Chapter 8 Kembali Cantik

21 12 5
                                    

Ummi menggaruk wajahnya dengan parutan kelapa sambil kelabakan lari ke sana-sini. Sambil akhirnya, ia sangat tak tahan lagi. Ia melihat di atas perapian ada penggorengan besar yang masih di pakai untuk menggoreng tahu. Minyaknya mendidih dan melimpah-limpah.

Karena ingin segera meredakan rasa gatalnya yang tak tertahankan lagi, Ummi pun segera menceburkan wajahnya ke dalam minyak goreng yang mendidih itu, Nyosss...!

"Aaahhh...!" jerit emak dan adik-adik Ummi.

Tubuh Ummi berkelojot. Marjan dan Kasmin segera menarik tubuh Ummi yang melemas di samping penggorengan itu. Tetapi, ketika mereka membalikkan tubuh Ummi, keduanya sama-sama menjerit ketakutan dan lari tunggang langgang. Mereka tak tahan melihat wajah Ummi yang merah matang, tinggal beberapa bagian daging saja. Tulang-tulangnya bertonjolan, dan saat itu Ummi sudah tidak bernapas lagi. Minyak mendidih dan luka akibat parutan kelapa itu membuat wajah Ummi sangat mengerikan. Hitam kemerah-merahan. Berlendir, berbau amis. Sudah tidak berbentuk wajah manusia lagi.

Sore itu adalah sore kematian bagi Ummi. Tetapi, sore itu adalah sore kecantikan bagi Mirah. Senyumnya begitu manis saat Mirah berdiri di depan cermin yang tadi terlihat hitam kelam itu. Hidungnya menjadi bangir. Bibirnya tipis segar dan begitu menggemaskan bagi seorang lelaki. Kulitnya mulus, tanpa cacat sedikit pun. Matanya bening, sedikit kebiru-biruan. Giginya yang tonggos menjadi rapi, kecil-kecil bagai barisan mutiara, menurut kata Ardiana tempo hari.

Mirah menjadi lega. Ia telah kembali cantik, ia telah kembali menawan, mempesona siapa saja. Dan, sore itu, ia baru berani keluar dari kamarnya. Mengenakan gaun kuning berbunga-bunga merah dan biru. Seuntai kalung emas berliontin batuan putih di kenakan di lehernya, menambah parasnya menajdi lebih cantik lagi. Ia ingin tahu, apakah Danang masih bisa terpikat olehnya lagi atau tetap menjauhinya. Karena itu, Mirah pun datang ke rumah Danang.

"Hei, Mir...! Kenapa baru muncul sekarang? Boss cari-cari kamu! Dua hari kamu tidak masuk. Ke mana saja sih?" sapaan Danang ketika Mirah datang, sungguh luar biasa ramahnya. Tidak seperti tempo hari, ketus dan tampak sinis kepada Mirah yang baru saja bangun tidur dan berwajah buruk sekali. Kali ini Danang masih sering melirik Mirah, dan kelihatan ceria melihat kecantikan Mirah yang berada di depannya lagi.

"Mir, usahakan besok kau masuk! Boss ngamuk-ngamuk kalau kau nggak masuk." kata Danang. Mirah hanya tersenyum kalem, membuat Danang menggeram gemas di dalam hatinya.

"Tenang aja, Nang. Boss nggak bakalan marah sama aku." ucap Mirah dengan tenang.

"Oh, ya... bagaimana kalau malam ini kita nonton di Kirana Theater? Setuju?" ajak Danang. Mirah makin menyunggingkan senyum angkuh.

"Sorry, Nang. Malam ini aku punya acara lain. Aku kemari hanya ingin tahu, apakah aku di pecat atau tidak dari hotel kita. Kalau tidak di pecat, besok aku akan masuk lagi. Tapi kalau di pecat, besok aku akan kerja di hotel lain!" jawab Mirah.

"Ku rasa... ku rasa tidak! Kau tidak di pecat!" tegas Danang.

"Kalau begitu, permisi!" ucap Mirah.

"Mir... tunggu dulu!" Danang meraih lengan Mirah.

"Aku punya janji dengan seseorang, Nang. Sudah dekat waktunya. Aku tidak mau mengecewakan teman baru ku itu!" jawab Mirah seenaknya, padahal ia tidak punya janji dengan siapa pun. Tetapi, memang itulah tujuannya datang kepada Danang. Ingin menguji kecantikannya. Ternyata masih membuat Danang tertarik. Selain itu, ingin membalas sakit hatinya atas sikap Danang pada pagi itu. Dan, Mirah merasa puas dan lega. Terutama setelah melihat Danang berwajah sendu, memandangi kepergian Mirah di depan rumahnya. Danang tampak kecewa, karena hasratnya ingin kembali kepada Mirah ternyata di acuhkan begitu saja oleh Mirah.

Malam itu, Mirah sengaja pergi sendirian ke sebuah Plaza. Diam-diam ia memperhatikan beberapa lelaki yang ada di Plaza itu, ternyata semua memandang kagum kepadanya. Mirah semakin merasa bangga dengan kecantikan yang di milikinya itu.

Mirah duduk di sebuah tempat makan bergengsi, memesan hamburger dan orange juice kesukaannya. Seorang lelaki berdasi, tampak keren dan berkumis tipis meliriknya dari tempat ia duduk. Mirah acuh tak acuh. Ia yakin, dengan sekali senyum, lelaki itu pasti akan mendekatinya.

Hal itu di buktikan. Mirah tersenyum tipis waktu tatapan mata mereka saling beradu. Tak lama kemudian, lelaki itu berdiri dan menghampirinya.

"Sendirian?" sapa lelaki itu.

"Menurut mu dengan siapa aku sekarang?" jawab Mirah kalem.

Sayang, lelaki itu usianya lebih tua dari Mirah. Sebagian rambutnya mulai beruban. Tapi jiwa mudanya masih kelihatan.

"Boleh saya duduk di sini?" tanya lelaki itu.

"Silakan. Tempat ini bukan milik ku. Siapa saja boleh duduk di mana ia mau." jawab Mirah kalem.

Setelah lelaki itu duduk, ia pun berkata, "Aku juga sendirian. Sebenarnya sedang tunggu teman, tapi sudah lewat satu jam dia belum juga datang."

"Ooo..." Mirah berlagak angkuh.
Mirah tahu, bahwa ia sedang di pandangi terus oleh lelaki di depannya itu. Ia pun tahu juga, bahwa lelaki itu sangat terkagum-kagum kepada kecantikannya. Tapi, Mirah tidak mau bertindak ceroboh. Ia harus hati-hati dalam menentukan sikap, supaya tidak di remehkan dan di anggap murahan.

"Nama ku, Hans." kata lelaki itu. "Terserah kau, mau memanggil ku Hans saja atau Om Hans, buat ku sama saja."

Mirah tertawa dalam suara mirip orang menggumam. "Nama ku, Mirah. Terserah, kau mau memanggil ku Mirah saja, atau memakai Dear Mirah, buat ku itu tak jadi soal."

Hans tertawa mendengar pancingan Mirah. Lalu, keduanya menjadi akrab. Keduanya banyak bicara, sering bercanda, sampai akhirnya Hans mengajak Mirah untuk jalan-jalan di Plaza tersebut.

"Kau pulang dari kantor?" tanya Mirah waktu mereka menaiki tangga eskalator.

"Ya. Janjian sama teman, tapi rupanya di tidak jadi datang." jawab lelaki itu.

"Teman perempuan, tentunya." pancing Mirah.

"Bukan. Teman lelaki. Ada sedikit pembicaraan soal bisnis dengannya. Oh, ya... kau kerja di mana?" tanya lelaki itu.

"Hotel...!" jawab Mirah. "Sebagai resepsionis. Jangan salah sangka dulu!" Mirah mencegat praduga negatif yang akan melintas di benak Hans. Dan, lelaki yang lebih ganteng dari Danang itu hanya tertawa terkekeh-kekeh.

Mirah mengajak Hans masuk ke sebuah butik. Ia mengambil salah satu gaun buatan Jepang. Ia tempelkan di badannya sambil memandang ke cermin.

"Pantas nggak, Hans?" tanya Mirah.
Hans pun menjawab, "Wah.... pantas sekali! Kau kelihatan lebih cantik jika mengenakan gaun itu. Kau mau?" tanyanya kepada Mirah.

"Ah, kapan-kapan saja kalu punya duit. Harganya selangit sih. Empat ratus lima belas ribu rupiah." Mirah bersuit. "Ku rasa tidak harus sekarang aku memiliki gaun seindah ini."

"Kenapa tidak? Miliki saja sekarang." kata Hans.

***

Bersambung...

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang