1

6.8K 403 26
                                    

 "Siapa?" Agni sudah berada di kamar anak gadisnya sejak dua menit yang lalu, ia melihat putrinya sedikitpun tidak menyentuh ponsel yang terus bergetar itu. "Bintang?" tanyanya lagi.

Syifa mengangguk lemah, setiap kali melihat panggilan masuk dari sahabatnya ia tak bersemangat. Entah sudah berapa kali panggilan tersebut dilewatinya, tidak mengangkat karena tidak tahu harus berbicara apa sementara mereka sudah membahas hal yang menurut sahabatnya itu masih menjadi masalah.

"Heran Mama sama kamu, Mama sama om Noe temenan dari dulu sampai sekarang tidak pernah marahan lebih sehari. Lah kamu sudah lebih seminggu, Syifa!"

Andaikan isi kepala dan hati sama tidak akan seberat ini, dan andaikan lagi bisa memilih maka dia tidak akan berteman dengan laki-laki itu. Ralat, yang mama ketahui iya semingguan, yang dijalaninya hampir beberapa bulan belakangan ini.

Syifa juga belajar banyak dari hubungan persahabatan ibunya dengan om Noe, hingga sekarang sudah seperti adik kakak, jujur Syifa kagum. Tapi bisakah Syifa menyombongkan diri bahwa dulu dia juga tidak pernah punya masalah dengan Bintang, bisa dikatakan baru dalam lima bulan ini.

"Diangkat kenapa, kadang Bintang mau ngundang anniversary mama Ki."

Kalaupun itu benar, Syifa tidak akan datang.

"Nanti aja deh Ma."

Ada satu sikap yang sama antara Syifa dengan ibunya, adalah tidak punya keinginan menceritakan apa yang sedang dialaminya. Padahal hubungannya dengan Mama sangat baik, cuma bagian curhat selalu di skip. Lebih sering menceritakan semua hal pada Bintang selaku sahabatnya, tapi itu dulu.

"Mikirin Bintang sampai mood mu jelek."

Omelan mama tidak ditanggapi, dulu Syifa tidak pernah berpikir akan mengatakan semua hal yang terjadi, pada mama. Tapi akhir-akhir ini dia mulai memikirkannya, mungkin suatu saat nanti tempat ternyaman mencurahkan isi hati adalah mama.

"Ada masalah diselesaikan," kata mama Agni lagi. "Emangnya masalah apa sih sampe segininya?"

"Nggak Ma. Bukan masalah besar cuma salah paham saja, nanti juga baikan kok." suara Syifa lemah.

Nafsu makan, mood dan semangat benar-benar anjlok. 

Memilih tanpa dipilih itu murahan, kan? Lupakan!

"Semoga secepatnya," tutup mama Agni. Beliau yang tadinya masuk untuk menyuruh anak makan karena sejak pagi tadi Syifa tidak keluar dari kamarnya.

Syifa tidak mengaminkan harapan mamanya. Dia tidak membenci Bintang, hanya saja hubungan persahabatan mereka tidak bisa seperti dulu lagi.

Tak bersama lagi disebut mantan, digantung lalu di-ghosting istilahnya mantan gebetan, tapi ini bukan tentang mantan.

"Turun sekarang," titah mama tak lagi melihat putrinya, beliau keluar tanpa menutup pintu kamar.

Ada untungnya Syifa tidak mengisi perut, adalah kepalanya yang tak punya kemampuan berpikir dengan begitu ia tidak akan memiliki energi untuk memikirkan sahabatnya itu.

Sembilan tahun bersama, mereka melewati banyak hal. Ada hal konyol, haru hingga membahagiakan. Tak ada lagi tanya yang akan dilontarkan, janji tinggallah janji tak akan dipikirkan lagi karena hidup akan terus berlanjut ada atau tanpa dirinya.

Syifa baru turun setelah papanya masuk, kasian juga melihat orang tuanya bolak-balik naik ke kamarnya. Tapi dengan makan tenaganya akan kembali, sebenarnya siapa yang membuat diri ini kesulitan?

******

Lima bulan yang lalu....

"Akhirnya, Syifa!" sorak haru seorang laki-laki muda tepat di telinga Syifa. "Alisa, dia mau jalan sama gue!"

Itu kabar yang menyenangkan didengar Syifa. Gadis berusia 24 tahun itu tahu betul perjuangan sahabat yang mengejar wanita bernama Alisa. 

"Bagus dong, mau nembak pas jalan nanti?"

"Rencana," sahut Bintang masih dengan semangat 45.

"Perlu bantuan gue?" Syifa punya recommended Cafe untuk sahabatnya.

Bintang mengangguk antusias. Syifa paling pintar dengan urusan ini, semua teman-teman mereka yang mau jadian selalu meminta bantuan sahabatnya itu.

"Cafe Borton's, masih fresh belum banyak dijelajahi. Mereka juga punya private room buat keluarga, jadi kita pakai yang di sana saja."

"Lo atur deh, gue yakin Alisa bakal senang."

Sebelumnya Syifa bertanya lagi. "Lo udah lihat hilal kalau dia bakal nerima lo?"

Dan Bintang mengangguk dengan mantap. "Kapan tanggal resminya yang tepat?"

"Janji lo ke dia?" Syifa bertanya balik.

"Sabtu."

Dan hari ini Kamis. "Jadi lusa?" Syifa memastikan dan mulai membuat ancang-ancang. "Oke gue keep, karena gue belum kenal owner-nya jadi makan malam nanti dibatalin dulu."

"Eh mana bisa. Lo udah lama nggak masakin gue, Syifa."

"Rencananya gue mau ke sana nanti malam, tour dulu. Sambil mastiin beberapa hal." Syifa tidak perlu memohon sahabatnya itu mengerti. "Lo mau ngasih yang terbaik kan."

"Jam delapan, gue yang antar. Lo masak dulu. Siang tadi gue cuma makan Indomie." sulit menelan makanan kalau bukan masakan sahabatnya itu.

"Ya udah, makan Indomie lagi. Besok pagi gue mampir di kantor lo, bawain bekal."

"No!" bisa-bisa penyakitan kalau keseringan makan mie instan. "Masak dulu, habis tu gue nggak ganggu lagi. Deal!" Bintang memutuskan sendiri tanpa ingin bernego lagi dan pria itu pergi dari kantin tempat Syifa bekerja.

Mau tidak mau Syifa harus belanja beberapa bahan pokok makanan sebelum menuju ke apartemen Bintang. Gadis itu sudah melakukan hal ini sejak masih duduk di bangku SMA, entah bakat dari siapa Syifa kemampuan memasaknya. Meski waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor ketimbang mencoba resep di dapur setiap mengolah makanan apapun pasti diterima oleh lidah, artinya dia memang berbakat.

Dan salah satu orang yang mengakui cita rasa dari masakannya itu adalah Bintang. Untuk mereka sahabatan jadi Syifa tidak pernah menganggap dirinya tukang masak Bintang. Sama halnya dengan Bintang, pria itu juga banyak melakukan hal yang bermanfaat dalam membantu sahabatnya. Artinya timbal balik yang dilakukan atas dasar saling menghargai dan melindungi.

******

Tidak mendekor berlebihan, ruangan itu disulap indah oleh Syifa. Beberapa foto Alisa sudah menggantung dengan indah berikut potret Bintang. Rekan-rekannya butuh moment seperti ini untuk perayaan anniversary nanti, mereka akan mengenang detik, menit hingga cuaca di malam pernyataan cinta pada pujaan hati.

Teman-teman yang hadir sudah ditempat, semua keperluan pun sudah siap, kini mereka menunggu kedatangan pemeran utama.

Pintu dibuka dari luar, semua yang hadir sudah menanti dengan debar bahagia moment salah satu sahabat mereka, termasuk Syifa. saat seorang wanita masuk, Bintang menilainya.

"Kamu yang pertama meski pernyataan cintaku berulang kali engkau dengar."

Sampai di sini, semua rekan saling bertatapan dalam dia. Temaram cahaya menguntungkan situasi karena reaksi teman-teman yang hadir tidak disaksikan oleh si wanita. 

"Maaf jika terlambat membuat moment ini, tapi terima kasih sudah menjadi cinta pertama dan selama-lamanya bagiku."

Bukan hanya rekan-rekan yang hadir terkejut, Syifa sebagai sahabatnya juga terkejut. Tapi dengan profesional Syifa melanjutkan tugasnya menyalakan lampu hingga ruangan itu teramat terang. Semua bisa melihat wajah bahagia Alisa dan Bintang, tapi keduanya tidak sadar ada yang hilang dari raut wajah rekan-rekannya. 

Syifa memberi kode pada salah satu rekannya dan mereka memasang wajah palsu menyambut Alisa.

"Terimakasih sayang."

Tepuk tangan terdengar biasa, sorak-sorai juga terlalu datar dari mereka yang merasa dibohongi...tapi entahlah di telinga Bintang dan Alisa.

 





Teman tapi....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang