaksa harus menderita batin seperti dulu lagi. Malahan kali ini ia benci pada dirinya sendiri, yang telah mengenakan make up beberapa kali, tetapi tetap saja wajahnya tidak secantik kemarin-kemarin.
"Sudah tentu tak akan ada lagi lelaki yang mau mendekati ku. Danang, yang katanya mencintai ku, kini juga tak mau lagi bertemu dengan ku. Oh, padahal aku ingin berada dalam dekapannya. Aku belum pernah merasakan betapa nikmat dan mesranya tidur dalam pelukan lelaki. Kalau tahu aku akan kembali begini, seharusnya kemarin malam ku biarkan Danag meraba dada ku. Bahkan seharusnya ku biarkan ia menjamah seluruhnya. Ah, kini semuanya telah terlambat. Taka da lagi yang mau menjamah ku. Tak ada yang mau mencium ku sehangat ciuman Danang kemarin malam. Oh, menyesal aku. Bodoh betul aku ini." gumam Mirah.
Kemudian, buku kuno itu di pelajarinya kembali. Di dalam buku itu ada catatan yang berbunyi:
"Tujuh hari kecantikan itu tiba, lalu lenyap… dan persembahan pun harus di bangun kembali untuk memperoleh cermin bidadari di wajah…"Jantung Mirah mulai berdebar-debar. Lalu menggumam sendiri, "Kalau begitu, memang hanya tujuh hari kecantikan itu bisa bertahan. Selebihnya akan kembali seperti semula. Tetapi, jika aku bisa memberikan suatu persembahan keapda sang Dewi, maka wajah ku akan menjadi cantik lagi. Benarkah begitu? Oh, ya… aku harus mencobanya!"
Malam berada di pertengahan. Jarum jam menunjuk ke angka 12. Mirah memasang empat lilin. Di tengah keempat lilin itu terdapat bedak yang terbuka. Di depan semua itu adalah cermin rias yang berbentuk bundar. Mirah duduk dengan tenang, dan bibirnya berkomat-kamit mengucapkan mantra gaib yang tak di ketahui dari mana asalnya.
"Lahunnala… Lahunnala… Lahunnala. Azzazahunnala. Azaza… azaza… azaza. Hunnala azaza…"
Lebih dari tiga kali mantra gaib itu di ucapkan dengan suara bisik-bisik. Tubuh terasa dingin dan merinding. Jantung merasa berdebar-debar. Cermin hias menjadi suram. Bagai terkena uap embun. Lama-lama menjadi gelap. Sementara itu, bedak di antara keempat lilin itu bergerak-gerak. Sepertinya di dalam bedak itu ada beberapa bintang yang ingin muncul keluar dari dalam bedak.
Beberapa saat kemudian, cermin yang menjadi hitam itu kembali jernih. Bening. Tetapi wajah yang tampak dalam cermin adalah wajah Miraah yang sebenarnya. Bekas cacarnya masih kelihatan. Ketonggosan giginya juga masih tampak jelas. Ia belum berubah menjadi cantik.
"Bendak ini harus di oleskan pada wajah seseorang." Kata Mirah dalam hati. "Seperti tempo hari, Sarmini menggunakan bedak ini sendiri ke wajahnya. Lalu, ia mati dalam keadaan rusak bagian wajahnya. Oh, rupanya jika sudah ada korban, baru wajahnya berubah menjadi cantik."
Mirah tak sabar. Ingin segera korban yang akan di olesi bedak itu pada bagian wajahnya. Sudah seharia ia terkurung di kamar. Malu untuk menampakkan iri kepada siapa pun, karena wajahnya kembali buruk. Kini, Mirah ingin menikmati udara segar, kendati tengah malam. Ia ingin cepat memperoleh wajah cantik, ingin menikmati kebanggaan selekasnya.
"Siapa yang di jadikan sasaran, ya? Apakah… Sofia? Ah, jangan. Dia kakak ku sendiri. Kasihan kalau nasibnya seperti Sarmini. Atau… bagaimana Winni. Ah, dia keponakan ku sendiri. Haruskah aku tega mengorbankan keponakan ku sendiri? Tapi… tapi kalau aku bisa memperoleh kecantikan? Barangkali Winni sendiri juga rela. Ah, kurasa dia akan rela demi kecantikan tantenya…"
Pikiran Mirah makin menerawang ngacau. Akhirnya, ia putuskan untuk melangkah keluar lewat pintu belakang. Ia akan langsung ke ruang tengah, dan membuka pintu kamar Winni. Anak itu memang masih kelas 6 SD, tapi orang pasti tak akan curiga kalau Winni menjadi berwajah rusak seperti Almarhumah Sarmini. Banyak kemungkinan jika hal itu terjadi, yang jelas kemungkinan itu tak akan terjadi pada Mirah.
Pelan-pelan Mirah membuka pintu belakang. Malam menciptakan keheningan. Ia melangkah tanpa suara. Saat itu, ia terpaksa harus berhenti di tempat gelap, karena Ummi, pembantu rumah tangga itu, sedang keluar dari kamarnya. Ummi menuju kamar mandi dengan langkah gontai karena kantuk. Mirah jadi bimbang. Winni atau Ummi yang harus di korbankan untuk menerima bedak maut ini? Dalam mempertimbangkan hal itu, jantung Mirah berdetak-detak kencang. Tegang sekali rasanya.
***
Sengaja Mirah membuat kesibukan di dapur. Memang janggal, malam-malam sibuk di dapur, tapi itulah cara Mirah menghadang munculnya Ummi dari kamar mandi. Perkiraan Mirah tepat juga, Ummi menegurnya ketika ia melihat Mirah mencari sesuatu di dapur.
"Mencari apa, Non Mirah?" tanya Ummi.
"Pisau roti. Ah, dasar mulut sial, malam-malam begini kok kepingin makan roti." jawab Mirah dengan senyum sendiri.
"Pisau roti? Itu dia, Non. Dekat kaleng mentega!" jawab Ummi.
"Astaga! Dasar pikun. Pisau di depan mata saja kok sampai nggak tahu?!" ucap Mirah pura-pura bodoh.
Ummi tidak turut tertawa ngikik seperti Mirah. Dalam hati, Ummi hanya merasa heran melihat wajah Non Mirah menjadi buruk, seperti dulu lagi. Ia memandangi Mirah dengan dahi berkerut dan mata menyipit. Bukankah kemarin Non Mirah kelihatan cantik sekali? Mengapa sekarang menjadi jelek lagi? Apakah mata Ummi yang tidak beres karena masih mengantuk? Sekalipun Umi mengucal-ngucal matanya, tetap saja wajah Mirah kelihatan buruk.
Mirah merasa kikuk di pandang Ummi. Segeralah ia bertanya, "Kok kamu belum tidur, Um?" pertanyaan basa-basi itu ternyata punya manfaat sendiri bagi maksud jahat Mirah.
"Ndak bisa tidur, Non. Mungkin karena hati saya sudah ndak sabar lagi." jawab Ummi.
"Nggak sabar bagaimana? Kenapa sampai nggak sabar sih?" tanya Mirah.
***
Bersambung…Terima kasih buat kalian semua yang sudah membaca cerita ini ya. Sampai jumpa di next chapter ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
TerrorKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...