sembilan belas

111 22 4
                                    

Pagi datang begitu cepat, Yoel turun dari ranjangnya, menatap rumah sebelah dari jendela kamar dengan perasaan merekah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi datang begitu cepat, Yoel turun dari ranjangnya, menatap rumah sebelah dari jendela kamar dengan perasaan merekah. Masih terekam diingatannya tentang senyuman Karin, tentang ucapan selamat malam dari Karin, semuanya masih terekam jelas dalam ingatan.

Haruskah Yoel menghapus sifat denialnya sekarang? atau ia tetap harus bertahan dengan segala kegengsian dan ketakutan yang ditutupinya selama ini?

Yoel tahu, Yoel juga sadar, sifat jahatnya selama ini hanya sebuah alibi saja, jelas-jelas ia menyukai Karin. Maka dengan itu Juna serta Jiandra pasti tahu akan perasaan yang bersemayam lama dalam benaknya.

Orang bilang, perasaan benci dan cinta itu punya perbedaan yang amat tipis. Yoel merasa benci karena perasaannya tak berbalas, Karin sibuk bermesraan dengan laki-laki lain sedang ia hanya mampu diam dan sibuk menata hatinya yang hancur berkeping-keping.

Suara dering telepon menarik atensi Yoel, ia menarik derap, berbalik arah dan menyambar ponselnya diatas nakas.

"Halo, Bun?"

"Yoel, selamat pagi sayang." Suara wanita diseberang sana menyapa Yoel.

"Iya Bun, ada apa?"

"Kamu apa kabar sayang, Bunda kangen banget sama kamu."

Yoel mengusap wajah, kantuk masih terasa meski kesadarannya sudah pulih seratus persen. "Baik Bun, Bunda gimana? Yoel juga kangen sama Bunda, Ayah pergi keluar kota lagi Bun."

"Ayah baik kan sama kamu sayang? kalo ada apa-apa tolong bilang sama Bunda ya, Bunda takut kamu kenapa-napa."

Hati Yoel berkecamuk, ia tak mungkin kan bilang Ayah masih suka melempar pukulan kepadanya? Dengan melihat Bunda bahagia dengan keluarga barunya Yoel sudah ikut bahagia. Meski kadang hatinya masih menyimpan rasa kesal pada Bunda tentang peristiwa menyakitkan itu, tapi Yoel bisa apa?

"Yoel baik-baik aja Bun, Bunda jangan khawatir."

"Entah harus berapa ratus kali lagi bilang sama kamu, maafin Bunda ya Yoel, maaf Bunda sudah memperkeruh suasana dikeluarga kita. Tapi Bunda sayang banget sama Yoel."

Yoel tersenyum miris, ia berbisik didalam hati, 'kalaupun Bunda memang sayang sama Yoel, kenapa ia harus ditinggalkan bersama Ayah yang berubah kepribadian setelah ditinggal Bunda?'

"Tenang aja Bun, Yoel juga tahu kok. Udah dulu ya Bun, Yoel sebentar lagi mau berangkat kuliah.

"Baik sayang, semoga hari-hari kamu menyenangkan."

Ketika panggilan tersebut usai, Yoel menatap nanar ponsel dalam genggamannya. Kenapa ada saja hal yang membuatnya merasa sakit kala ia mendapatkan gumpalan rasa bahagia?

Tak ingin menghabiskan waktu hanya dengan meratapi nasibnya sendiri, Yoel memilih bersiap-siap dengan membersihkan diri.

Siap dengan segala persiapannya, Yoel menyampirkan tas, tak lupa ia menggigit sehelai roti yang diambilnya dari meja makan.

Yoel mengunci pintu, setelah ia pastikan semua pintu didalam rumah terkunci rapih.

"Selamat pagi Yoel!" Tersentak, Yoel menoleh kearah samping, ia dapati Karin berdiri dengan memeluk sebuah buku yang tak Yoel ketahui judulnya.

"Hai!" Yoel mengangkat tangan canggung. "Selamat pagi."

Tolonglah, ini adalah sapaan kedua, bagaimana bisa hati Yoel tak bergemuruh hebat?

"Langsung ke kampus?" tanya Karin dengan senyum tulusnya yang lagi-lagi mampu membius Yoel.

Yoel mengangguk. "Iya, mau bareng gak?" tawarnya, tak mau berharap lebih.

"Boleh?" Karin bertanya ragu.

Anggukan semangat lantas Yoel berikan. "Boleh, kenapa enggak?"

Karin tertawa dari seberang, ia kemudian melangkah menghampiri Yoel dengan senyum secerah rembulan. "Beneran Yo?"

"Bener Karin, ayo masuk." Yoel membuka pintu depan mobil, tak membiarkan Karin duduk lagi dibelakang seperti semalam.

"Makasih, Yoel." Karin masuk dengan Yoel yang masih menggantungkan tangan sampai sang puan duduk dengan nyaman. Ia lalu menutup pintu dan memutar langkah, lantas duduk didepan kemudi.

"Lo udah sarapan?" Karin bertanya, saat Yoel menyalakan mesin.

"Udah kenapa? lo belum sarapan? mau sarapan dulu? gue ambil roti dari dalem ya?"

Bola mata Karin melebar, ia sontak menahan pergerakan Yoel dengan menggenggam lengan pemuda itu menggunakan kedua tangan. "Jangan, gue udah sarapan, gue cuma tanya lo udah sarapan apa belum?"

Yoel menahan nafas, melihat lengannya yang ditarik dan ditahan oleh Karin. Ia menjawab gagu, bersama seluruh tubuh yang dipenuhi aliran listrik karena sentuhan tangan gadis itu. "Gue udah sarapan Rin, lo masih la-par?"

Karin menggeleng, ia masih menyimpan tangannya dilengan Yoel, seolah tak sadar bahwa apa yang ia lakukan sekarang ini mampu membuat jantung Yoel berdetak kencang.

"Enggak, gue cuma nanya, cuma mau mastiin lo udah makan apa belum? lo kenapa kayak gugup gini?"

Pemuda dihadapan Karin ini mengerjap beberapa kali, ia juga melirik sesaat lengannya yang belum Karin lepaskan. "Tangan lo Rin." Lirih Yoel nyaris tak terdengar.

Bukannya dilepaskan Karin malah kian menjadi, gadis itu malah menepuk-nepuk pundak serta lengan Yoel bermaksud usil. "Loh kenapa? emang tangan gue bikin lo alergi?"

Yoel menggeleng seperti anak kecil. "Enggak Karin."

"Terus kenapa?"

"Sentuhan lo bikin gue hati gue berantakan, Karin."

Karin pias mendengar jawaban Yoel yang penuh kejujuran.

Guys maaf aku agak slow update, huhu lagi praktikum hectic banget😿

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guys maaf aku agak slow update, huhu lagi praktikum hectic banget😿

Just the Two of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang