12

2.7K 421 34
                                    

Shani menghentikan motor besarnya tepat didepan gerbang rumah yang paling besar diantara rumah rumah mewah yang ada dilingkungan perumahaan itu. Ia menaikkan kaca helmnya. Menatap pada salah satu jendela yang berada di lantai dua rumah besar itu. Jendela kamar Gracia.

Terlihat di jendela tak ada bias bayang seseorang yang setiap malam mengintip dibalik gordyn untuk memastikan jika yang ditunggu tunggu kehadirannnya, sudah sampai. Sedikit aneh di rasa oleh Shani. Shani mengarah ke pos satpam yang juga tampak sepi, tidak seperti biasanya.

"Pak, boleh minta tolong bukain gerbang ga pak?" Teriak Shani pada satpam yang berjaga didepan pintu gerbang rumah Gracia.

"Eh neng Shani, saya kira siapa. Sebentar ya neng, bapak bukain dulu."

"Iya, pak. Makasih ya"

"Iya neng, sama sama."

Setelah memarkirkan motor miliknya, Shani mengembuskan nafas panjang dan dalam beberapa kali. Mengumpulkan kewarasan setelah dijalan ia benar benar tak dapat fokus ke jalan karena beberapa hal sangat mengganggu didalam kepalanya. Terlebih dari gadis yang sekarang ia sambangi rumahnya karena seharian ini tak bertemu dengannya. Ia hanya ingin memastikan jika gadis itu baik baik saja, karena hati kecilnya mengatakan hal yang sebaliknya.

Ting.. Tong.. Ting.. Tong.. (Bodo amat dah suara bel rumah kaya apaan)

"Eh non Shani, masuk non. Bibi kirain nyonya hehehe."

Shani mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah Gracia. Sepi. Seperti biasanya. Bahkan tidak ada satupun foto keluarga yang dipajang di dinding rumah itu. Agak lain dari rumah rumah lain yang berbondong memajang foto keluarga dengan ukuran super besar. Agar tau bagaimana bentuk para anggota keluarga dalam rumah itu. Dengan kata lain, level dan kasta bisa di lihat dari situ, dari pajangan foto.

"Gracia mana ya, bi?"

"Non Gre di atas, non. Lagi tidur kayanya, soalnya badannya demam."

Mendengar kondisi gadis boncel itu membuat Shani tetiba menghentikan langkahnya. Perasaannya benar. Gadis itu sedang dalam keadaan tidak baik baik saja.

"Demam, bi? Dari kapan?"

"Semenjak pulang sekolah, Non. Pas dijemput pak joko udah pucat, sampai rumah langsung ke kamar soalnya non Gre bilang kepalanya pusing."

Sehari ini Shani memang tidak bersama Gracia, ia bersama Gracia hanya saat jam pertama pelajaran saja. Sisanya, Shani disibukkan dengan berkas berkas yang harus ia lengkapi di ruang kepala sekolah untuk bisa diserahkan kepada panitia olimpiade yang akan Shani ikuti dalam waktu dekat ini. Bahkan, ia baru pulang setelah tidak ada lagi murid yang tersisa disekolah, kecuali murid yang sedang berlatih paskibra di lapangan upacara.

"Dia udah makan, bi?"

"Belum, non. Mual katanya kalo liat makanan. Tadi udah sempet makan beberapa suap, itu juga dipaksa, ga lama non Gre muntah."

Mentor dadakan murid bengal itu hanya bisa menyimak sambil menganggukkan kepala saja. Padahal, dalam otak cerdasnya, ia sedang memilah milah hal apa yang akan ia lakukan pada seonggok manusia bernama Shania Gracia yang sedang sakit itu. Ia gugup, khawatir, takut dan sedikit rindu.

"Mama sama papanya Gracia kemana, bi?"

Lontaran pertanyaan sebagai alibi pikirannya yang menggila akhirnya disambut baik oleh sang asisten rumah tangga. Tak serta merta pertanyaan itu terucap, bagaimana juga, seperti tak ada peranan orang dewasa didalam rumah itu selain dua satpam yang berjaga didepan rumah, satu kepala asisten paruh baya, lima asisten rumah tangga, tiga pekerja kebun, dan empat sopir termasuk pak Joko, ditengah tengah seorang gadis manis manja yang sedang tak enak badan.

One Hundred DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang