Chapter 16

338 27 0
                                    

Hampir sebulan sudah Zilly bekerja sebagai sekretaris Fairel. Keberadaannya dikantor membuat Shabira merasa lega. Setidaknya dia lebih mempercayai Zilly untuk membantu pekerjaan suaminya dibanding sekretaris lamanya yang selalu bersikap genit.

Sementara itu Zilly juga merasa senang dengan pekerjaan barunya, selain karena dia perlahan mulai mengerti dengan tugas-tugasnya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Fairel entah itu didalam maupun diluar kantor.

Harus Zilly akui bahwa pertemuannya dan Fairel telah membuat perempuan itu gelap mata. Dia secara sadar telah jatuh cinta pada Fairel sejak pertama kali mereka bertemu. Selain itu, Fairel selalu memberikan perhatian kecil padanya yang membuat Zilly tak dapat berbohong bahwa dia semakin jatuh cinta pada laki-laki itu, yang berstatus sebagai bos sekaligus suami dari seorang perempuan yang telah banyak membantunya selama ini.

Jahat memang Zilly akui, tapi dia tak dapat menepis perasaan itu.

"Bibi, eis klim?" lamunan Zilly buyar saat sesendok ice cream ditawarkan ke bibirnya. Zilly tersenyum penuh kegembiraan lalu membuka mulutnya untuk menerima sesendok ice cream dari keponakannya.

Saat ini jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Zilly seharusnya sudah selesai bekerja pada pukul lima tadi sore, tapi dia harus menemani Rengga dan Rafa bermain sampai mereka berpisah.

Dalam perjalanan pulang Zilly yang kelaparan mampir ke restoran untuk makan. Namun tiba-tiba saat Zilly akan membawa bocah itu kembali, Rengga mulai merasa rindu pada ice cream dan meminta Zilly untuk mampir ke toko ice cream dalam perjalanan pulang. Begitulah pada akhirnya mereka berakhir duduk di toko ice cream.

Getaran ponselnya membuat Zilly terganggu. Sebuah nomer tak dikenal muncul dilayar. Zilly sudah mengatur hpnya ke dalam mode getar saat bekerja, tetapi kemudian lupa untuk menyalakannya ke mode suara. Dahinya mengernyit dalam, Zilly memandangi panggilan itu tanpa menjawab.

Akhir-akhir ini dia sering mendapat telepon dan sms aneh dari nomer asing yang tak lain dan tak bukan berasal dari nomer Rise. Meski sudah berkali-kali memblokirnya, Rise terus mengganti nomernya dan menghubungi Zilly tanpa henti.

Dia ragu apakah harus menerima panggilan itu atau tidak. Jika dia tidak menerimanya, dia takut bahwa klien Fairel meneleponnya secara tiba-tiba. Menolaknya hanya akan membuat Fairel dalam masalah besar. Tetapi jika diterima, Rise mungkin akan mengganggunya.

Dan setelah berpikir panjang, panggilan yang masih berlangsung itu akhirnya Zilly jawab. Dia menempelkan telepon genggam ke telinga kirinya sambil menggigit bibir bawahnya gugup.

"Hallo?" sapanya.

"......"

Sebelah alis Zilly terangkat, dia melihat layar untuk memastikan panggilan masih terhubung. Namun dia tidak mendengar siapapun yang berbicara di ujung telepon.

"Hallo, dengan siapa?"

Sepertinya bukan Rise ataupun klien Fairel. Apakah orang ini sedang melakukan panggilan iseng?

"Jika kamu ingin bermain-main, telepon lah orang lain. Aku sibuk!" Raung Zilly kesal dan hendak menutup panggilannya saat tiba-tiba orang di ujung sana bersuara dan menghentikannya dengan cepat."

"Dengan siapa? Apa yang kamu inginkan?"

"Zilly, ini aku."

Suara ini tidak asing. Dia pernah mendengarnya, dia terdiam sambil terus mengingat suara familiar ini sampai tiba-tiba matanya terbelalak, dan dengan ekspresi terkejut dia bertanya, "Apa yang kamu inginkan?"

"Zilly, aku ingin bicara denganmu, bisakah kita bertemu, hanya berdua saja?"

Zilly mendengkus sini. "Apakah perkataanku saat itu tak cukup membuatmu mengerti? Hubunganmu dengan kakakku sudah berakhir begitu pula dengan keluargaku. Jadi jangan coba-coba untuk membujukku agar bisa berdamai dan menyerahkannya (Rengga) padamu."

RISE: Terjebak Dalam Ilusi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang