Sekali lagi hati Mirah merasa perih melihat Sarmini melangkah dengan ceria, ia bakal bertemu kekasihnya. Sedangkan Mirah? Entah sampai kapan ia bisa bertemu dengan sang kekasih.
Mirah tidak berminat lagi membaca buku kuno itu. Isinya semacam dongeng saja. Tidak ada yang istimewa. Sepanjang siang sampai sore ia telah mempelajari buku kuno itu, dan tidak menemukan sesuatu yang bisa di anggap istimewa. Banyak kata-kata aneh, bahasa-bahasa yang belum pernah di baca dan di dengar oleh Mirah, dan semua itu tak lebih dari bahasa-bahasa tanpa arti. Toh semalam Mirah telah mencobanya mengikuti petunjuk dalam buku itu, tapi itu hanya kekonyolan saja, menurutnya. Ia terkecoh. Ia merasa di bodohi oleh buku usang itu.
Mirah tidak tahu kalau sore itu Sarmini gelisah. Pulang dari kondangan pukul 4 sore. Sudah tentu ia mendapat omelan dari tuan dan nyonyanya. Sarmini mengerjakan pekerjaan rutin sebagai pembantu. Satu di antaranya, mengepel lantai rumah.
Sesekali ia garuk-garuk wajahnya yang terasa gatal. Sekali dua kali memang tidak di rasa. Tetapi setelah berkali-kali rasa gatal itu muncul di permukaan wajahnya. Sarmini jadi resah. Ia segera mencuci mukanya dengan sabun. Setelah itu rasa gatal di wajahnya bertambah menjengkelkan. Ia menggaruk dan menggaruk sampai pipinya menjadi lecet. Bahkan waktu mandi sore, ia sengaja menyabun wajahnya beberapa kali. Oh, malah semakin gatal lagi. Gatal bercampur perih.
"Min, kenapa wajah mu jadi merah begitu?!" tegur Nyonya Bardi.
"Ndak tahu ini, Nyah. Aduuuh… gatal sekali!" jawab Sumarni yang masih saja menggaruk-garuk wajahnya.
"Kasih bedak talk tuh…!" ujar Nyonya Bardi.
Sarmini pun segera membedaki wajahnya dengan talk penghalau rasa gatal. Namun, nyatanya justru makin parah. Gatalnya bukan main. Sarmini menggaruknya dengan hati jengkel dan kebingungan.
Di kamarnya, Sarmini memandangi wajahnya di depan cermin. Ya, ampuuun… wajahnya seperti kepiting rebus. Merah. Banyak luka goresan kuku akibat di garuk-garuk.
Makin sering di garuk, makin kelihatan menjadi lebih merah lagi. Matang. Sarmini mengerang. Kedua tangannya menggaruk wajahnya makin keras. Rasa gatal pun jadi bertambah. Garukan lebih keras lagi, dan keras sekali. Napasanya menjadi terengah-engah bercampur erangan tangis. Wajah itu di garuk dengan kuku, di tekan kuat-kuat dan ia pun berteriak makin keras.
"Aaah…. uuuh…!"
Bunyi suara garukan seperti orang mendengkur, Grokkk…. grokkk…. grokkk…! Sampai ke bagian tepian biji matanya juga terasa sangat gatal.
Bertambah lama bertambah menggila garukan kedua tangan Sarmini. Sambil mejerit-jerit, ia bagai mencakar-cakar wajahnya sendiri. Bukan hanya kulit wajah yang terkelupas, melainkan beberapa serat dagingnya juga ikut tergaruk. Mengelinting di kuku bercampur dengan darah. Rasa perih dan sakit hilang sama sekali, yang ada rasa gatal yang tak tertahan lagi.Nyonya Bardi menjerit melihat Sarmini mencakar-cakar wajahnya seperti orang gila. Geram dan suara erangan bercampur napas memburu membuat Nyonya Bardi menjadi merinding dan ketakutan.
"Hentikan, Min…! Hentikan…! Oh, wajah mu rusak! Hentikan garukan itu…!" teriak Nyonya Bardi segera.
Sarmini mengerang dengan mengencangkan otot-otot tangannya. "Nyonya… oh… gataaal…! Iiih… gatal sekali, Nyonyaaa…!" sambil Sarmini berpaling menghadap Nyonya Bardi yang berdiri di pintu kamar Sarmini.
Waktu itu, Nyonya Bardi makin merinding dan menjauh. Karena, ia tidak lagi melihat wajah Sarmini, Yang terlihat hanya sosok manusia berwajah daging memerah bercampur dengan darah. Menjijikan sekali. Sarmini mencakar wajahnya hingga beberapa darah memercik di meja dan dinding kamar.Sarmini segera mengambil handuk kering dan meraup wajahnya dengan handuk itu. Lalu, menggosok-gosoknya dengan di tekan kuat-kuat. Jeritannya tertutup ketebalan handuk itu. Tapi, Nyonya Bardi semakin ngeri melihat gerakan Sarmini yang mirip orang kesurupan itu. Atau memang dia kesurupan?
Ketika Sarmini kurang puas menggunakan handuk untuk menggosok wajahnya, ia mencari bahan yang lebih kasar, lebih memuaskan untuk menggaruk. Namun, ketika ia membuka handuk itu, Nyonya Bardi menjerit keras-keras, "Aaaaaaahhh…!"
Nyonya Bardi segera berlari ke arah kebun tempat jemuran sambil memandang ngeri kepada Sarmini. Sebab, pada waktu itu wajah Sarmini telah menjadi semacam monster tak berkulit. Bahkan tulang pada pipinya terlihat tersembul sedikit di antara daging-daging yang lembek. Wajah Sarmini sudah tak berbentuk manusia lagi, karena darah berhamburan ke mana-mana dan serpihan serat daging mengumpul jatuh di bagian dada atau bahkan ada yang rontok ke lantai.
Kelopak mata Sarmini tinggal berupa daging dan biji matanya. Ia tak bisa bicara lagi, sebab bibirnya sudah habis di gosok kuat-kuat dengan handuk putih yang berubah menjadi merah kental. Bibir itu terlepas, mungkin menjadi satu dengan handuk. Yang tampak hanya bagian gusi dan sebaris giginya saja. Sedangkan, gigi bagian atasnya mulai ada yang rontok, kaena gusi itu sendiri menjadi rusak akibat di garuk dengan kasar.
Suara Sarmini seperti kambing di sembelih. Ia jatuh terguling-guling di lantai. Masih berusaha menggaruk daging wajahnya. Makin lama semakin berkurang, semakin habis daging-daging yang lumer itu. Kini tulang-tulang wajahnya mulai tampak tersembul di sana-sini. Sampai akhirnya, biji matanya pun nyaris copot, tinggal bagian beberapa urat yang belum tertarik oleh garukan Sarmini.
Menjelang suara adzan magrib terdengar, Sarmini berhenti bergerak. Naparnya tersendat-sendat. Ia telentang di lantai. Kemudian, ia pun menghembuskan napas terakhir pada saat ia telah menggaruk lehernya, dan lehernya itu pun menjadi bolong di terkam jari-jemarinya sendiri.
Sewaktu para tetangga berdatangan, tak satu pun ada yang berani menyentuh mayat Sarmini. Mereka tak berani memandang wajah Sarmini dalam keadaan hancur, bagai terendam air raksa beberapa hari. Bagian rambutnya pun ada yang rontok. Kulit kepalanya terkelupas karena garukannya tadi.
Sebagian orang menyangka, Sarmini terkena zat kimia yang mampu membusukkan daging dalam waktu singkat. Ada yang menganggap Sarmini terkena virus penyakit kulit yang ganas. Ada juga yang menganggap Sarmini terkena ajalnya karena telah memakai susuk. Tetapi, beberapa orang lainnya berpendapat, Sarmini terkena kutukan, semacam kekuatan setan yang datang dari suatu tempat. Mereka lebih cenderung menaruh curiga pada tempat kondangan. Mungkin Sarmini di jadikan tumbal pengantin, di mana Sarmini dan pacarnya datang ke pesta perkawinan itu.
Semua tetangga Nyonya Bardi sibuk berbisik satu sama lain. Mereka semua menerka-nerka penyebab kematian Surmani. Kenapa ia bisa meninggal? Dan kenapa hanya bagian wajah beserta lehernya saja yang rusak? Kenapa yang lain tidak? Itulah pertanyaan mereka kepada Nyonya Bardi.
Nyonya Bardi sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri masih syok melihat kematian pembantunya yang secara sadis itu. Ia masih lemas dan sesekali merasa jijik sendiri teringat dengan kematian Surmani. Padahal pagi ini pembantunya baik-baik saja. Lantas kenapa pulang dari kondangan ia langsung begitu?
***
Bersambung…
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorrorKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...