Lima hari sudah, Shani tak kunjung pulang. Membuat Gracia semakin kehilangan semangat belajarnya. Siang ini, Gracia disuruh menghadap sang kepala sekolah yang tak lain dan tak bukan adalah Melody.
Melody hanya bisa mengernyitkan kening saat Gracia duduk lemas seperti kehilangan tulang punggungnya. Sudah beberapa hari ini, ia selalu dapat laporan dari guru pengampu mata pelajaran tentang Shania Gracia. Hal yang sebelumnya tidak ada, malah laporan nilai yang meningkat dan sikap yang lebih baik selalu ia terima dari sosok Shania Gracia.
"Kamu kenapa?"
"Lemes"
Kedua alis wanita yang masih saja terlihat cantik walaupun usianya sudah kepala empat itu bertemu ditengah. Membuat kerutan tergambar jelas di keningnya. Membuat tanda tanya dalam benaknya semakin besar perihal penyebab gadis yang biasanya menjadi biang masalah dan sumber tekanan darah tinggi para guru guru itu, menjadi lemas seperti tiada daya sama sekali.
"Kenapa? Belum makan?"
"Ga nafsu makan."
Lagi lagi jawaban yang kepala sekolah itu terima, hanya jawaban singkat dengan nada yang ketus.
"Terus kenapa sih?"
Gracia yang memang sedang dalam mode senggol bacok otomatis berdecak. Beranjak meninggalkan sang kepala sekolah tanpa sopan sama sekali.
"Ck! Nanya mulu orang tua!!"
Melody yang baru saja 'diomeli' muridnya itu, hanya bisa cengo sambil geleng geleng kepala. Kepalanya terasa berdenyut. Padahal baru menghadapi Gracia kurang dari sepuluh menit. Ia jadi paham, kenapa guru guru banyak yang mengadu kepadanya karena kelakuan Gracia yang luar biasa. Luar biasa bikin emosinya, apa lagi guru BK.
Langkah Gracia semakin cepat meninggalkan ruang kepala sekolah itu. Bahkan ia sama sekali tak memperhatikan jalannya, sampai
Bruuuuuk!!!!
Tubuh Gracia hampir saja terjengkang kebelakang jika saja sosok yang ia tabrak tak menarik tangannya. Tarikan itu sepertinya sedikit terlalu kencang, karena seketika Gracia malah mendarat di pelukan seseorang yang tak ia tau siapa gerangannya.
"Astaga! Maaf maaf, aku ga senga~~~ja.."
Dua huruf di terakhir kata itu memelan. Sejalan dengan wajah Gracia yang mendongak melihat kearah wajah manusia yang tak sengaja ia tabrak itu. Dua netranya membelalak, sebelum akhirnya mengembun dan memilih kembali kedalam rengkuhan sosok yang lebih tinggi darinya itu.
"Aku kangen. Kamu ga pulang pulang."
Rengek gadis yang mengakunya sudah 16 tahun, tapi kelakuan masih seperti balita umur satu tahun lebih enam bulan.
Sedangkan gadis yang dipeluknya tersenyum lebar. Ya, Shani sudah pulang. Ia memilih diam sembari mengusap lembut punggung Gracia yang bergetar. Entah apa alasannya, gadis itu malah menangis ketika melihatnya.
"Udahan ya nangisnya?"
Shani melonggarkan pelukannya. Sedikit mendorong Gracia agar melepas rengkuhnya. Tawa tak lagi bisa Shani tahan saat melihat wajah sendu Gracia. Matanya merah dan sembab, dengan hidung yang juga merah dan sedikit~ ber ingus.
Shani menggenggam tangan mungil gadis yang beberapa hari ini tak ia temui. Seharusnya Shani pulang lusa, tapi karena ternyata agendanya selesai lebih cepat dari perkiraan, alhasil Shani bisa pulang tadi pagi. Bahkan tanpa beristirahat lebih dulu, selepas mandi dan bersih bersih, Shani bergegas ke sekolah. Ia ingin melihat keadaan si anak kucing yang ia tinggal itu.
Walaupun komunikasi dengan gadis mungil itu selalu terjaga, bukan berarti Shani tidak merasakan, Ekhem! ~Rindu.
Info yang ia peroleh dari sahabatnya yang tak lain dan tak bukan adalah Jinan tentang kejadian beberapa hari yang lalu, membuatnya semakin ingin lekas pulang. Sepertinya memberikan Revan oleh oleh semacam sedikit pukulan di pipi kanan atau kirinya sampai berwarna merah keunguan, akan menarik. Shani sudah menyiapkannya, tinggal eksekusi saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Hundred Days
Teen FictionMasih jadi bucin greshan Masih dengan genre yang sama Thothor X Minra!!