11

3.2K 389 48
                                    

Pov Shani











Aku menghela nafasku perlahan. Mengisi rongga paru paruku dengan sebanyak banyaknya udara segar. Udara dengan aroma favoritku, aroma petricor, berpadu dengan senja yang mulai menjingga, membuatku semakin merasa lepas.

Menutup buku tebal yang sudah empat puluh menit menemaniku. Membantuku mengalihkan pikiranku dari seseorang yang semakin hari semakin melekat di otakku.

Jika kalian tanya, siapa seseorang itu. Aku yakin 1000%, kalian sudah tau siapa orang yang aku maksud. Ya, Shania Gracia.

Kehadirannya selalu membuatku berpikir keras. Saat pertama kali bertemu dengannya, aku dibuat berpikir kenapa ada manusia se rebel dan se onar itu. Bahkan ia berani mengecat kuku kukunya saat hari pertama ospek. Hal itu membuatnya dihukum oleh para osis. Anehnya, tak berselang lama para osis yang sebelumnya tampak beringas menghukumnya, berubah pucat setelah dikumpulkan oleh sang ketua osis yang baru kembali setelah dipanggil ke ruang kepala sekolah.

Aku dan dia berbeda kelas, tapi kelasnya tepat ada disebelah kelasku. Hal itu membuatku tak pernah sehari pun tak melihatnya berada di zona ku. Terlebih saat berada di kantin. Gadis itu berubah menjadi gadis yang kejam. Bersama dengan tiga murid lain yang akhirnya ku tau jika mereka bertiga adalah sahabatnya, merundung murid murid yang dianggap lemah.

Tapi, tiap kali aku melihatnya merundung, sorot matanya memancarkan kesedihan dan kesepian yang sangat jelas. Entah, ketiga sahabatnya itu bisa menangkap sorot mata itu atau tidak. Namun, kalau aku boleh menebak, ketiga sahabatnya itu sama sekali tak bisa melihat makna sorot mata gadis itu.

Jika kalian ingin tau bagaimana hubunganku dengan itu sebelum ini, jawabannya adalah kita bahkan tak saling mengenal satu sama lain. Ah, bukan, dia yang tidak mengenaliku, bahkan menyadari keberadaanku disekitarnya saja aku yakin juga tidak. Tapi, kalau kalian bertanya tentangnya padaku, aku yakin aku bisa menjawab semuanya.

Bagaimana aku bisa tau? Itu rahasia milikku sendiri dan hanya thothor yang tau. 😝

Aku masih ingat, saat kepala sekolah memanggilku. Aku bisa melihat betapa putus asanya pimpinan sekolah ini karena ulah salah satu murid yang memang ku tau siapa. Beberapa kali wanita yang masih saja cantik di usianya yang ke empat puluh'an itu memijat pelipisnya yang ditutupi hijab.

Ujian kelulusan sudah ada di depan mata. Dan gadis itu masih saja asik membuat ulah serta keributan tanpa memikirkan bagaimana nasibnya menghadapi ujian akhir. Kepala sekolah itu bercerita semuanya, bagaimana sebenarnya ia sangat frustasi. Sesekali melihat beliau menyeka ujung matanya yang berair.

Sungguh, aku sebenarnya tidak paham kenapa wanita yang ada di hadapanku itu terlihat begitu tertekan hanya karena salah satu anak muridnya. Ya setauku saja, sekalipun kepala sekolah, ia tidak akan memikirkan anak muridnya sebegininya. Tapi, biarlah, aku tidak ingin lancar dengan mengetahui hal hal pribadi orang lain.

Mataku hampir saja melompat keluar saat kepala sekolah itu memohon padaku untuk bersedia menjadi mentor belajar gadis biang onar itu. Aku sedikit ragu untuk menyanggupinya. Melihat tingkahnya sehari hari walaupun dari jauh saja sudah membuatku mual dan pusing, apa lagi menjadi mentor belajar setiap hari sepulang sekolah.

Aiiish! Membayangkannya saja sudah membuat kepalaku berdenyut. Tapi, di sisi lain, aku merasa sangat tertantang.

"Saya akan bantu kamu buat bisa ikut olimpiade nanti, Shan. 100 hari saja sampai waktunya UAS. Saya janji."

Aku mengernyitkan keningku saat mendengar penawaran yang beliau berikan padaku. Apakah beliau ini ragu dengan kapasitas otakku? Bukannya aku ingin sombong, tapi aku bisa mengandalkan otakku untuk dapat maju ke olimpiade. Tidak perlu bantuan orang lain dengan cara curang agar aku bisa lolos.

One Hundred DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang