Kegugupan mengusai sedetik setelah Karin memasuki gerbang kampus tempatnya menuntut ilmu. Belum juga lima meter melangkah, beberapa orang sudah memusatkan tatapan padanya, seolah ia adalah manusia paling hina didunia.
Karin meyakinkan diri, ia terus berjalan seakan tak ada yang aneh dalam hidupnya. Sungguh, Karin ingin sekali menusuk beberapa tatapan yang menurutnya terlalu kontras memperlihatkan rasa tidak suka mereka terhadapnya, akan tapi ia harus sabar demi meyakinkan orang-orang bahwa berita itu tidaklah seperti apa yang mereka pikirkan.
Sejenak Karin menyiapkan hati, menyiapkan segala jawaban barangkali teman-temannya akan mencecarnya dengan ribuan pertanyaan yang sama. Karin mantap memasuki ruangan luas itu, mengigit bibir dan melihat ia menjadi pusat perhatian sekarang.
Dari arah belakang, Sofia melangkah perlahan menghampiri Karin, raut wajahnya sudah menjelaskan perempuan itu akan bertanya perihal berita yang menyeretnya kemarin malam.
"Karin."
Karin mengangkat alis, berekspresi datar seakan tak ada yang aneh dalam hidupnya.
"Yang semalem rame dibase kampus gak benerkan?"
"Lo percaya atau enggak? kalau lo percaya berita itu, sekalipun gue bilang enggak, semua gak bakal ngerubah kepercayaan lo. Jadi percuma gue jelasin."
Karin berlalu melangkah menuju kursinya, meninggalkan Sofia yang mengerjap dan menggaruk tengkuk atas jawaban Karin yang tak bisa diduga.
Jika biasanya teman-temannya akan menyapa dan mengajak Karin berbincang walau hanya sepatah atau dua patah kata, kini hampir semua mendiamkan Karin, melihat bagaimana ia yang terlihat tak berselera untuk membalas rasa penasaran orang-orang.
Karin duduk menghadap jendela ruangan, ada Gisella disampingnya yang hanya mengusap lengan atas Karin tanpa mengajaknya bicara. Perempuan itu sudah sangat paham bahwasanya hal terpenting yang bisa dilakukan adalah diam dan membiarkan Karin larut terlebih dahulu.
Lagipula, Karin masih heran sampai sekarang, mengapa Yoel harus melakukan ini padanya? apa ia pernah punya salah sampai lelaki itu dapat melakukan hal seperti ini? Entah, Karin masih bertanya-tanya dalam hati.
Jelang detik keempat puluh kala jarum jam menunjukkan angka sepuluh, Yoel datang dari arah pintu dengan langkah lunglai. Karin meneguk ludah, saat ia lihat sudut bibir pemuda itu tampak melukiskan luka bekas tonjokan.
Suasana ruangan benar-benar hening, semua orang tampak tak bisa berkutik melihat dua pemeran utama yang jadi perbincangan hangat semalam ini ada disatu ruangan yang sama.
Amarah yang semula mendidih dikepala Karin lambat laun pudar. Tidak, Karin mencoba meyakinkan diri bahwa ia tidak akan luluh secepat ini, pemuda yang duduk terpisah empat kursi didepannya ini memang pantas mendapatkan rasa sakit itu.
Semua tak sebanding dengan rasa malu yang Karin terima.
"Lo nonjok dia?" Gisella berbisik dari arah samping.
Menoleh kearah gadis itu, Karin berdecak. "Gue cuma nampar, biasalah itu ulah Ayahnya."
"Gue antara kasihan sama gedeg banget liat muka dia."
Karin langsung mendelik, memberikan Gisella tatapan tajam hingga temannya ini mengangkat kedua jari membentuk sebuah simbol perdamaian.
"Lo kemarin-kemarin paling anti sama dia, kenapa sekarang malah ngasihanin orang kayak gitu?"
"Lo perhatiin aja Rin, lukanya lebih parah dari yang biasanya."
Bola mata Karin memutar malas, diam-diam ia melirik Yoel yang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Gisella memang benar, luka yang didapat Yoel kali ini jauh lebih parah dari yang biasa karin lihat. Hampir semua orang bertanya-tanya kenapa Yoel seringkali mendapat luka seperti ini?
Sungguh, meskipun terkadang semua orang menyimpan rasa kesal karena sikap Yoel yang teramat menyebalkan, tapi tak sedikit juga yang peduli terhadap apa yang Yoel alami.
Ada disatu waktu dimana, teman-teman yang lain menunjukkan sikap kepedulian mereka terhadap Yoel dengan bertanya dan menawarkan bantuan untuk menyelesaikan kasus itu. Tapi Yoel menolak dengan mentah-mentah, memberi peringatan pada orang-orang yang menawarkan bantuan tersebut dengan berkata untuk jangan peduli terhadap apa yang terjadi pada lelaki itu.
"Reaksi pacar lo gimana Rin denger berita ini?" Gisella bertanya sembari merangkul Karin.
"Dia ada pelatihan hari ini, gue udah spam chat sebelum dia berangkat. Tapi gak ada balasan satupun."
Darah yang mengalir dalam tubuh Gisella perlahan mulai menaik, ia memejamkan mata dan mengelus lengan Karin bermaksud untuk memberi ketenangan disana. "Duh, rasa dendam gue muncul lagi sama dia."
"Menurut lo, gue bakalan dibully gak ya? terus pihak kampus bakal bertindak atas foto gak senonoh itu gak? menurut lo gimana?"
Gisella diam sejenak, perempuan bersurai panjang itu tampak memikirkan jawaban atas pertanyaan Karin.
"Gak tau Rin, tapi orang-orang yang kasusnya hampir sama kayak lo, kayaknya enggak deh.
"Gue malu Sel, gue juga takut Nathan tiba-tiba minta putus dari gue."
Tangan Gisella kembali mengusak lengan Karin, menyalurkan kekuatan dan mencoba memberikan ketenangan. "Nathan mungkin gak bisa diganggu dulu, lo tenang aja nanti bicarain baik-baik sama dia kalo udah pulang."
"Tapi Nathan kayaknya beneran marah deh Sel, gue gak tau harus gimana."
"Coba, lo bersihin dulu pikiran lo, penuhi aja sama yang positif-positif."
Karin menggeleng lesu, ia memangku dagu. "Gak bisa, gue takut banget Nathan mutusin gue, gue sayang banget sama dia."
Gisella memilih diam, segala kata yang terucap dari mulut Karin dipenuhi banyak keputusasaan. Nathan dan Karin, Gisella mengenal keduanya dengan baik, bagaimana kedua insan itu saling mencintai satu sama lain.
Selama ini tak ada satupun yang berani mengganggu hubungan keduanya. Gisella mendengus kasar, ia rasa Yoel benar-benar pembawa sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just the Two of Us
Teen FictionYoel selalu merasa iri akan kehidupan Karin yang terlihat bahagia. Tetangganya itu memiliki keluarga yang harmonis, kekayaan yang melimpah, pertemanan yang luas dan kisah cinta yang nyaris membuat semua orang merasa cemburu. Entah kenapa Yoel membe...