Karena Mirah mengetahui apa kira-kira yang di lihat Danang, maka ia pun segera pergi keluar gedung, meninggalkan Danang tersentak-sentak sendirian di bawah tempat duduknya. Mirah segera pergi meninggalkan gedung bioskop itu dengan tenang sekali, supaya tidak menimbulkan kecurigaan siapa-siapa. Ia cepat menghilang menggunakan sebuah taksi yang telah di setopnya.
"Agak cepat sedikit, Bang!" perintah Mirah pada supir taksi.
"Oke, Non." jawab supir taksi itu. Ia pun mempercepat laju mobil taksinya.
Sementara itu, Mirah tak tahu kalau petugas di gedung bioskop itu mengalami kepanikan. Heboh. Di temukan sesosok mayat lelaki dalam keadaan wajah membiru. Mata mendelik, dan mulut terngaga bagai sedang berusaha untuk bisa bernapas. Pada bagian leher terdapat beberapa luka seperti bekas kuku yang mencengkeram.
Menurut koran pagi yang di baca Mirah, korban tersebut bernama Danang Rohadi. Di sekitar mayat tesebut di temukan sebuah pakaian dalam perempuan yang bisa di jadikan bahan penyelidikan kasus pembunuhan tersebut. Tetapi, menurut koran itu, pakaian dalam perempuan tersebut menjadi terbakar dan hangus seketika pada waktu hendak di bawa ke kantor polisi. Alhasil, tak ada jejak pembunuh yang bisa di jadikan bahan penyelidikan kasus kematian Danang Rohadi.
Mirah menghempaskan napas lega. Hampir saja ia terlibat jelas dalam kasus pembunuhan tersebut, kalau saja pakaian dalamnya yang lupa di kenakan kembali itu tidak hangus terbakar secara misterius. Hanya saja, sampai saat ini Mirah belum mengerti, mengapa pakaian dalamnya itu bisa hangus terbakar. Siapa yang membakarnya? Siapa yang berusaha menghilangkan jejak seperti itu? Benarkah sang Dewi melindungi Mirah dalam setiap peristiwa yang berkaitan dengan kecantikan misteriusnya itu? Atau… semua itu hanyay satu hal yang bersifat kebetulan saja?"
***
Sekali pun sudah mendapat lebihan waktu satu hari, tetapi Mirah masih belum menemukan calon korban untuk bedak mautnya. Hal itu sangat mencemaskan dirinya. Apalagi pada malam harinya Julio berkata, "Besok aku menjemput mu di rumah, baru kita berangkat ke Puncak bersama-sama. Oke?"
"Oke. Aku sih siap saja kapan waktunya di adakan meeting tersebut." jawab Mirah. Ia lupa kalau hari itu adalah batas waktu terakhir bagi kecantikannya.Tentu saja pulang dari kerja ia menjadi gelisah sekali. Sudah pukul 11 malam. Kemana ia harus mencari korban? Mulanya timbul gagasan untuk mencari seorang lelaki yang bisa di ajaknya becumbu guna memperpanjang waktu satu hari lagi. Tetapi, sebelum ia pergi memburu mangsanya, hujan telah turun. Deras sekali. Bahkan di sertai angin kencang. Mirah tak dapat pergi ke mana-mana. Ia bagai di kurung di dalam rumah.
Tak ada pilihan lain bagi Mirah kecuali mengambil salah satu keponakannya, atau kakaknya sendiri untuk di jadikan korban bedak mautnya. Kalau saja Sofia mempunyai seorang pembantu lagi, barang kali Mirah punya kesempatan untuk membeerikan bedak itu kepada pembantu tersebut. Tetapi, saat itu Sofia tidak mengambil pembantu lagi. Segala sesuatunya ia kerjakan sendiri. Dengan lain perkataan, di malam yang turun hujan lebat itu, hanya ada tiga calon korban: Sofia, Winni, atau si kecil Nadia.
Debar-debar di dalam dada Mirah cukup menyesakkan pernapasan, membuat wajahnya pucat. Ketika ia menemui Sofia dan kedua ponakannya yang sedang bermain di ruang tengah, hati Mirah menjadi tersayat-sayat. Ia pandangi wajah-wajah yang akan di jadikan korbannya mala mini. Sofia tertawa geli melihat Nadia menyanyi. Winni bergelayutan di pundak Mirah. Nadia sendiri melambai-lambaikan tangan kepada Mirah, mengajak Mirah ikut menyanyi."Ohhh… haruskah mereka-mereka itu menerima maut dalam polesan bedak ku?" batin Mirah tak tega.
"Mir, bagaimana kalau aku bekerja di kantor ku yang dulu lagi? Maksud ku, buat mencari tambahan biaya sekolah Winni dan makan sehari-harinya. Rasa-rasanya tak cukup kalau kami hanya hidup mengandalkan bunga uang simpanan di bank." ucap Sofia.
"Terserah kamu saja. Tapi, pikirkan anak-anak mu. Dengan siapa mereka di rumah jika kau bekerja." kata Mirah dengan hati berdesir haru."Kalau aku mengambil seorang baby sister, bagaimana? Mungkin dengan sebagian gaji ku itu, aku bisa menggunakan untuk biaya pengasuh anak-anak." ucap Sofia.
"Yah, itu ada baiknya." Mirah menjawab masih dalam kebimbangan. Gelisah.
Sofia memandangi kedua anaknya yang tengah bermain boneka di depan mereka. Dengan nada penuh keharuan, Sofia berkata, "Kasihan mereka. Sesekali Nadia suka bertanya, di mana papanya. Ah, aku tak tahu apa yang terjadi pada diri ku kalau aku harus kehilangan salah satu dari mereka. Mungkin lebih baik kami bertiga tenggelam di dasar bumi. Sebaliknya, aku sendiri tak bisa membayangkan kalau mereka juga kehilangan aku, mingkin sepanjang hidup mereka hanya penderitaan yang mereka alami. Mereka masih kecil-kecil. Seharusnya mereka memperoleh kasih sayang dari kedua pihak, dari papanya dan dari mamanya." Sofia menghela napas, sedikit ada getaran penahan duka.
Mirah jadi bertambah bimbang. Hatinya perih mengingat rencana yang ingin ia lakukan itu.
"Bagaimana kalau Nadia tidur bersama mu saja, mir. Aku suka nggak tahan kalau ia bangun tengah malam dan menanyakan papanya." ucap Sofia.
Oh, berat. Berat sekali jiwa Mirah menghadapi kenyataan ini. Sofia bagai menyerahkan Nadia kepada Mirah, seakan memberi kesempatan agar Mirah melakukan rencana mautnya itu. Debar-debar di dada Mirah makin menguncangkan jiwanya. Tak sadar ia menitikkan air mata. Hujan di luar rumah begitu deras, di iringi dengan gelegar petir yang menyambar-nyambar. Keadaan seperti itu membuat Mirah menjadi lebih di guncang kebimbangan.
Di kamarnya, Mirah berpikir sekali lagi, apa yang harus di lakukannya. Rasa-rasanya ia tak sanggup lagi jika harus memburu keponakan atau kakaknya untuk di jadikan korban. Beban kejiwaan yang tak sanggup di pikulnya itu membuat Mirah memutuskan untuk menunggu hujan reda, dan ia akan keluar mencari lelaki untuk di ajaknya bercumbu. Tetapi, sampai pukul 1 malam, hujan belum juga reda. Malahan semakin deras. Ia masih sabar menunggu redanya hujan. Ia akan nekat keluar walaupun hari sudah lewat tengah malam.
Tak terasa akhirnya ia tertidur di atas ranjangnya. Begitu pagi ia bangun, ia tersentak kaget. Ia buru-buru berdiri di depan cermin.
"Ohhh… tidak…!" keluh Mirah sambil memegangi wajahnya.
Mirah tampak sedih sekali melihat wajah itu adalah wajah aslinya yang tidak mempunyai daya tarik sedikit pun. Celaka! Padahal ia janjian degan Julio untuk di jemput, karena hari itu Julio ingin mengajaknya ke puncak. Konon, ada meeting di sana dalam rangka pembicaraan tentang proyek besar yang dulu akan di tangani bersama Almarhum Hans. Gawat. Lalu, bagaimana Mirah harus menghadapi kedatangan Julio nanti?
***Bersambung…
Terima kasih buat kalian yang sudah membaca ya. Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorrorKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...