Suara gemercik air saling bersorak saat jutaan tetesan itu jatuh kebumi. Sore itu, Karin mengusap-usap baju serta surainya yang basah disudut rumah Nathan, sengaja merelakan waktu makan siangnya demi menyambangi kediaman sang kekasih untuk menyelesaikan masalah yang terjadi enam hari yang lalu.
Kedinginan mulai mengerjap, manakala air yang jatuh kebajunya mulai menembus, menyentuh kulit sampai Karin menggigit bibir menahan sensasi tak nyaman tersebut.
Tangan Karin tertahan diudara sejenak, sebelum ia beralih menekan bel yang tertempel dekat pintu utama.
Karin menyiapkan hati, menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghancurkan ekspetasinya nanti.
Semuanya berjalan begitu menyakitkan, Karin terus meyakinkan diri bahwa alasan Nathan tak membalas pesannya lagi, adalah karena pria itu tengah disibukkan oleh rentetan kegiatan yang digelutinya sejak masuk perguruan tinggi.
Ternyata Karin salah, Nathan benar-benar marah padanya. Jika saja William tak memberitahu tentang berakhirnya pelatihan Nathan, mungkin Karin hanya bisa meratapi hatinya yang kian hancur karena peristiwa itu.
Karin menggigit bibir, saat dirasa pintu tersebut mulai dibuka oleh seseorang dibalik benda tersebut, ia menahan nafas, mendapati Nathan tanpa senyuman.
Nathan mengangkat alis, menatap sinis sosok gadis didepannya. "Ngapain kesini?"
Karin tergagap, ia beralih mengambil tangan Nathan dan menggenggamnya erat. "Maaf, Nath." jawabnya begitu gugup. "Aku minta maaf yang sebesar-besarnya.
"Maaf untuk apa?"
Pertanyaan dari Nathan begitu dingin, tak seperti biasanya. Sekalipun kekasihnya ini marah, Nathan tak pernah sedingin ini jika berbicara.
"Maaf untuk berita simpang siur kemarin."
"Kenapa minta maaf? itu kan yang kamu mau, ngerasain ciuman yang telah lama kamu idamkan?!"
Karin mengernyit, tak suka dengan perkataan Nathan. "Aku gak pernah menginginkan hal itu sebelum hari pernikahan Nath, kamu tau kan?"
"Terus kenapa malah ciuman sama cowok lain? karena aku gak bisa ngasih apa yang kamu mau?"
"Nath-" Karin kehabisan kata, ia mengusap pelipis, tak mengerti dengan jalan pikir Nathan. "Kamu kan tau aku sangat menjaga harga diri aku, sekalipun itu sama kamu."
Mata Nathan memutar malas. "Terus foto yang tersebar kemarin itu apa? editan?"
"Nath aku udah jelasin semuanya, tapi kamu gak pernah baca pesan yang aku kirim! aku bilang dia yang ngelecehin aku, bukan sama-sama mau!"
"Terus kalau emang bener pelecehan, kenapa kamu gak ngelaporin itu ke pihak berwajib?"
Karin menggertakan gigi, Nathan terus memojokannya, tak sedikitpun mengerti apa yang menjadi bebannya akhir-akhir ini. "Karena hidup dia udah cukup menderita Nath!" jawaban tersebut keluar saja dari mulut Karin, ia sama sekali tak berpikir tentang jawaban itu.
"Itu artinya kamu juga menikmati sentuhan dia!"
"Aku gak nikmatin apa yang dia lakuin sama aku, aku bahkan udah kasih dia pelajaran dan dia kembali jadi samsak ayahnya."
Nafas Nathan kian memburu, ia mencengkeram lengan Karin, dan menatapnya penuh intimidasi. "Terus kamu pikir aku peduli kalau dia babak belur? gak pernah sedikitpun Rin, karena dia udah ambil apa yang seharusnya menjadi milik aku!"
Air mata Karin mulai meluruh, ia terisak dengan bentakan Nathan yang baru pertama kali diterimanya selama menjalin hubungan hampir empat tahun lamanya.
"Maafin aku Nath, aku ga pernah sedikitpun menyangka bakalan ada disituasi seperti ini. Akhir-akhir ini, aku juga jadi bulan-bulanan orang-orang dibase kampus Nath."
Kilatan yang terpancar dari netra Nathan kian menyalang. "Itu emang pantes buat kamu dapetin, ngapain ngadu ke aku?"
"Aku gak ngelakuin itu Nath, dia yang maksa. Dia juga yang nyebarin semuanya."
Nathan melepas cengkeramannya, ia mengacak surai dan menunjuk wajah Karin kesal. "Kamu sama dia itu tetanggaan Rin, kemungkinan kalian selingkuh itu besar. Dan lihat apa yang terjadi, kamu sama dia ciuman dibelakang aku, hal yang selama ini selalu aku jaga agar kamu tetap suci sampai kamu nikah nanti!"
"Kamu juga tahu kan Nath, aku gak sedekat itu sama dia, waktu itu dia yang tiba-tiba ngajak aku pulang bareng."
"Iya dan bodohnya kamu iyain saat aku sibuk sama cita-cita aku!"
Karin menarik tangan Nathan, kala pemuda itu hendak membalikan badan dan masuk kedalam. "Nathan, tolong!"
Nathan tak menanggapi Karin sama sekali, ia malah merogoh handphone dalam saku dan tampak mengotak-atik benda tersebut entah untuk apa.
Semenit kemudian, Nathan mendongak, kembali melabuhkan tatapan pada mata Karin yang tambah menyayu. "Pulang! Aku udah pesan taksi buat kamu!"
Karin menatap tak percaya pada Nathan. "Nath, aku baru aja sampe. Kamu percaya kan sama aku?"
Mata Nathan terpejam, ia seakan menahan emosi menyaksikan sikap Karin yang keras kepala. "Angkat kaki dari sini dan tunggu taksi datang didepan gerbang!"
"Nath, kenapa kamu jadi kasar kayak gini?"
"Kamu yang minta aku buat berbuat kasar sama kamu! jadi tolong pulang dan jangan buat kegaduhan dirumah."
Karin kembali terisak, ia semakin mengeratkan pegangan pada Nathan, dan memohon lelaki itu untuk percaya terhadap pembelaannya. "Nathan, kamu percaya kan sama aku? tolong bilang kamu percaya, supaya kita bisa kayak dulu lagi!"
"Pulang Karin!" geram Nathan. "Atau aku panggil satpam biar kamu angkat kaki dari sini?"
Kepala Karin menggeleng, tak mau menuruti apa yang Nathan perintahkan. "Kenapa kamu tega, Nath?"
Nathan sama sekali tak menjawab pertanyaan Karin, kekasihnya ini kembali merogoh benda pipih miliknya dari dalam saku, dan tiba-tiba terdengar bunyi telepon berdering dari benda tersebut.
Karin menurunkan bahu kecewa, tak percaya atas tindakan Nathan yang seperti ini. Ia memilih menyerah, dan memundurkan langkah perlahan, serta mulai melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Nathan.
"Okay, aku pergi!" lirih Karin nyaris tak terdengar. "Terimakasih untuk waktunya Nath."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just the Two of Us
Teen FictionYoel selalu merasa iri akan kehidupan Karin yang terlihat bahagia. Tetangganya itu memiliki keluarga yang harmonis, kekayaan yang melimpah, pertemanan yang luas dan kisah cinta yang nyaris membuat semua orang merasa cemburu. Entah kenapa Yoel membe...