Chapter 19

290 24 2
                                    

"Zily, berikan kertas itu padaku." Tangan Fairel menengadah namun matanya begitu fokus memeriksa layar komputer. Setelah beberapa detik menunggu tanggapan, tangannya tak juga merasakan ada benda lain diatasnya. Fairel menoleh, dia melihat Zilly berdiri disana menatap lantai dengan pandangan kosong. Fairel memanggilnya beberapa kali, namun Zilly masih tak kunjung menjawab.

Dia melamun lagi.

Fairel menggulung kertas diatas mejanya, lalu memberi dua pukulan dilengan untuk membangunkannya. Begitu benda itu menyentuh, Zilly tersentak, mengangkat matanya menatap Fairel yang sedang memberi tatapan tajam ke arahnya. Zilly kelimpungan tidak tahu harus melakukan apa. Saat Fairel kembali menengadah, Zilly segera memberikan apa yang laki-laki itu minta sembari terus mengulang kata maaf dengan nada menyesal.

"Apa masalahmu akhir-akhir ini, sepertinya kamu banyak melamun." Fairel mengambil berkas ditangan Zilly kemudian melanjutkan pekerjaan sambil berbicara padanya.

"Saya tidak apa-apa, Tuan."

"Jika kamu punya beberapa masalah diluar, tolong kendalikan diri. Kamu harus tetap fokus bekerja, lupakan apa yang terjadi diluar dan bersikap profesional ketika berada didalam ruangan."

Zilly merasa malu. Dia sudah beberapa kali tertangkap basah karena melamun. Tapi Fairel belum pernah menegurnya seperti ini. Ini pertama kali sehingga Zilly merasa sangat malu.

"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

Fairel mengangguk memaafkan. Laki-laki itu melirik arloji dipergelangan tangannya sejenak. "Sudah saatnya jam makan siang. Kamu pergilah untuk makan, kembalikan fokusmu selama jam istirahat."

"Baik, Tuan. Saya permisi."

Zilly menghirup udara segar setelah keluar dari ruangan. Meskipun satu ruangan bersama Fairel itu menyenangkan, namun dengan tingkah anehnya beberapa hari ini membuat Zilly ingin menghindari bertemu Fairel. Tapi apa boleh buat? Jabatannya berkaitan dengan Fairel. Mereka hampir setiap jam bertatap muka karena urusan pekerjaan. Jika hanya karyawan biasa, Zilly mungkin akan berurusan dengan Fairel saat dia ingin mengajukan proposal atau meminta tanda tangan persetujuan darinya. Intinya tidak sesering ketika sekretaris menemuinya.

Masalah yang menjadi pemikirannya akhir-akhir ini adalah Jehan sudah mulai memasuki tahap teror. Tidak, ini bukan teror dengan adegan si peneror melakukan tindakan mengganggu si korban setiap waktu. Justru hal inilah yang membuat Zilly semakin khawatir. Jehan memaksanya untuk bertemu malam itu, tapi karena Zilly menolak jadi dia mengancam akan membawa Rengga pergi tanpa sepengetahuannya secara paksa kapan saja.

Mungkin itu hanya sebuah ancaman tanpa tindakan. Buktinya sudah hampir dua minggu, Zilly tak mendapatkan teror apapun dari Jehan. Dia hidup dengan damai bersama Rengga, tapi rasa takut menyelimuti dirinya sesekali. Pikiran-pikiran buruk melintas dibenaknya secara bertahap. Zilly tidak ingin memikirkannya, tapi dia terus saja melakukan itu sampai membuat konsentrasinya menurun.

"Hentikan, Zilly, hentikan..." Zilly menepuk-nepuk pipinya bermonolog, ingin mengembalikan kewarasan dan melupakan masalah yang membuatnya sakit kepala.

Dia tidak boleh terlalu keras memikirkan hal-hal diluar dugaan atau dia mungkin akan mengalami stres. Biarkan saja Jehan meracau, toh dia tidak akan pernah membuat Jehan berhasil merebut Rengga darinya. Zidny telah mempercayainya untuk merawat Rengga, jika sesuatu terjadi pada Rengga karena ancaman tersebut maka dia tidak akan tinggal diam.

"Zilly! Kemari!"

Zilly mengangkat matanya dan melihat Rise dengan antusias melambai ke arahnya. Karena teriakannya pula, orang-orang yang sudah lama memperhatikan Rise tiba-tiba secara serempak mengalihkan atensi ke arahnya. Sepanjang perjalanan menuju ke meja ditempat Rise, Rafa dan Rengga duduk, rasanya seperti menginjak ribuan duri dikakinya. Zilly menunduk, merasa malu sambil mempercepat langkah untuk sampai.

RISE: Terjebak Dalam Ilusi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang