"Warning!!! Cerita ini hanya boleh di baca dengan usia 21++!!!"
"Untuk yang masih di bawah umur, di larang keras untuk membaca cerita ini!!!"
***
Mirah sedikit tercegang melihat seorang pemuda duduk di kamar itu. Wajahnya tampan, pakaiannya ekseklusif, senyumnya indah di pandang mereka.
"Oh, ya… kenalkan dulu, Mir… ini rekan bisnis ku. Julio, pengusaha muda yang sukses di bidang perminyakan…" kata Hans.
Mirah pun bejabat tangan dengan pemuda yang bernama Julio itu. Pemuda itu kelihatan bukan asli berdarah pribumi, tapi masih ada campuran dari Barat. Mirah mencoba menebaknya, "Ayah mu orang Belanda, Julio?"
"Bukan. Ibu ku yang orang Italia. Ayah ku orang Ngayogyokarto Hadiningrat. Yogya…!" lalu tawa Julio pecah. Ia sangat fasih menyebutkan kota kelahiran ayahnya.
"Jul." kata Hans. "Aku ingin melibatkan Mirah dalam bisnis kita yang kali ini. Bagaimana?"
"Sangat setuju." jawab Julio. "Tapi, lebih setuju lagi kalau aku keluar sebentar, karena dari tadi aku belum mandi."
"Hei, mau ke mana kamu? Apa tidak sebaiknya kita ngobrol-ngobrol dulu?" kata Mirah.
"Mana enak ngobrol dalam keadaan belum mandi gini." jawab Julio. "Oke, Om Hans… aku mandi dulu, nanti kita turun kalau kau sudah calling aku."
"Oke, Jul!" Hans tersenyum, dan membiarkan Julio keluar dari kamarnya. Lalu, Hans bicara kepada Mirah, "Hati-hati kalau sama dia."
"Kenapa…?" Mirah berkerut dahi.
"Dia termasuk play boy kelas international." jawab Hans.
Mirah tertawa renyah bersamaan dengan tawa Hans yang menampakkan keramahannya yang khas. Lalu, canda demi canda pun berhamuran di kamar itu. Hans lebih berani memandang Mirah ketimbang dulu waktu mereka bertemu di Plaza."Hans, sebenarnya kau tinggal di mana sih?" tanya Mirah dengan nada heran.
"Kau punya kartu nama ku, kan? Di situ ada alamat rumah ku." jawab Hans.
"Ya, aku tahu. Tapi… alamat itu ada di dalam kota, kan? Kenapa kau mau bermalam di sini? Untuk apa menyewa hotel segala?" tanya Mirah lagi.
"Ada sesuatu yang aku cari, Mir." jawab Hans.
"Ada yang kamu cari?" tanya Mirah lagi.
Hans tersenyum memandangi Mirah, lalu menjawab dengan nada pelan, "Kau…!"
Mirah terhenyak menatap Hans. Sebelum Mirah mengucapakan sesuatu, Hans lebih dulu berkata, "Aku gelisah sejak pertemuan pertama kita, tempo hari. Dan, aku ingin melepaskan rindu itu di sini. Kau tahu kalau aku menyimpan rindu pada mu, Mir?"
Mirah menanggapinya dengan santai, "Kepada ku? Aha… kenapa tidak kepada yang lain?" tanyanya.
Hans menggeleng, tangannya meraba rambut Mirah, sambil menjawab, "Cuma kamu yang mampu membuat ku terus berpikir tentang wanita."
"Are you sure…?" tanya Mirah yang merasa ragu dengan ucapan Hans.
"Aku tidak pernah menutup-nutupi kelemahan ku. Kalau aku merasa rindu, aku akan bilang apa adanya pada orang yang ku rindukan. Terserah apa penilaian orang itu." jawab Hans.
"Bukankah… bukankah sebaiknya kau rindu pada istri mu, dan…" belum sempat Mirah menyelesaikan ucapannya, Hans sudah memotong dan berkata, "Aku duda." tukas Hans dengan cepat, dan Mirah jadi lebih tercegang lagi. Matanya yang sedikit kebiru-biruan dan bening itu memandang Hans tak berkedip.
"Kau merasa tak enak bergaul dengan seorang duda, Mir?" tanya Hans.
Sesaat Mirah diam, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, Hans. Aku tidak pernah berpikir duda atau pun perjaka. Pergaulan tidak terbatas pada yang perjaka saja. Mungkin ada baiknya bergaul dengan seorang yang berstatus duda."
Hans tertawa pendek. "Kenapa begitu?" tanyanya kepada Mirah.
"Yah…" Mirah tersenyum dulu. "Mungkin banyak pengalaman yang bisa ku peroleh dari seorang duda."
Hans makin tertawa sambil mencubit dagu Mirah, dan Mirah tidak mengelak, tidak pula menepiskan tangan itu. "Kau pandai berdiplomasi, rupanya."
Mirah sedikit tersipu. Lalu, Hans memberanikan diri mencium pipi Mirah. Perempuan cantik itu diam saja, sekalipun berlagak mendesah, namun ia toh tidak mengelak. Hans berbisik, "Ku berikan semua pengalaman ku pada mu malam ini, Mirah…"
Jantung Miraah berdebar-debar. Ia merasakan kecupan lembut di belakang telinganya. Kecupan itu membuat tubuhnya merinding dan ia mengikik. Tetapi, Hans tidak mau berhenti. Ia merayapkan kecupannya ke leher, sebab Mirah memiringkan kepala, seakan memberi tempat pada kecupan Hans agar merayap ke leher.
Dalam hati yang berdesir-desir itu, Mirah berbisik sendirian, "Kalau ku biarkan ia mencumbu ku, maka kecantikan ku akan bertambah satu hari lagi…" Itulah sebabnya Mirah tidak mengelak saat tangan Hans merayap ke pahanya. Tangan itu di biarkan bergerak lurus dalam satu sentuhan kemesraan yang membuat darah Mirah mengalir deras. Sementara itu, mulut Mirah sengaja tergandah dengan sedikit terbuka. Hans pun segera mengecup bibir itu. Mulanya pelan, penuh resapan syuuur…! Tetapi, beberapa saat kemudian kecupan itu menjadi menganas. Bahkan merayap ke mana-mana, sampai-sampai gaun Mirah menjadi lusuh dan kancingnya terlepas semua.
Mirah tetap membiarkan tubuhnya sedikit berbaring di sofa empuk itu. Bahkan ketika lututnya di kecup-kecup oleh bibir Hans, Mirah berusaha melepas pembungkus tubuhnya bagian atas. Semuanya di lepas, hingga kini tangan Hans lebih leluasa merayap ke bagian dada.
Hans memburu. Benar-benar buas, seperti singa lapar. Mirah justru merasa di siram kenikmatan sejuta rasa, karena Hans tidak bekerja dengan bibir dan lidahnya saja, melainkan kedua tangan dan kesepuluh jari-jemarinya ikut bekerja menciptakan sentuhan indah buat Mirah.
Mirah meringik dalam erangan kenikmatan. Benar-benar sejumlah pengalaman bercumbu di berikan oleh Hans pada malam itu. Mirah melonjak kegirangan, dan ia merasa terbang melayang-layang. Matanya sayu, memandang Hans yang berdiri di depan dalam jarang sangat dekat.
Mirah meremas pinggang belakang Hans dalam keadaan masih duduk di sofa. Remasan itu turun ke bawah, membuat Hans makin terengah-engah, sementara itu Mirah tak sanggup bersuara sedikit pun karena mulutnya tersumbat. Sebaris keluh hanya mampu menggumpal di tenggorokannya.
Sofa itu adalah ranjang kebahagiaan bagi Hans. Dan, Mira menikmatinya dengan sejuta keindahan yang baru itu di rasakannya. Ia kini paham, bagaimana berlayar di lautan cinta dengan hanya menggunakan sebuah sofa panjang itu. Ternyata lebih memberikan sentuhan peka ketimbang seperti saat ia menikmatinya bersama Samsi. Keindahannya kini benar-benar berupa seujud kemesraan tanpa rasa sakit dan perih. Jauh berbeda dengan ketika ia berlayar bersama Samsi.
Hans dan Mirah sama-sama terhempas dalam kelunglaian, juga membiarkan keringat mereka bercucuran, meresap di sofa tersebut. Mirah tersenyum ketika kepalanya terkulai di sandaran sofa, sama halnya dengan Hans. Mereka saling beradu pandang dalam senyum kelegaan, karena keduanya sama-sama menikmati puncak kemesraan mereka yang tertinggi. Dan itu sangat mengesankan bagi Mirah maupun bagi Hans.
***
Bersambung…
Terima kasih sudah membaca chapter ini. Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
Kinh dịKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...