Matahari sudah terik di luar sana. Gadis cantik itu masih setia dengan dengkuran halusnya.
Hingga suara deringan ponsel membangunkan dirinya.
Triiiing!
Laura terlonjak dari tidur nya, lalu mengambil ponselnya. Ia melihat ada nama Tasya yang menelponnya pagi-pagi begini.
"Halo Sya. Ada apa?"
"Bangun kebo. Pagi-pagi begini enak banget kita ngerumpi."
"Astaga. Ku kira kenapa, aku masih mengantuk. Dahlah."
"Laura! Kamu berhutang penjelasan padaku."
"Iya aku tidak lupa. Kan bisa nanti sore Sya. Aku mau lanjut tidur."
"Tidak bisa! Aku kesana 5 menit lagi." Ucap Tasya final.
Laura menggeram kesal, sahabatnya itu emang paling tahu soal mengganggu waktunya.
"Sya, kamu tidak ada kegiatan lain apa?"
"Kamu lupa aku pengangguran. Eh kita maksudnya." Ujar Tasya dengan kekehannya.
Laura paling tidak bisa melarang tingkah laku sahabatnya itu. Karena kalau sudah ia melarang, maka Tasya akan tetap memaksa.
"Ya. Daripada bergosip mending kita berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan lagi."
"Itu gampang Ra. Jangan di pikirin."
"Iya kalau kamu kan anak pengusaha kaya raya. Aku sebatang kara Sya. Ibuku sudah tiada, ayahku-"
Laura tampak menghentikan ucapannya. Jika bicara mengenai ayahnya Laura pasti akan menangis.
"Jangan sedih Ra. Aku selalu ada buat kamu," ucap Tasya yang tidak seheboh tadi.
Laura meluruhkan air matanya, ia menangisi takdir hidupnya yang sangat pelik.
Memang sekarang ia bisa mandiri, ia bisa mencari uang sendiri. Tapi perasaan yang selalu rindu di cintai sebuah keluarga sesekali membuat Laura runtuh.Mungkin jika ayahnya meninggal, ia bisa berkunjung ke makamnya. Tapi sudah hampir 10 tahun lamanya Arsenio Bart Louise, tidak ada kabar sama sekali.
Laura tidak tahu Arsenio sudah meninggal atau belum, karena insiden kecelakaan pesawat terbang yang di tumpangi ayahnya di nyatakan hilang kontak dan belum di temukan.
"Halo Ra, kamu menangis?"
Laura yang sudah menggeletakkan ponselnya di ranjang sudah tak mendengar suara Tasya. Gadis itu membungkus tubuhnya dengan selimut dan bergelung dengan air mata.
Tasya yang mengerti segera mematikan panggilannya.
"Ayah, kamu tahu. Aku tidak sekuat itu!" Ucap Laura dengan suara paraunya, ia menangis sampai sesenggukan.
Dari kecil Laura sangat manja, dan sangat dicintai kedua orangtuanya. Tapi untuk apa semua itu kalau akhirnya akan di tinggalkan.
Kala itu Margaretha Stefania ibunya adalah harapan Laura satu-satunya untuk tetap merasa kuat. Tapi sebulan setelah berita kehilangan suaminya, Margaretha memutuskan untuk bunuh diri.
Laura yang dulunya masih 13 tahun tentu tidak bisa mencerna semua kejadian di masalalunya.
Bahkan ia sempat depresi hingga bisa melihat bayang-bayang Margaretha saat mengakhiri hidupnya. Wanita itu menggantung tubuhnya di kamarnya dengan menjerat leher menggunakan tali tampar.
Laura juga sempat di rujuk ke rumah sakit dan di periksa oleh ahli psikiater atau spesialis kejiwaan.
Karena itulah saudara ayah maupun ibunya tak mau merawat Laura di karenakan takut merawat anak yang sedang terganggu kejiwaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Impotent(18+)
RomanceWARNING 21+ Harap bijak dalam membaca! ~~~ "Kita putus, kau dengar itu?!" "Kenapa?" "Karna kau impoten, Leon Vittorio Kenzie!"