Hari-hari berlalu sebagaimana mestinya, Karin hanya merasa hidupnya semakin kacau setelah peristiwa yang menggemparkan tempo itu. Hubungan antara ia dengan Nathan kian menjauh, Nathan sama sekali tak memberikan Karin kesempatan berbicara, barang sedetikpun.
Karin benar-benar diabaikan, padahal jika saja Nathan mendengarkan dan melihat penjelasan dari Karin dikolom pesan yang sudah ia kirimkan, mungkin hubungan mereka tak akan sekacau ini.
Sungguh, Nathan adalah pria yang keras kepala, lelaki tampan ini menutup telinga dan matanya dari Karin begitu saja.
Apabila ditanya, Karin kesal apa tidak, jawabannya adalah iya. Beberapa kali Karin memaksa Nathan untuk bertemu, tapi ia tak kunjung mendapat balasan, beberapa kali juga Karin mendatangi gedung fakultas Nathan, namun yang ada adalah pengabaian terhadap dirinya.
Jika sudah seperti ini, apalagi yang harus Karin harapkan? padahal jika dipikir-pikir, selama ini Karin rela melakukan apapun demi Nathan, tapi balasannya malah seperti ini.
Bukan, Karin bukannya mengharapkan balasan yang setimpal, akan tetapi kasih sayang serta luapan rasa cintanya selama ini adalah bentuk ketulusan perasaan yang dirasakannya pada Nathan.
Nathan bagi Karin ibaratkan malaikat yang mampu mengisi kekosongan hatinya yang tengah kosong kala itu, hanya Nathan seorang yang bisa membuat Karin merasa melayang ke atas awan.
Mengingat apa yang akhir-akhir ini terjadi diantara mereka, sungguh membuat Karin sedih tak terkira. Semuanya sudah terlanjur terjadi, Karin tak bisa memutar waktu apalagi meminta untuk mengubah skenario hidupnya pada Tuhan, rasanya sangat mustahil.
"Sorry ya nunggu lama, gue ke swalayan dulu nganterin Bunda."
Dari arah barat, Gisella menghentikan kendaraannya tepat didepan rumah Karin. Gadis itu meminta maaf setengah berteriak dari dalam mobil. "Ayo naik Rin, kayaknya kita udah telat deh."
Karin mengangguk dan membubuhkan senyum ditengah hatinya yang remuk.
"Kenapa muka lo? ada masalah lagi?" tanya Gisella saat Karin menyesuaikan duduk diatas jok penumpang.
"Kenapa sama muka gue? aneh?" Karin balik bertanya.
Gisella mendengus kasar. "Gue kenal lo udah bertahun-tahun ya Rin. Gue tahu muka masam lo kayak apa."
"Gue gapapa kok, ayo cepet jalan kita udah telat!"
Kedikan bahu Gisella berikan, jika Karin tak mau bercerita, Gisella tak dapat melakukan apa-apa, atau ia akan semakin memperburuk keadaan.
Sore ini keduanya akan pergi ke pesta ulang tahun salah satu teman seprodi mereka. Ini adalah sebuah formalitas, meski pada kenyataannya Karin benar-benar malas mengunjungi pesta seperti ini. Maksudnya dia benci keramaian, ia tak suka ada didalam kerumunan orang-orang.
"Sel, nanti disana jangan lama-lama ya, gue ada firasat gak enak nih."
Gisella mengerutkan dahi, bingung dengan perkataan Karin. "Firasat apaan?"
"Gak tau deh, hati gue gak nyaman gini?"
"Lo takut jadi pusat perhatian? tenang aja, kalo mereka berani natap sinis sama lo, panggil gue, biar gue colok mata mereka satu-satu, atau sampe babak belur sekalipun."
Karin meringis pelan. "Serem amat."
"Lo harus tenang, backingan lo tuh orang kayak gue." Gisella tertawa bangga, Karin hanya bisa menggaruk tengkuk mendengar kepercayaan diri Gisella yang setinggi langit.
Beberapa saat kemudian, keduanya sampai digedung dua lantai dekat pinggiran kota, Gisella memakirkan kendaraannya disamping kendaraan lain yang terusun rapi didepan halaman.
Karin keluar terlebih dahulu, dan menghampiri Gisella untuk ia rangkul lengannya. Demi apapun, Karin nervous sekarang, padahal biasanya ia tak begini.
"Lo tenang aja kali, orang-orang bakal sibuk party, kita ambil tempat dipinggiran aja."
Mendengar kata penenang dari Gisella, Karin mengangguk berusaha tenang. Baru saja masuk, keduanya sudah disuguhkan dengan pemandangan tak biasa, banyak orang-orang tengah berjoget ria ditengah-tengah halaman luas tersebut.
Karin menghela nafas, rasanya enggan sekali untuk menghampiri Naina, sang pemilik pesta tersebut didepan sana.
"Nanti ajalah Sel kedepannya, males gue. Kita ke duduk aja dulu disana." Tangan Karin menunjuk salah satu tempat dipinggiran gedung. Tempat yang cukup sepi dari jangkauan orang-orang.
Gisella tak membalas apa-apa, ia hanya menuruti apa yang Karin mau demi membuat kesan yang nyaman bagi temannya yang satu ini.
"Gak ambil makan dulu Rin?" tanya Gisella.
"Bentar lagi deh, nunggu orang lain dulu, pusing duluan tau gak liat orang-orang disana."
"Yaudah." balas Gisella sembari mengangkat kedua bahunya. Gadis itu mengedarkan pandangan, lambat laun ia menyadari ada sesuatu yang janggal ditempat yang berlawanan arah dengannya.
Gisella menutup mulut, lantas menarik lengan Karin hendak membisikan sesuatu. "Gue gak salah lihatkan?"
Karin mengerut tak mengerti dengan maksud Gisella. "Apa?" tanyanya setengah penasaran.
"Nathan." Bisik Gisella sembari mengarahkan telunjuknya pada objek diseberang sana. "Sama cewe, berdua."
Gigi Karin bergelatuk saat itu juga, ia mengikuti arah telunjuk Gisella dan mendapati kekasihnya memang tengah ada disana, dan bercengkerama dengan gadis yang tampak asing dimata Karin.
"Lo sama Nathan beneran belum putus kan Rin?" tanya Gisella penuh kekhawatiran.
"Temennya kali Sel, ga usah khawatir, Nathan gak seburuk yang lo pikir kok." Jawab Karin masih denial, padahal kepalanya banyak dipenuhi rasa khawatir yang besar.
Gadis disamping Gisella itu menggigit bibir, sedetik kemudian ia terkejut, peluhnya makin deras dengan tangan gisella yang mulai meremas ujung gaun birunya.
"Gue gak salah liat lagi sekarang kan?"
Karin menoleh, memperlihatkan wajah sendu serta kecewanya didepan Gisella. "Nathan gak mungkin selingkuhkan, Sel?" Karin memijit pelipisnya, mendengus dan membalikkan badan membelakangi keramaian. Ia tak sanggup lagi melihat Nathan memeluk gadis antah berantah, yang Karin tak tahu dia siapa dan darimana.
"Lo tau siapa ceweknya?"
Lantas Karin menggelengkan kepala, gadis yang tengah bersama Nathan benar-benar terlihat asing dikepalanya. "Gak tau, gue gak pernah liat cewek itu. Tapi dia cantik banget."
"Positif thinking aja, temen se-fakultasnya kali." Ucap Gisella berusaha untuk meredam pikiran buruk dalam kepala Karin.
Karin menurunkan bahu, menatap lamat pada gawai dalam genggamannya, sembari melamun ia bergumam pelan disamping Gisella. "Apa gue labrak aja mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just the Two of Us
Teen FictionYoel selalu merasa iri akan kehidupan Karin yang terlihat bahagia. Tetangganya itu memiliki keluarga yang harmonis, kekayaan yang melimpah, pertemanan yang luas dan kisah cinta yang nyaris membuat semua orang merasa cemburu. Entah kenapa Yoel membe...