sembilan

143 20 2
                                    

Kepala Karin berdengung pusing, kala ia mengingat rentetan kejadian yang dialaminya dari kemarin hingga saat ia menelusuri area kampus untuk mengikuti kelasnya pagi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepala Karin berdengung pusing, kala ia mengingat rentetan kejadian yang dialaminya dari kemarin hingga saat ia menelusuri area kampus untuk mengikuti kelasnya pagi ini.

Karin mengusap wajahnya, entah sudah berapa puluh kolom komentar yang ia baca kemarin malam. Banyak orang yang mulai menjadikannya bahan olokan dibase kampus. Sebagian memang tak memperlihatkannya secara langsung, tapi Karin menyaksikan bagaimana orang-orang yang ditemuinya pagi ini kembali menatapnya dengan sorot hina.

Rasanya Karin ingin menampar satu persatu dari mereka, menjambaknya hingga bertekuk lutut dan meminta maaf sampai titik darah penghabisan.

"Buat lo!"

Karin menatap sejenak sebuah kotak yang disodorkan Gisella lalu mendongak untuk melihat sang lawan bicara.

"Mama buat kuenya kelebihan jadi gue bawa aja buat lo."

Tangan Karin meraba kotak tersebut, ia tersenyum dengan hati menghangat. "Makasih ya." ucapnya begitu tulus.

Gisella mengangguk, dan duduk disamping Karin, tak lupa mengusap punggung sang sahabat menyalurkan banyak energi positif. "Lo habis nangis ya?"

Karin lantas menggeleng dengan mata mengerjap. "Enggak, kata siapa?"

"Mata lo beda."

"Gue cuma kurang tidur, gara-gara baca komenan dibase bikin gue muak." Bibir Karin mengerut sebal, ia mengacak surai dan menenggelamkan wajah dalam lipatan tangan.

"Gak usah dipikirin, kayak mereka gak pernah aja."

Mendengar Gisella, Karin mengangkat kepala, mendelik, dan meringis meratapi nasibnya yang mengenaskan. "Masalahnya mereka nganggap gue selingkuh, sialan!"

"Lo nyuruh Yoel klarifikasi gak? masa diem doang?"

"Percuma, dia gak bakalan mau. Sekalipun gue tonjok muka dia sampe babak belur, tuh orang gak bakal speak up."

"Dosa apa lo dimasa lalu sampe harus berhubungan sama orang kayak dia?"

Karin menumpu wajah, memejamkan mata dan kembali menahan perasaan kesal dalam hati. "Tau deh, nyesel banget gue nerima tawaran dia buat pulang bareng."

"Gue bilang juga apa, dia tuh cuma buat sial!" gemas Gisella sembari mencubit lengan Karin geram.

Bibir Karin terkatup rapat, urung membalas Gisella dan lebih memilih merenungi diri sendiri dengan mata tertuju kedepan.

Mata Karin benar-benar memancarkan banyak kekosongan sampai pada detik keempat puluh, suara decitan pintu menarik perhatian semua orang termasuk dirinya.

Karin meniti sekitar, sudah banyak tempat terisi, hingga ia rasa semuanya sudah datang dan hanya satu kursi tersisa. Ia meneguk ludah, saat dirasa wajah pemuda yang baru saja datang itu dipenuhi banyak luka. Sudah Karin pastikan itu pasti karena luka pukulan kembali.

Hati Karin bergetar kala melihat luka disudut bibir Yoel tambah parah daripada sebelumnya. Ini adalah luka terparah yang Karin dapatkan semenjak ia mengenal pemuda itu beberapa tahun silam.

Gisella menyolek lengan Karin, mengangkat alis, diam-diam mengamati gerak-gerik Yoel didepan sana. "Kok lukanya makin parah? kena hantam lagi sama papanya?"

Karin menggeleng. "Gak mungkin, Papanya gak ada dirumah."

"Kok lo tau?" Gisella bertanya, penasaran.

Ingatan Karin terlempar pada dua hari yang lalu, dimana ia lihat dari balkon atas, seorang pria berumur lebih dari lima puluh memasuki sebuah mobil dan pergi entah kemana.

Ayah Yoel seringkali pergi, dan akan pulang, empat atau lima hari setelah hari keberangkatan. Selepas pria beruban itu pulang, rumah Karin pasti akan dihebohkan dengan teriakan serta hardikan yang jelas terdengar dari dinding pembatas dirumahnya.

Suara seram itu sangat jelas terdengar, rumah yang saling berdempetan menjadikan suara tersebut menembus hingga bulu kuduk Karin berdiri mendengar teriakan seram itu.

"Gue liat ayahnya pergi udah dua hari."

Gisella mengangguk dan menumpu wajah. "Terus siapa yang pukul dia? kayak lebih brutal pukulannya."

"Gak tau, gak usah dipikirin, orang kayak dia gak pantes dikasihani!"

Lantas Grisella terdiam, ia menghela nafas dan melirik Karin yang tengah membuka buku catatan disampingnya.

Karin menggertakan gigi, menyesali dirinya sendiri yang seringkali memikirkan Yoel diam-diam. Memikirkan bagaimana mungkin lelaki itu datang dengan luka lebam dan mental yang mungkin sudah berantakan.

"Yo, lo gapapa?"

Karin melirik penasaran, kala suara seorang laki-laki mengalun lembut kedalam telinganya. Jio, salah satu rekan Karin dikelas ini bertanya dari jarak kurang lebih satu meter, membuat seluruh tatapan kembali mendarat dimana Yoel duduk sekarang.

Yoel menggeleng tanpa bersuara, pemuda itu lalu mengacungkan jempol dan kembali tertunduk entah tengah melakukan kegiatan apa.

"Udah diobatin Yo?" suara lain kembali mengalun dari arah yang berbeda, Karin menghela nafas, menggigit bibir dan memangku wajah untuk menanti jawaban dari Yoel selanjutnya.

"Belum." jawab pemuda itu begitu lirih, Karin menghela nafas, dalam hati ia mengumpati sosok Yoel yang begitu bodoh. Kenapa pula pemuda itu membiarkan lukanya dan berlagak seolah baik-baik saja?

Dari arah belakang, Jio datang mendekat, memberanikan diri menepuk bahu Yoel. "Ke uks dulu gih, nanti infeksi luka lo, lo kan pinter, harusnya ngerti dong."

Yoel tampak diam sejenak, pemuda itu termenung selama beberapa saat. "Gak usah, makasih, gue bisa jaga diri gue sendiri."

Bullshit, Karin menggeram. Selama ada dalam satu ruangan yang sama sejak satu tahun yang lalu, Karin seringkali memergoki sudut bibir Yoel tampak basah seolah dibiarkan begitu saja.

Tidak, ia tidak seharusnya seperti ini, apa yang Karin rasakan hanyalah sebatas rasa kemanusiaan saja, tidak sepatutnya Karin kasihan pada sosok manusia yang membuatnya menjadi bahan gunjingan orang-orang.

"Karin, lo kenapa?"

Karin mengerjap, kala Gisella mencubit lengannya. Ia tersenyum lalu menggeleng dan memusatkan lagi matanya pada presensi Yoel didepan sana.

Nafas Karin tercekat, bersama ludah yang sulit untuk diteguk ketika Yoel juga menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

Karin tak tahu ini apa, hatinya turut bergetar bersama sorot suram dari netra Yoel yang memancarkan banyak luka lara.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Just the Two of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang