Bonus

2.5K 212 17
                                    

Terima kasih buat waktunya untuk cerita AFTER.

Untuk bonus singkatnya, semoga tidak mengecewakan.

o0o

Suara isak tangis yang berasal dari sebelahnya membuat Zidan harus membuka kedua matanya. Cowok itu bangkit, dia menarik tubuh mungil anaknya untuk ia gendong.

Zidan turun dari atas ranjang dengan Zenaya yang berada di gendongannya. Entahlah, Zidan juga tidak tau. Zenaya selalu saja menangis kalau dia diajak menginap di rumahnya.

"Besok kita pulang, Naya." bisik Zidan, dia mengusap punggung Zenaya lembut. Mencoba menenangkannya, "Udah, ya. Udah. Papa di sini."

Membawa Zenaya pulang ke rumah orang tuanya juga bukan tanpa alasan. Zidan sekarang sudah kuliah, dia tidak menundanya karena Mama dan Papa selalu membantu Zidan untuk menjaga Zenaya.

Hanya saja, Zenaya paling tidak suka jika harus menginap di rumah orang tuanya. Gadis kecil itu akan menangis saat baru masuk dan saat malam hari. Dia sering memberontak.

Setelah menenangkan Zenaya, Zidan kembali duduk di atas ranjang. Dia memeluk tubuh Zenaya erat, pipinya menempel di kepala Zenaya. Mengusapnya lembut.

"Maafkan Papa karena belum bisa kasih yang terbaik."

Dan esok harinya, dia benar-benar kembali ke rumah Neo. Mama dan Papa pun tidak bisa melarang, tau sekali kalau Zenaya tidak suka berada di rumah mereka.

Sampai di rumah, Zidan langsung mendudukkan Zenaya di kursi miliknya yang ada di ruang baca. Dia menyalakan televisi, mencari video untuk anak-anak yang selalu Zenaya suka.

Senyum dan tawanya langsung terlihat. Berbeda saat di rumah, mau disodorin video anak-anak yang berbeda pun, Zenaya tetap tidak bereaksi.

Saat-saat seperti ini, Zidan menggunakan waktunya untuk mengerjakan tugas dan mencuci pakaian. Pokoknya saat Zenaya sibuk dengan dunianya dan tidak mengajak Zidan bermain bersama, Zidan melakukan pekerjaan rumah.

"Papapapa." Zenaya memukuli meja dan tawanya kembali terdengar.

Agak anarkis memang. Mirip Neo.

Zidan bangkit, dia berjalan menuju dapur. Zenaya sebenarnya sudah berusia delapan bulan, dia pun sudah waktunya MPASI. Hanya saja, Zenaya tidak bisa melakukannya. Dia akan berakhir memuntahkan makanannya.

Alhasil, Zidan memberinya makan buah-buahan. Seperti alpukat, buah naga dan sejenisnya. Zidan akan menghaluskannya dan menyuapinya makan. Dari pada Zidan memaksa Zenaya makan bubur atau makanan lainnya yang dihaluskan dan membuatnya muntah, lebih baik tidak Zidan lakukan.

Tapi Zenaya masih bisa makan biskuit bayi.

Zidan sempat berpikir, apa ini efek saat Neo hamil, cowok itu kebanyakan makan smoothie? Makanya Zenaya tidak bisa makan nasi?

Aneh sih. Seharusnya itu tidak berefek juga pada Zenaya.

Zidan duduk di sebelah sang putri, "Coba lihat giginya?" Zidan membuka mulutnya, menunjukkan deretan giginya sendiri.

Zenaya mengerjap, "Iiiii." Mulutnya terbuka, menunjukkan satu gigi kelincinya yang memang sudah tumbuh.

Kekehan Zidan terdengar. Dia menyendok buah alpukat yang sudah ia haluskan dan ada di atas mangkuk.

"Papapa." Zenaya mengulum ibu jarinya sendiri. Matanya memandang ke arah kamar.

Zidan menatapnya, lalu ikut memandang ke arah kamar. Dia tersenyum, "Rindu Papi?"

Zenaya berujar tidak jelas. Kedua matanya semakin terbuka, terlihat lebih bulat. Apalagi bola mata hitamnya yang jernih membuat benda yang ia lihat terpantul di matanya.

Sejujurnya, melihat Zenaya yang seperti ini membuat Zidan ragu untuk menikah. Mungkin kalau Zenaya tidak memilih pasangan untuknya, Zidan tidak akan menikah. Zidan takut membuat Zenaya kecewa dengan pilihannya.

"Zenaya, kamu mau Papi baru atau apa?"

o0o

Zidan meletakkan kamera di atas meja. Dia tersenyum lalu mundur. Duduk di atas karpet. Salah satu mainan Zenaya ia ambil.

"Zenaya," Zidan memanggil. Dia menggerakkan tangannya yang memegang mainan. "Sini, sini."

Zenaya yang mulutnya tersumpal empeng, menatap sang Papa. Mainan favoritenya dipegang oleh sang Papa.

"Berdiri. Zenaya berdiri."

Zenaya merangkak ke arah Zidan dan Zidan mundur perlahan. Zenaya mengerang tidak suka, tangan kanannya mencoba menggapainya namun tidak sampai. Gadis kecil itu kembali duduk, namun hanya sebentar saat Zenaya menyentuh karpet dengan dua tangannya.

Dengan perlahan, Zenaya mengangkat pantatnya. Kedua telapak kakinya menempel di atas karpet. Dia berdiri membuat senyum lebar Zidan terlihat.

"Sini ke Papa." Zidan merentangkan tangannya.

Zenaya dengan perlahan menggerakkan kaki kanannya. Melangkah ke arah Zidan. Hanya tiga langkah sebelum gadis kecil itu jatuh ke pelukan Zidan. Zidan memberikan mainannya ke Zenaya.

Zidan bangga. Sangat malah. Anaknya perlahan sudah bisa melangkah. Zidan menciumi pipi Zenaya, menggigitnya gemas. Kedua telapak tangan Zenaya menepuk-nepuk pipi Zidan, mencoba menjauhkan sang Papa agar tidak menggigit pipinya.

Zenaya menarik empeng di mulutnya lalu ia letakkan begitu saja. Zidan bangkit sambil mengangkat tubuh Zenaya lebih tinggi dari tubuhnya. Dia membawanya berputar dan pekikan senang serta tawanya terdengar.

Selesai dengan bermain-mainnya, Zidan duduk di atas sofa. Mendudukkan sang putri di atas perutnya, kepala Zenaya langsung berbaring di atas dadanya.

Zidan memperhatikan wajah Zenaya, tangan kirinua menahan bobot sang putri agar tidak jatuh. Zidan berkedip pelan, dia mengusap pipi berisi Zenaya lalu mengusap hidung mungilnya.

Zenaya berkedip pelan, kantuk menyerangnya. Lalu tidak memelukan waktu lama untuk Zenaya jatuh ke alam mimpi.

"Neo, putri kita tumbuh dengan sehat." Zidan bergumam pelan, dia memeluk tubuh mungil Zenaya dengan kedua tangannya.

Tatapan Zidan beralih menatap langit-langit rumah Neo. Dia tersenyum, kedua matanya terpejam.

"Kalo gue gak bisa jaga lo, gue bakalan jaga Zenaya dengan baik. Terima kasih sudah berjuang untuk melahirkan Zenaya." Zidan semakin mempererat pelukannya pada Zenaya, "Gue yakin, Zenaya cinta sama lo. Lebih besar dari cinta yang gue kasih."

Zenaya menggeliat pelan. "Pi..." gumamnya sebelum mimpi benar-benar menarik kesadarannya.

o0o

Aku gak tau mau kasih bonus lagi atau enggak. Gak ada Neo, jadi agak kurang.

Terima kasih

©LisaPutri0503

AFTER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang