Chapter 18

331 24 4
                                    

Langit senja semakin gelap dengan garis-garis oranye di cakrawala. Sayup-sayup terdengar Zilly terbatuk-batuk karena tenggorokannya terasa kering. Disamping itu, Rengga tampak asik bermain dan sesekali akan berubah menjadi dokter untuk memeriksa keadaan Zilly.

Kepalanya tidak sesakit pagi tadi. Meski sudah sedikit lebih baik dan memiliki istirahat yang cukup, tubuhnya masih tak bisa beraktivitas selayaknya orang sehat. Zilly baru saja makan bubur yang Zilian buatkan, sekarang dia sedang menunggu sang adik membawakan obat ke kamarnya.

"Aku menaruh air diatas nakas, kenapa tidak minum?" Begitu dia masuk, Zilian segera mengomeli kakaknya yang sedang batuk. Dia berjalan dengan beberapa obat, dan segelas air yang langsung ia tuangkan kedalam gelas untuk diminun. "Minumlah,"

Zilly dengan patuh menelan beberapa tablet pahit kedalam tenggorokannya dan menyesap air beberapa kali sebelum mengembalikan gelas ke tangan Zilian.

"Lain kali minumlah banyak air agar tenggorokanmu tidak kering." Peringat Zilian lagi dengan nada keibuan, membuat Zilly tidak tahan untuk tidak menertawakan adiknya. "Kenapa kakak tertawa?" Alis Zilian mengernyit bingung.

"Kamu mengomel seperti Ibu."

"Tsk, ini demi kebaikan kakak, tahu!"

"Baiklah, baiklah."

"Mama," Zilly dan Zilian tersentak. Saat Rengga mendengar kata ibu dari mulut Zilly, Rengga tanpa sadar teringat pada Zidny yang tidak pernah kembali. Bocah mungil itu mencebik bibirnya kebawah, matanya berkaca-kaca seolah dia akan langsung meneteskan air mata.

Zilly kelabakan. Seharusnya dia tidak menyebutkan Ibu untuk membuat Rengga teringat pada Zidny. Bocah itu sudah hampir lupa dengan kepergian sang Ibu karena ucapan Zilly barusan, Rengga tak tahan untuk memanggil Zidny lagi.

Kedua kakak beradik itu saling melirik. Tangisan Rengga nyaris meledak sebelum dengan cepat Zilian mengangkat tubuhnya dan membawa Rengga keluar sambil menghiburnya dengan mengambil beberapa mainan diruang tengah.

Zilian hampir kehabisan cara untuk membujuk Rengga. Bocah itu menangis keras, menarik-narik lengan Zilian untuk keluar agar mereka bisa menemukan Zidny. Zilian kebingungan, mau tak mau mengikuti keinginan Rengga untuk membawanya keluar.

Baru saja Zilian menutup pintu dibelakangnya, sebuah mobil Maybach tiba-tiba terparkir didepan rumahnya. Tanpa menunggu seseorang dibalik kemudi turun, Zilian tahu siapa pemilik mobil yang datang. Tidak berapa lama setelah menebak, sesosok yang selalu menampakkan wajahnya setiap hari tiba-tiba muncul. Dia tersenyum dan melambai ke arah Zilian dengan antusias.

"Paman, Paman." Begitu Rise mendekat, bocah digendongan Zilian sudah membuka tangannya lebar-lebar untuk menyambut pelukan Rise. Dia tidak lagi menangis, namun kini butuh pelukan dari Rise.

"Ada apa?" Tanya Rise ketika dia mengambil tubuh mungil itu dari Zilian dan melihat mata bocah itu memerah dengan air mata diwajahnya. Rengga dengan cepat menyembunyikan wajahnya dipundak Rise dan memeluk leher laki-laki itu dengan erat.

Zilian tahu cara ini akan berhasil, jadi dia dengan santai berkata, "Tuan, kalau anda tidak keberatan, bisakah kamu menjaga Rengga lebih dulu? Saya sangat sibuk didapur."

Sebelah alis Rise terangkat sempurna, dia menatap Zilian dengan sebuah pertanyaan yang tercetak jelas diwajahnya.

Zilian paham maksudnya, menghela napas dia berkata: "masuk saja ke kamarnya, saya tidak akan menganggu. Tapi ingat!! Jaga batasanmu."

Hmm... tumben sekali Zilian tiba-tiba menyuruh Rise masuk ke kamar sang kakak. Tapi apakah boleh? Ah, sudahlah. Selama sudah mendapatkan izin, dia akan langsung masuk tanpa banyak bertanya. Rise mengikuti Zilian masuk kerumah, Rengga sudah diam sejak memeluk Rise dan bahkan tidak lagi mengangkat wajahnya seolah dia nyaman di posisi itu.

RISE: Terjebak Dalam Ilusi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang