Alarm ponsel yang diatur volume maksimal membuat sang empu terkejut bukan main. Membikin kepalanya kini berdenyut pusing. Selain karena terkejut, pening kepalanya juga disebabkan karena ia tiga hari berturut turut ditambah semalaman tadi tak henti hentinya menangis sampai akhirnya berhenti karena ketiduran.
Dua pengindera itu sudah tak lagi bisa dikatakan sembab karena keadaannya lebih dari pada sembab, melainkan sudah bengkak, benar benar bengkak. Seperti baru terantup segerombolan lebah madu yang sarangnya hendak di usik.
Tubuhnya pun tak lagi bisa dibilang sehat. Karena badannya jauh lebih hangat ketimbang biasanya, mungkin akan lebih cocok untuk dikata jika ia demam. Tak dinyana oleh siapapun jika hendak se dahsyat itu, efek yang ditimbulkan dari rasa rindunya pada seorang Shani. Gadis jangkung asing, aneh nan misterius yang dulu bahkan bayangannya saja tak pernah ia harapkan apa lagi sosoknya, kini justru berbalik arah. Ia berharap bisa melihatnya lagi, meski hanya bayangannya saja.
Bahkan, kedua orang tuanya pun heran melihat kekacauan seorang Shania Gracia Gamma yang disebabkan oleh seorang gadis lain.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia beranjak dari kasurnya untuk bergegas pergi ke kamar mandi. Membasuh mukanya walaupun tetap saja terlihat pucat, setidaknya wajahnya sedikit lebih layak untuk dilihat. Tubuhnya ingin berbaring sebenarnya, karena tubuhnya kehilangan banyak daya. Namun, jika ia tak bergegas, maka ia akan menyesal entah sampai kapan. Biarlah ia menahan rasa dingin karena menggigil, juga pening karena kepalanya terasa berputar, ketimbang tak lagi bisa bersua dengan Shani. Ini kesempatan terakhir yang ia miliki.
Tinggal satu jam lagi, pesawat yang akan Shani tumpangi untuk pergi ke Milan, akan lepas landas. Tak ada lagi waktu tertinggal, ia harus se segera mungkin pergi ke bandara. Jangan sampai ia terlewatkan.
"Kamu kemana, kak?" Tanya sang ibu rumah tangga yang sedang membuatkan kopi untuk suaminya, melihat sang anak yang berjalan limbung dari lantai atas.
"Mau ke bandara." Jawabnya pelan.
"Ngapain?" Giliran suara bariton itu yang bertanya.
"Ketemu Shani."
"Sarapan dulu, Gre." Titah sang mama yang kini ada di hadapannya. Dilihatnya kondisi sang anak lebih jelas, membuatnya melotot. Disentuh kening anak gadisnya dengan punggung tangannya, jika matanya bisa melotot kuadrat, pasti mata wanita paruh baya itu akan melakukannya sebab merasa suhu tubuh anaknya sangat panas.
"Astaga, kamu demam, Nak." Pekiknya khawatir
"Cuma ga enak badan aja aku, Ma. Aku berangkat ya,Ma. Ini udah keburu telat" Melihat kondisi anaknya, tentu saja Melody tak akan mengizinkan anak gadisnya itu pergi sendiri.
"Tunggu! Mama sama papa ikut." Putus si ibu rumah tangga.
"Ga usah,Ma. Aku sendiri bisa"
"Ga ada penolakan."
Sungguh, ia tak lagi punya daya untuk berdebat dengan sang papa atau mama. Mau tak mau, ia menerima diantarkan ke bandara. Toh, badannya juga sedikit lagi tak kuat.
Gadis yang hanya menggunakan hoodie oversize dan celana baggypants itu tampak gusar di kursi belakang, ia semakin tak tenang kala melihat arus lalu lintas yang pagi itu cukup padat.
Air matanya berlinang. Rasa panas di matanya bercampur dengan rasa panas tubuhnya, membuat kondisinya semakin jauh dari kata baik. Ia memutuskan untuk memejamkan mata, guna sedikit meredakan pening di kepalanya, setidaknya berkurang sebab jarak dari rumahnya ke bandara, lumayan jauh. Sepanjang jalan, ia merapalkan doa supaya Tuhan berkenan membuat lalu lintas perjalanannya ini menjadi lancar, jadi waktu yang ditempuh bisa dipersingkat. Ia tak ingin terlambat menemui sang ratu hati yang sebentar lagi akan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Hundred Days
Teen FictionMasih jadi bucin greshan Masih dengan genre yang sama Thothor X Minra!!