16

3K 424 58
                                    

Asap pekat hasil pembakaran tembakau bercampur cengkeh yang dilinting kertas berwarna putih dengan corak garis kuning itu mengepul dari mulut seorang berandalan.

Pakaiannya saja yang putih abu, kedok jika dia seorang siswa yang berpendidikan bagus, untuk menutupi jiwa liarnya yang tak jarang membuat masalah sampai ke jalur hukum. Bermain wanita, balapan liar, mabuk mabukan, adalah hidupnya. Kurang narkotika, maka lengkap sudah surga dunia versinya.

Dunia yang terlalu gelap untuk bocah ingusan yang baru saja dapat kartu tanda penduduk. Alasannya, ia mencari kesenangan. Berbekal harta orang tuanya, koneksi koneksi pejabat berpangkat dan yang katanya terhormat, adalah bekingan sempurna untuk menjadi belut licin si pembuat masalah. Revan, termenung dalam kesendiriannya. Panas didalam kepala dan hatinya.

Sudah dua putung rokok habis ia hisap dalam jangka waktu tak sampai tiga puluh menit. Dan itu, batang ke tiga yang baru separuh ia nikmati. Di kantin belakang itu, adalah surga kecil miliknya selain Bar dan juga arena prostitusi tempat ia mencari kesenangan.

Amarah seakan tak kunjung sampai ke ubun ubun lantaran tiap amarahnya naik, hisapan cerutunya akan semakin panjang hingga cukup untuk menurunkan emosinya sedikit.

Bayangan raut wajah bak malaikat maut berparas jelita benar benar membuatnya pusing. Ia merasa harga dirinya sebagai Bad boy yang harus ditakuti dan disegani luntur sudah. Dikalahkan oleh seseorang, perempuan pula, benar benar menjadi kutukan untuknya.

Sebelum ini, tak pernah ada cerita dirinya dihajar habis habisan tanpa ampun sampai terluka parah. Pasalnya, saat ia membuat keributan ataupun masalah, selalu ia yang akan lebih dulu menghajar lawannya. Ia senantiasa memandang remeh siapapun yang ia hadapi, kata TAKUT tak ada di kamus miliknya. Siapapun itu rivalnya, status sosial apa saja, ia tak perduli. Sekali membuat masalah dengannya, maka siap siap untuk mendapatkan mimpi buruk. Hal sejentikan jari jika hanya untuk membuat manusia manusia yang 'katanya' kuat menjadi tunduk padanya.

Tapi, kejadian tempo hari, tak lagi bisa ia toleransi. Image betapa kuat dan hebatnya seorang Revan Askara Yudha, putra seorang pengusaha batu bara yang kaya raya, lenyap dalam sekejap. Membuat rasa dendam bersarang di hatinya yang memang sudah kotor sedari awal.

Matanya teralih pada tangan yang masih dibalut gips, pertanda terapi patah tulang miliknya belum juga terlihat ada titik selesainya, semakin membuat gejolak amarahnya kembali membumbung.

Setelah ini, ia akan membalas perlakuan Shani padanya. Persetan dengan prinsip 'Laki laki kok lawan perempuan, Banci!'

Demi harga dirinya yang thothor perkirakan tak lebih mahal dari satu bungkus kuaci rentengan, Revan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia mau. Tak perduli jika ia akan menggunakan cara kotor dan picik, yang terpenting, apa yang ia mau, tercapai. Melenyapkannya tanpa tersisa.

Lelaki itu masih berusaha keras berfikir, dengan otak pas pasan cenderung goblok itu ia menyusun rencana untuk menjatuhkan seorang Shani Indira. Tentu saja dengan cara licik.

Jika dihitung hitung, Shani selangkah lagi sudah mencabut nyawanya saat itu. Sudah barang tentu, Revan harus lebih unggul. Yang berarti, Revan akan mengambil satu langkah yang belum Shani ambil. Ia hampir mati, berarti Shani harus mati.

Entah setan atau jin mana yang lewat dan nembus tubuh Revan. Tiba tiba saja, ia mendapatkan ide yang dirasa bisa menjadi titik mula pembalasan dendamnya. Seutas senyuman miring menghiasi wajah nya.

Bergegas ia merogoh saku celana seragamnya dengan kepayahan, mencari nomor kontak yang ia simpan dalam ponselnya, lalu menekan tombol pemanggil.

"Selamat datang dalam permainan, Shani Indira."


One Hundred DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang