10

3.6K 429 32
                                    

Dua pasang mata menyalang tajam kearah sebuah bangunan yang tampak ramai dan riuh. Bangunan separuh permanen dan separuh semi permanen dengan teras yang dibuat besar itu di isi dengan meja meja dan kursi kursi plastik yang sudah hampir seluruhnya di tuani.

Asap rokok terlihat mengepul dihampir setiap meja. Nirwana bagi para murid lelaki 'nakal' untuk mengisi tenaga sebelum kembali berbuat onar di masing masing kelasnya. Ramainya tak lantas membuat gentar satu gadis yang berniat membuat perhitungan dengan salah satu pengunjung tempat tersebut.

Langkah jenjang gadis itu semakin dekat dengan tujuan utamanya. Sementara satu gadis yang lain memilih menunggu di luar, mengamati sahabatnya yang dengan berani menerobos masuk ke dalam kantin. Terlihat beberapa manusia menyadari sosok yang asing memasuki daerah yang bukan langganan  destinasinya. Menatap penuh selidik dan tanda tanya. Salah satu bidadari sekolahnya turun khayangan, dan terdampar di gubuk gembel, tongkrongan para manusia marjinal.







Bugh!!




Bugh!!!




Bruuukkk!!!









Suara jatuhnya seseorang dari duduknya karena limbung setelah mendapat hadiah manis di pipi kanannya, membuat seluruh kegiatan jual beli juga per lahap'an nasi rames di warung itu terhenti seketika. Seluruh pasang mata yang ada di sana mengarah di meja pojok depan teras warung itu. Dimana seorang siswi berdiri tegak di sebelah lelaki yang kini tersungkur ke bawah.

Siswa itu bergegas bangkit sembari memegang pipi kananya yang berdenyut hebat.

"Anjing! Lo ngapain nonjok gue?!"

Revan mengumpat keras. Sedang enak enaknya nyebat di kantin belakang, baru menghisap seperempat cerutunya, sudah dapat bogem mentah.

Mata Revan menatap sengit pada gadis yang raut wajahnya datar. Tangan kanannya masih mengepal kuat. Revan cukup paham, jika bogeman tadi berasal dari gadis yang berdiri didepannya ini.

"Kalo lo mau lecehin perempuan, jangan Gracia. Gue yakin lo punya duit, lo bisa nyari jalang yang bisa lo bayar buat nuntasin nafsu bejat lo. Asal jangan Gracia."

Sejujurnya, raut wajah gadis didepannya itu sedikit membuat Revan bergidik. Terasa auranya sangat mengancamnya, mengintimidasi bahkan tanpa gerak gerik apapun. Lekas lekas ia berusaha mengontrol diri agar tak terlalu ketara jika dirinya takut. Apa kata dunia jika the most wanted takut pada seseorang, terlebih lagi perempuan?

"Siapa lo ngatur ngatur gue? Terserah gue mau apain Gracia."

Satu pukulan kembali melayang di sudut bibir Revan. Kini bahkan ia bisa rasakan rasa anyir darah yang berasal dari sudut bibirnya yang sobek. Ia bahkan tak mengira jika pukulan Shani akan sekeras ini.

"Lo mau jadi pahlawan kesiangan buat Gracia, Shan?"

Lelaki slengekan itu berdiri, mensejajarkan dirinya dengan Shani yang masih menatapnya tajam, tentu dengan mimik yang datar. Padahal ia baru saja membogem dua kali pipinya. Tapi, wajahnya biasa saja, seperti tak terjadi apa apa beberapa menit yang lalu.

Revan menatap benci pada Shani yang masih menatap datar dirinya. Betapa

"Haaaahh... Gue ga suka punya gue di usik sama manusia brengsek kaya lo. Bahkan gue ga yakin kalo lo masih jadi bagian spesies manusia."

"Punya lo? Siapa? Gracia? Sejak kapan, Shan? Ga usah mimpi"

"Mending lo ga usah ganggu Gracia lagi kalo lo masih mau nafas dengan normal."

Ultimatum Shani tak main main. Terdengar mengerikan untuk ditangkap telinga. Namun, karena tengsin, Revan tetap dengan penolakannya. Menantang Shani agar image nya tak rusak dimata para murid yang selalu ia posisikan derajatnya ada dibawanya.

One Hundred DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang