"Warning!!! Cerita ini hanya boleh di baca dengan usia 21++!!!"
"Untuk yang masih di bawah umur, di larang keras untuk membaca cerita ini!!!"
***
Mirah menahan tawa dengan senyum yang menggairahkan. "Memangnya suami itu seperti kompor. Kalau cuma butuh kehangatan mah, ambil air panas, taruh dalam botol, terus di peluk, kan itu juga hangat!"
"Tapi lain dong. Hangat seperti itu tidak bisa meresap sampai ke dalam hati. Kalau kehangatan seorang suami kan bisa meresap bukan sampai hati saja, seluruh tulang kita pun menjadi hangat." kata Samsi sambil memperhatikan wajah Mirah yang makin kelihatan manis di pandang.
Samsi berjalan mendekati meja rias. "Hei, kau… kau pasang lilin segala, ya?"Mirah agak gugup. Ia selalu lupa memindahkan empat lilin dalam posisi membentuk segi empat itu. Untuk menghilangkan kecurigaan Samsi, Mirah hanya menjawab, "Hm… iya. Ku pasang lilin untuk mencari kehangatan."
Samsi tertawa pelan, takut membangunkan Nadia. "Tuh, apa kata ku. Coba kalau kau kawin, punya suami, kau tidak perlu memasang empat lilin. Cukup satu lilin yang kau butuhkan."
Mirah tertawa sambil menepuk kaki Samsi yang berada dalam satu jangkauan. Mirah mengerti maksud kata-kata Samsi.
"Hei, aku serius, Mir! Kalau kau punya suami, di sentuh saja sudah terasa hangat." lalu Samsi pun memegang tengkuk kepala Mirah. "Tuh, hangat kan?" tanyanya kepada Mirah.
"Ahhh…!" Mirah segera menepiskan tangan Samsi. Merasa tidak enak di sentuh demikian. Walaupun pada saat itu sebenarnya Mirah memang merasa ada kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhnya, tap ia berusaha untuk tidak menghiraukannya.
"Apalagi kalau mendapat sentuhan di sekujur tubuh, uhhh… itu yang pernah di katakan kakak mu sebagai awal dari kenikmatan, Mir." ucap Samsi.
Mirah tidak memberikan komentar, tapi di dalam hatinya ia merasa berdesir juga sebab terbayang apa yang di katakan oleh Samsi.
"Dari dada, biasanya ia turun ke perut dan terus mengusap ke bawah lagi, ohhh… sungguh, Mir. Kakak mu paling suka jika aku berbuat begitu. Indah sekali, katanya. Tetapi, ia lebih suka jika aku melakukannya dengan ciuman. Kecupan dari bibir yang terus merayap ke bawah, katanya bisa bikin dirinya seperti terbang." lanjut Samsi.
Mirah diam saja. Itu tak pernah ia lakukan, tapi ingin sekali ia merasakannya. Mumpung ia menjadi cantik, mumpung keadaannya sangat sepi dan dingin mencekam. Apa salahnya jika ia ingin membuktikannya? Toh kalau wajahnya menjadi buruk lagi, tak ada lelaki yang mau menyentuhnya seperti kata Samsi tadi.
"Kau tak ingin merasakan sentuhan seperti itu, Mir?" bisik Samsi makin mendekatkan wajahnya ke Mirah.
Mirah gemetar. Haruskah ia mencoba dengan suami kakaknya sendiri?***
Angin malam menghantarkan embun dengan sejuta hawa dingin. Kulit tubuh Mirah merasakan kehadiran hawa dingin itu yang meresap masuk ke dalam kamarnya.
Tetapi, sentuhan tangan Samsi yang meraba bagian punggungnya, membuat hawa dingin itu makin lama makin menyusut. Mirah tak berani memberikan reaksi apa pun. Ia diam saja. Jantungnya berdebar-debar. Gemetar. Yang dapat dilakukannya hanyalah memandangi Nadia sambil menepuk-nepuk pelan paha anak itu. Pikirannya melayang, sesekali ia merasakan hangat dan nikmatnya sentuhan tangan Samsi yang ada di belakangnya. Makin lama sentuhan tangan itu semakin merayap ke leher. Mengusap-usapnya dengan pelan. Ada rasa geli dan syur yang hadir pada saat itu, membuat Mirah mulai berkeringat dingin.
Kegelisahan di dalam hatinya mengandung kebimbangan yang menyiksa. Keputusan belum di ambilnya, karena Mirah masih belum mengerti harus berbuat apa. Yang jelas, ketika Samsi menyibakkan rambut Mirah dari belakang ke depan, Mirah diam saja. Punggung dekat tengkuk kepala makin terbuka. Udara dingin terasa. Namun, sebentar kemudian menjadi menghangat. Mengapa begitu? Ya, karena saat itulah bibir Samsi menempel di tengkuk kepala Mirah.
Samsi tak tahu kalau perempuan cantik itu memejamkan mata, menahan suatu rasa yang membuat hatinya berdesir-desir. Samsi hanya merasa di beri kesempatan untuk mengecup punggung Mirah dengan berdiamnya perempuan itu. Bahkan kini Mirah mendesis pelan ketika Samsi mengecup lehernya beberapa kali. Sentuhan bibinya mengambang, antara kena dan tidak. Itu membuat lengan Mirah merinding dalam resah. Diamnya Mirah membuat Samsi semakin berani. Sambil mengecup lembut leher dan sekitarnya, kedua tangan Samsi meraba bagian bawah leher Mirah.
Kemudian, pelan-pelan salah satu tangannya menyelusup masuk pada belahan gaun tidur di bagian atas dada. Masuk terus ke dalam, dan tangan itu menyentuh ujung bukit yang tampak menonjol. Padat dan kencang.
"Sss…, Saaam….!" Mirah mendesis, lalu menggeliat pelan. Ada rasa nikmat yang membuat Mirah mendongakkan kepala. Ada desiran indah yang membuat Mirah meremas kain seprei sambil menggigit bibirnya. Itu terjadi ketika Samsi meremas pelan sebagian bukit kemesraan Mirah.
"Indah bukan…?" bisik Samsi.
Mirah tak menjawab sepatah kata pun. Ia sibuk meresapi sentuhan yang belum pernah di rasakannya itu. Matanya terpejam penuh bayangan indah. Sampai-sampai ia sendiri tak tahu kalau bibir Samsi telah menyentuh bibirnya, kemudian mengecup bibir tipos dan mungil itu pelan-pelan.Mirah sendiri secara naluriah menggerakkan lidahnya, memilin lidah Samsi, hingga jiwanya bagai terbang di awang-awang. Ia tak merasa sama sekali, bahwa saat itu tali gaunnya di tarik pelan dan terlepas oleh Samsi. Gaun itu terkulai jatuh di pangkuannya, sementara tangan Samsi semakin bebas berlaga.
Kecupan bibir Samsi mulai turun pelan-pelan ke dagu. Ujung lidahnya menyentuh-nyentuh bawah dagu Mirah, membuat Mirah makin melayang-layang.
Matanya masih terpejam. Karena sentuhan lidah Samsi bergerak terus ke leher dan menciptakan seribu kenikmatan tersendiri.
"Aah…" Mirah mendesah dengan gerakan kepala menggeliat lambat. Bibir bawahnya di gigit sendiri, karena ia menahan desir kenikmatan pada saat Samsi merayapkan lidahnya dari leher ke bawah.
Ooouuuh…!" Mirah mulai mengerang dengan napas memburu pada saat Samsi menjadi seperti anak bayi yang belum di sapih. Kedua tangan Mirah meremas-remas lengan Samsi dengan mata semakin di pejamkan kuat-kuat.
Haruskah Mirah berhenti sampai di situ? Bukankah kenikmatan mesra seperti itulah yang dari dulu di bayangkannya namun tak pernah terlaksana? Bukankah sentuhan-sentuhan mesra seperti itulah yang selama usia 33 tahun ini baru sekarang berhasil ia nikmati?
Tidak. Mirah tidak sanggup menghentikan kemesraan itu. Ia kini terkulai, jatuh di ranjangnya dengan napas tersendat-sendat dan mulut melontarkan seribu desah.
Begitu indah semuanya terjadi. Ternyata kemesraan seperti itu mampu menghadirkan satu kesan yang amat manis di dalam sepanjang hidupnya. Hanya saja, ketika Mirah merasakan ada sesuatu yang menembus pusat kepekaannya, ia sempat memekik dalam erangan yang memanjang. Bibirnya menyeringai, matanya terpejam, lalu bibir itu di gigitnya sendiri.
***
Bersambung…Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Kecantikan Misterius
HorreurKecantikan itu di buru, karena selama ini Mirah tak pernah mendapatkan kemesraan dari pemuda mana pun. Usianya sudah cukup padat: 33 tahun. Rindu ingin bercinta membuat Mirah nekad mencoba buku temuannya. Sebuah buku kuno yang secara tak sengaja di...