18

2.5K 388 131
                                    

Pagi dan sekolah. Adalah dua kata yang sangat Shani nanti sekaligus Shani benci.

Saat ia kembali menemui pagi, pertanda jelas jika waktu terlalu cepat berganti. Dan sekolah, tempat yang akan mengukir kenangan kenangan baru, untuk ia kenang nanti.

Dengan enggan, Shani membuka pintu baja ringan berukuran 40x 30cm itu. Mengambil spidol merah dari keranjang kecil berisi beberapa alat tulis yang sengaja ia simpan kalau kalau ia butuh.

Hembusan nafas panjang mengiringi tangannya yang terangkat. Matanya terasa panas kala ia harus kembali mencoret satu kolom angka yang tertempel di balik bilik loker pribadinya.

Angka 9 diikuti angka 9 dibelakangnya.

Terakhir kali ia mencoret kolom kolom itu baru ada di angka delapan puluhan, atau bahkan tujuh puluhan? Shani sampai lupa, terlalu tenggelam dalam perannya.

Ia terlalu dalam menyelam. Peran dengan tugas yang diemban, tertumpangi keegoisan pribadi dalam setiap jalannya. Ingin ia memberontak, melenyapkan perjanjian yang tercipta dulu, menjadi kesukarelaan tanpa alih alih imbalan yang memang tak ia inginkan.

Ia masih bisa, ia masih mampu tanpa harus di bantu. Pada tes percobaan waktu lalu, dimana ia harus pergi meninggalkan anak kecilnya itu selama beberapa hari, menjadi patokan jika ia masih amat sangat mampu berdiri sendiri.

Tapi, perjanjian adalah perjanjian. Tanpa atau dengan imbalan, Shani akan sukarela mengembannya. Jalan yang tak disengaja menjadi jembatan penghubung, tapi sekaligus menjadi jurang dalam perjalanannya.

Pagi itu, Shani dipanggil oleh Melody. Sang tokoh utama yang membikin jalan skenario miliknya berjalan mulus namun belum

"Permisi, Bu."

"Oh, ya Shani. Silahkan masuk."

"Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Pagi juga, Shan. Ini saya mau kasih surat ijin kamu sekaligus akomodasi dan semua yang kamu butuhkan untuk olimpiade minggu depan."

Shani menerima amplop coklat yang Melody serahkan di atas meja kerjanya. Ia meneliti apa apa saja yang ia butuhkan nanti, dan semuanya lengkap.

Senyumnya mengembang kala tak sabar selepas ini ia akan memberitahukan Gracia perihal keberangkatannya ke Milan, Roma, guna kembali mengikuti kompetisi Matematika.

"Shan?"

Panggilan itu menarik seluruh atensi milik Shani dari berkas berkas ditangannya.

"Iya, Bu?"

"Terima kasih atas bantuan kamu selama seratus hari ini. Saya benar benar tidak menyangka anak itu bisa berubah. Nilai miliknya sekarang jauh di atas rata rata."

Senyumannya kali ini betul betul hilang. Lesung pipit itu kembali ke peraduannya. Gadis jelita itu kini menaruh segala fokusnya pada lanjutan ucapan kepala sekolahnya itu.

"Seperti janji saya, hanya seratus hari. Dan progresnya luar biasa, saya sangat berterima kasih ke kamu. Dan karena kamu menolak bantuan saya untuk bisa meloloskan kamu ke olimpiade itu, jadi, saya tambah uang ongkos kamu sebagai bonus juga karena sudah kembali mengharumkan nama sekolah dikancah internasional. Setelah ini, kamu bisa kembali fokus dengan olimpiade kamu dan bebas dari tugas sebagai mentor Gracia. Sekali lagi saya ucapkan Terima kasih, Shani."

Hal yang sudah Shani duga kini terjadi.

"Kamu bisa ambil libur dua hari ini untuk bersiap siap, Shani. Tiga hari lagi, kamu berangkat ke Milan. Dan ini, akomodasi dari panitia untuk keberangkatan kamu. Dana selama kamu di Milan sampai kamu pulang, akan kami transfer ke rekening kamu." Ujar sang kepala sekolah sembari mengulurkan se buah amplop pada Shani.

One Hundred DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang