01 | dia, ingat

2.7K 259 8
                                    

“Saya sudah nunggu kamu dari tiga jam lalu, loh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya sudah nunggu kamu dari tiga jam lalu, loh. Kenapa baru dikumpulkan sekarang?”

Pada akhirnya, pertanyaan yang tak ingin Linka dengar pun muncul dari mulut Bu Winda secara langsung yang berada tepat di depan mata. Sejujurnya, Linka memang sudah memperkirakan hal tersebut. Namun masalahnya, haruskah Bu Winda bertanya saat dua mahasiswa yang dibimbingnya masih berada di sana? Lihat saja sekarang, dua pasang mata itu hanya terfokus pada Linka seorang.

Linka memeluk kertas-kertas tugas di tangannya dengan erat. Jantungnya mulai berdegup tak nyaman. Ia menggigit bibir bawah sejenak sebelum membalas, “Maaf, Bu, tadi ada tiga orang yang tugasnya belum selesai, jadi saya harus nunggu mereka dulu.”

Jika menilik dari bagaimana raut wajahnya, tampaknya Bu Winda agak tak senang mendengar jawaban Linka. “Seharusnya, kamu nggak perlu nunggu mereka-mereka yang nggak bisa menyelesaikan tugasnya tepat waktu. Bukannya saya sudah pernah bilang kalau saya nggak bisa kasih toleransi pada orang yang abai terhadap kewajibannya sendiri?”

Seketika Linka pun terbungkam, dan yang bisa ia lakukan hanyalah tertunduk dalam.

Bu Winda menghela napas panjang, lantas lanjut berujar, “Sebagai penanggung jawab mata kuliah, kamu juga harus bisa bersikap tegas. Sifat nggak enakan sama orang lain ini memang berbahaya, dan kamu nggak bisa tetap pasang sikap seperti itu saat melakukan tugas kamu, Linka.”

“Iya Bu, maaf,” cicit Linka yang benar-benar tak tahu lagi harus membalas seperti apa.

“Menjadi PJ matkul ini apa sangat membebani kamu, Linka?”

“Nggak sama sekali kok, Bu ….”

“Kalau memang benar begitu, kamu bisa introspeksi, ‘kan? Dan perlu kamu ingat juga kalau saya nggak asal tunjuk kamu waktu itu. Saya percaya kalau kamu bisa, jadi, kamu betul-betul bisa saya percaya, ‘kan?”

Kali ini, Linka memberanikan diri untuk menatap sang lawan bicara. Penuturan Bu Winda yang telah menaruh kepercayaan besar padanya serta-merta menimbulkan perasaan bersalah pun keinginan memperbaiki diri. Pasti sulit memang untuk ambil sikap tanpa melibatkan sifat pribadi, tetapi Linka betul-betul tak mau mengecewakan dosennya.

Maka dari itu, dengan mencoba agar terdengar yakin, Linka pun berkata, “B-bisa, Bu. Ke depannya, akan saya usahakan supaya hal seperti ini nggak terjadi lagi.”

Pada saat itu, akhirnya sebuah senyum bangga tercetak jelas di wajah Bu Winda. “Bagus,” ucapnya sembari manggut-manggut. “Kalau begitu, sekarang coba kamu data ulang di meja saya. Tolong catat juga siapa yang terlambat mengumpulkan, karena pengurangan nilai pasti berlaku. Jangan lupa diurutkan sesuai NIM supaya saya lebih mudah untuk menilainya.”

“Baik, Bu,” Linka membalas patuh.Setelahnya ia pun lekas beranjak menuju meja Bu Winda sembari meloloskan napas dengan lega.

Sebetulnya, Linka begitu ingin membawa tubuh rampingnya untuk segera kabur dari ruangan yang mendadak terasa pengap itu. Ia betul-betul malu sebab diceramahi tepat di depan kakak tingkatnya sendiri. Terlebih lagi, Zefran ada di sana. Kira-kira apa yang akan laki-laki itu pikirkan kala menyaksikan drama singkat yang terjadi di hadapannya?

Ah, tidak. Yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah: apakah Zefran peduli?

Sejenak Linka mengarahkan sepasang mata almonnya pada Zefran yang ternyata sudah kembali melanjutkan sesi bimbingan, seolah percakapan Linka dengan Bu Winda tadi tak pernah terjadi. Senyum pahit pun kontan terbit di bibir. Ia sudah langsung dapat menemukan jawabannya saat itu juga. Gadis itu pun mengembuskan napas panjang dan ia putuskan untuk fokus terlebih dahulu pada tugasnya sendiri.

Setelah semua selesai, Linka lekas melapor pada Bu Winda dan ia akhirnya diperbolehkan untuk pulang bersamaan dengan usainya bimbingan. Belum sempat Linka benar-benar angkat kaki setelah melangkah keluar dari ruangan, rungunya tiba-tiba menangkap sebuah suara berat yang mengeja namanya.

“Linka?”

Sekonyong-konyong Linka mematung. Dan, saat berbalik, ia menemukan Zefran sudah berada persis di belakangnya. Laki-laki dengan ransel di punggung serta draf skripsi di tangan kanan itu kemudian menyunggingkan sebuah senyum hangat yang selalu menjadi favorit Linka sejak pertama kali ia menyaksikannya. Tapi … apakah Zefran benar-benar mengingat namanya, atau ia sekadar tahu karena Bu Winda yang sempat menyebutnya?

“Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini,” tutur Zefran dengan nada suaranya yang setenang jelaga. Sepasang netra dengan visual seperti rubah itu tetap mampu menyorot begitu teduh. “Tadinya aku mau nyapa pas kamu masuk, tapi Bu Winda udah keburu manggil kamu.”

Oke, jadi ia benar-benar ingat? Sungguh, Linka tak bisa percaya hal ini.

“I-iya, nggak papa, Kak,” Linka menyahut, tetapi setelahnya ia merutuki diri sendiri karena tak bisa memberi balasan yang lebih dari itu, mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka usai berbulan-bulan lamanya tak saling bersinggungan.

“Ah, omong-omong, kalau menurut aku, bisa jadi salah satu orang yang dipercaya dosen kayak Bu Winda itu udah hebat banget, loh.”

“Eh?”

Sekali lagi, sudut-sudut bibir proporsional Zefran tertarik membentuk senyum itu. “Aku duluan, ya. Semangat, Linka.”

Dan, selepas kepergian Zefran, Linka masih saja membatu di tempatnya berdiri. Sebab, jika harus jujur, apa yang baru saja terjadi betulan terasa tidak nyata baginya.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 9 januari 2023

[republish: 30 september 2024]

See You After Midnight [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang