Chapter 4 Perubahan Wajah

32 12 2
                                    

Mirah bangun lewat magrib. Itu pun karena mendengar keponakannya berteriak-teriak memberi tahu mamanya tentang kematian Sarmini. Waktu Mirah terbangun, ia tidak merasakan keanehan. Hanya sedikit gugup mendengar Sarmini mati. Tetapi, ketika Mirah menyisir rambutnya yang panjang sebatas punggung, ia terkejut. Sangat terkejut. Ia melebarkan matanya memandang wajahnya di depan cermin. Ia tak percaya dengan penglihatannya sendiri.

Wajah itu menjadi cantik. Bahkan Mirah merasa asing dengan wajahnya sendiri. Hidungnya bangir, bibirnya kecil, tipis tapi menawan. Bulu matanya lebat dan lentik. Mempunyai bola mata yang bening. Bagian hitamnya kelihatan mengkilat, sedikit kebiru-biruan. Dan yang paling aneh, kulit wajahnya itu sangat lembut. Halus. Tanpa ada totol-totol bekas cakar sedikit pun.

"Oh…? Wajah ku? Benarkah ini wajah ku?" Mirah meraba wajahnya sendiri dengan jantung berdebar-debar. Ia bergerak maju, lebih mendekati cermin. Memandangnya dengan teliti, merabanya pelan-pelan, lalu tak terasa kedua matanya itu membayang genangan air bening.

"Astaga… wajah ku menjadi sangat cantik?! Hei, kenapa bisa begini? Aku jadi seperti seorang ratu. Oh, cantik sekali? Apakah ini suatu impian belaka?"

Tidak. Mirah tidak mimpi. Mirah benar-benar mengalami perubahan wajah yang sangat ajaib. Ia menjadi cantik, menawan. Senyumannya pun, oh… luar biasa manisnya. Gerak-gerak bola matanya mampu menciptakan satu pesona yang membuat setiap orang memandang merasa berdebar-debar jantungnya sambil bengong-bengong.

Samsi, suami dari kakak Mirah, berhenti melangkah ketika Mirah terlihat menuju ke kamar mandi. Samsi tidak berkedip memperhatikan Mirah. Ia masih memegang handuk yang habis untuk mengeringkan rambutnya, matanya tak berkedip memandang Mirah. Apalagi kali ini Mirah tersipu setelah mengetahui Samsi memperhatikannya, oh… luar biasa cantiknya Mirah dalam keadaan tersipu begitu. Sofia, kakak Mirah, tidak ada sekuku hitamnya di banding kecantikan Mirah. Padahal hari-hari biasanya, Sofia jauh lebih cantik ketimbang Mirah.

Ketika Mirah selesai mandi, Samsi sengaja berdiri di kebun belakang, berlagang merapikan tanaman bunga melati yang berserakan. Ia memandang tak berkedip kepada Mirah, lalu menegurnya dalam gumam.

"Mirah…? Kau… kau…"

"Ada apa?" Mirah memandang Samsi. Yang di pandang semakin grogi.

"Hem… tidak. Tidak ada apa-apa. Aku… aku cuma merasa heran melihat kecantikan mu. Kau sangat cantik, Mirah." jawab Samsi grogi.

"Ah, kau hanya menyindir ku, Sam!" balas Mirah tersipu malu.

"Sungguh! Sumpah!" Samsi bersemangat menyakinkan.

"Kau… kau habis melakukan operasi plastik pada wajah mu, ya?" tanya Samsi memastikan.

Mirah hanya tersenyum. Wow… manis sekali. Dan, ia segera melangkah, masuk ke paviliyunnya melalui pintu di samping gudang. Samsi di biarkan terbengong-bengong seperti sapi ompong.

"Oh… benarkah aku tampak cantik dan menarik?" pikir Mirah sambil merapikan rambutnya di depan cermin. "Samsi sangat terpukau melihat ku. Apakah itu artinya aku sudah menarik bagi seorang lelaki? Tapi, kenapa? Kenapa aku bisa menjadi secantik ini? Mungkinkah karena pengaruh empat lilin dan bahasa-bahasa yang ku ucapkan itu? Oh, jika benar begitu, berarti aku telah memperoleh mantra gaib yang bisa mempercantik wajah?! Aduh, senangnya! Aku jadi berdebar-debar terus dari tadi…!" Mirah tersenyum-senyum dengan melenggak-lenggok di depan cermin.

Kemudian, Mirah buru-buru mengambil buku kuno itu dan ia mempelajari semua tulisan yang bisa terbaca itu. Sekali lagi buku itu di pelajarinya, bahkan beberapa kalimat di pindahkan ke dalam buku notes lain menggunakan tulisan Mirah sendiri.

Kecantikan itu, sempat menciptakan gumam dan kasak-kusuk di antara tetangga. Berita tersebar adalah, Mirah telah melakukan operasi wajah di sebuah klinik yang di rahasiakan oleh Mirah sendiri. Bahkan, Ardiana, teman sekerja Mirah merasa bangga dan kagum melihat kecantikan Mirah.

Ardiana pun berkata, "Segala telah menjadi terbalik serratus delapan puluh derajat, Mir. Kau benar-benar mencengangkan setiap orang. Terus terang, aku sendiri merasa iri. Dulu aku lebih cantik dari kamu, tapi sekarang kamu justru jauh di atas kecantikan ku, Mir. Sesama wanit, aku sendiri merasa tertarik dan senang memandangi kecantikan mu."

"Ah, kau…!" Mirah berlagak risik di puji demikian.

"Sungguh kok. Kalau aku ini cowok, wah… sudah ku lamar kau saat ini juga." Mereka mengikik sejenak. "Dulu kau sering di pakai buat bahan ejekan. Ada yang memanggil mu si Bopeng, ada yang menyebut mu si Tonggos, tapi sekarang…? Siapa yang bisa mengatakan kau bopeng atau tonggos? Gigi mu sendiri menjadi indah, putih berseri, berjejer bagai barisan mutiara."

"Sudah, sudah…. Kamu semakin ngaco!" ucap Mirah segera. Lama-lama ia merasa beneran risih juga di katai begitu.

"Eh, betul kok, Mir! Ini serius. Kau tahu, sejak tadi Danang memandangi mu terus. Ia pasti kagum dan terpikat oleh mu!" ujar Ardiana.

"Tuh, tuh… makin ngaco aja kamu, kan?! Mana mungkin Danang naksir sama perawan tua seperti aku?!" Mirah berlagak merencah.

"Eh, dalam keadaan secantik ini, siapa sangka kau berusia 30 tahun lebih? Kau malah seperti baru berusia 25 an, Mirah!" ujar Ardiana.

Danang itu temen sekerja. Ia guide, tugasnya melayani pembeli dalam toko barang-barang antik itu, termasuk melayani turis-turis. Dulu, Danang sering menyepelekan kehadiran Mirah di sekitarnya. Malahan dalam candanya, Danang pernah berkata,

"Kalau ada turis datang, dan kau di pajang di depan, ku rasa kamu akan di tawar dengan harga 500 dollar, Mir!"

Sebenarnya saat itu Mirah merasa sakit hati. Tetapi, ia memang mampu mengendalikan emosi, dan menganggapnya hal itu tidak serius. Tetapi sekarang, mana mungkin Danang berani bicara begitu? Bahkan, ketika hari menjadi siang dan Mirah baru saja pulang dari survey lampu kristal peninggalan zaman VOC, Danang sengaja berdiri di dekat pintu masuk tokonya. Ia menyapa Mirah dengan lembut.

"Capek, Mir?"

Senyum Mirah mekar, dan jantung Danang menjadi berdebar-debar.

"Mir, aku ingin mengajak mu makan siang di restoran seberang itu, kau mau?" kata Danang tanpa berkedip.

"Kau yang traktir aku, kenapa aku harus menolak? Aku sih oke-oke aja!" jawab Mirah seraya melirik, menciptakan debaran yang sangat menggemaskan hati Danang.

Sambil menikmati makan siang berdua, Danang tidak henti-hentinya melirik Mirah yang duduk di depannya itu. Beberapa pengunjung restoran memusatkan perhatiannya ke arah Mirah. Dua pengunjung yang duduk di sudut sering berbisik-bisik, lalu mereka tertawa pelan sambil arah pandangan mata mereka tertuju pada Mirah.

"Dua hari kau tidak masuk dengan alasan mengecek keadaan meja marmer, tapi sebenarnya aku tahu ke mana kau pergi, Mir." kata Danang.

Mirah hanya mencibir manis. Danang terkesan. Katanya lagi, "Kau berhasil memperoleh klinik untuk operasi wajah secepat itu. Ini sangat mengagumkan dan luar biasa kecanggihan klinik tersebut.

Mirah tetap tidak memberikan komentar soal lain.

***
Bersambung…

Sampai jumpa di chapter selanjutnya ya~

Tumbal Kecantikan MisteriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang