Chapter 20

280 22 4
                                    

Zilly duduk diatas kursi marmer dipinggir danau. Suasana disekitar sangat hening dan sunyi, sesekali akan terdengar sayup-sayup obrolan orang-orang dari kejauhan. Jehan mengirimkan lokasinya, tapi setelah menunggu hampir sepuluh menit laki-laki itu tak kunjung datang memperlihatkan batang hidungnya didepan Zilly. Apakah Jehan berniat untuk mengerjainya?

Ponsel Zilly berbunyi, Rise meneleponnya lagi untuk kesekian kali. Rise mengkhawatirkan keadaan Zilly. Saat Rise datang untuk menjemput Zilly pulang, perempuan itu tiba-tiba memberitahunya bahwa dia akan pulang sendiri karena harus bertemu seorang teman. Rise menawarkan diri untuk mengantarkannya namun Zilly menolak karena Rise harus mengantarkan Rengga pulang. Sempat terjadi perdebatan diantara mereka, dan pada akhirnya Rise memilih untuk mengalah.

"Kamu baik-baik saja? Dimana posisimu sekarang? Apa aku perlu menjemputmu setelah selesai?" Suara khawatir Rise menyapa gendang telinganya begitu ponsel ditempelkan ketelinga.

Zilly merasa kesal. Dia merasa seperti seorang tawanan yang harus diawasi dua puluh empat jam sehari dan harus melaporkan setiap kegiatan yang dia lakukan pada Rise. Ini membuatnya tidak nyaman.

"Rise, berhentilah mengangguku. Aku baik-baik saja, bukankah sudah ku katakan bahwa aku akan bertemu seorang teman, jadi berhentilah meneleponku."

"Aku khawatir karena kamu tidak memberitahuku kemana kamu akan pergi."

Zilly tidak mengerti. Mengapa rasanya hubungan ini terlihat seperti mereka adalah pasangan. Sudah hampir dua minggu, Rise bekerja sebagai seorang supir yang selalu mengantar dan menjemput Zilly di perusahaan Fairel seolah dia tidak ada kesibukan. Padahal setahu Zilly, Rise baru saja melakukan shooting untuk film terbarunya. Seharusnya cukup sibuk karena shooting itu baru dimulai. Namun Rise terlihat seperti aktor yang sudah lama lenyap dari permukaan kamera.

Zilly menghela napas, sekali lagi menjelaskan, "aku benar-benar baik-baik saja. Aku hanya bertemu teman lama, itu seharusnya hanya pertemuan biasa dan aku akan pulang secepat mungkin jika sudah selesai."

Walau Rise tidak begitu yakin, namun dia memilih untuk berhenti berdebat. Dia tidak ingin memperpanjang masalah yang membuat Zilly semakin risih. Dan mau tak mau merasa enggan untuk berkata, "Baiklah kalau begitu, aku tidak akan mengganggumu, kalau ada masalah tolong segera hubungi aku."

"Hm, aku akan menutup teleponnya sekarang." Jawab Zilly malas langsung memutuskan sambungan tanpa menunggu tanggapan dari pihak lain.

"Siapa?" Sesosok laki-laki bertubuh jangkung muncul disampingnya, membuat Zilly terkesiap dan hampir saja melemparkan ponselnya karena terkejut. "Kekasihmu?" Tanya Jehan mengambil tempat kosong disamping Zilly.

Ekspresi Zilly segera berubah menjadi marah. Dia menatap orang itu dengan tatapan penuh permusuhan. Dibandingkan dengan tatapan yang Zilly tujukan padanya terakhir kali, Jehan dapat menyadari perbedaan tersebut. Namun Jehan tidak merasa terintimidasi sama sekali, wajahnya tampak tenang seolah mereka adalah teman.

"Apa yang kamu inginkan?" Tanya Zilly tanpa berbasa-basi.

"Bagaimana kalau kita makan, aku sedikit lapar."

Mendengar kata-kata Jehan, Zilly tak bisa menahan diri untuk meledak lagi pada laki-laki itu. "Jehan! Aku sudah memenuhi keinginanmu untuk datang, jadi katakan apa yang ingin kamu katakan sekarang, jangan buang waktuku."

Dahi Jehan berkerut, memalingkan wajah ke danau, dia berkata: "aku ingin meneraktirmu sebagai imbalan karena telah membantuku merawat putraku."

Zilly berdecih, nada suaranya dingin saat dia mencemooh. "Aku tidak membantumu, tetapi aku melakukan ini karena kakakku."

RISE: Terjebak Dalam Ilusi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang