"Terkadang perlu merasa sakit untuk bisa disebut manusia".
-Abellia Bianca Rosa."Tuhan tidak pernah salah memilih hati untuk di jatuhi".
-Ardhan Revanzo Wardana.Sudah beberapa hari berlalu, namun Abel tidak kunjung siuman juga. Ardhan yang setiap pulang sekolah selalu menjenguknya dan bercerita hal hal yang dia alami pada Abel yang masih terbujur di ranjang rumah sakit. Hari ini hujan deras beserta angin yang lumayan kencang melanda, Ardhan yang berniat membawakan sebuket bunga untuk Abel tapi dia terpaksa harus berteduh dulu menunggu hujan reda.
Sementara di rumah sakit, Alvan datang membawakan buket bunga mawar dan beberapa parsel. Tidak ada yang tahu jika selama ini Alvan juga sering berkunjung ke rumah sakit tanpa sepengetahuan orang orang. Bahkan ketika Ardhan tidak bisa menemani Abel sampai pagi tiba, Alvan selalu menunggu dan duduk di sebelah ranjang Abel sembari menatap wajah pucat yang dulu pernah membuatnya tertawa lepas.
Alvan masih duduk di kursi seperti biasa menatap wajah Abel yang masih belum sadar. "Ayo bangun, gue kangen" gumam Alvan lalu menggenggam tangan Abel dan mengusapnya sayang.
Mata yang lama tertutup itu perlahan terbuka, menatap langit langit putih rumah sakit yang masih remang remang. Kepalanya berdenyut karena baru sadarkan diri. Netranya melirik ke sebelah kanan, terlihat laki laki tidak asing yang sedang menggenggam tangannya, laki laki yang memberikan bekas luka di hatinya yang tidak akan pernah bisa dia maafkan.
"Bel? Abel?!" Alvan yang sadar saat Abel sudah siuman langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya.
"Nyonya Abel memang sudah sadarkan diri, tapi dia butuh istirahat lagi, jangan sampai terkena guncangan yang berlebihan" Alvan mengangguk paham lalu kembali duduk di sebelah Abel.
"Gue bersyukur, bener bener bersyukur lihat lo sadar lagi" Abel masih menatap wajah yang terlihat memerah menahan gejolak perasaan sedih bercampur bahagia, netra coklat yang memerah menahan air mata.
"Makasih, makasih udah mau sadar lagi" Alvan mencium punggung tangan Abel menangis tersedu yang terdengar sangat menyakitkan di telinga Abel.
Di luar ruangan, Ardhan sedang terpaku melihat Alvan yang menangis sembari menggenggam tangan Abel. Begitupun Damian dan Kenan yang melihatnya. Mereka terdiam mendengar suara isakan tangis Alvan yang bisa di dengar dari luar ruangan. "Kita kasih mereka waktu" kata Ardhan lalu berjalan pergi.
"Bel, gue tahu kesalahan gue gak akan bisa di maafin, gue gak akan pernah minta pengampunan dari lo, tapi..." Alvan mengatur nafasnya agar bisa berbicara dengan lancar. "Tapi tolong biarin gue jaga lo" Abel hanya diam lalu menatap jendela yang tirainya tertutup. Alvan langsung berdiri membuka tirai itu.
"Langitnya bagus ya" Entahlah, senyum itu benar benar mampu membuat Abel terpaku.
***
Laju mobil Alvan benar benar nyaris di luar kendali. Dia membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi karena Alfa meminta untuk segera pulang. Mobil BMW berwarna hitam itu memasuki area rumah yang berpagar hitam. "Pa?!" Panggil Alvan berjalan mendekati Alfa yang berdiri di teras.
"Ada Yessika" kata Alfa lalu berjalan ke taman samping. Alvan menghela nafas, dia benar benar lelah hari ini, tapi melihat Abel sudah mau menerimanya tadi membuat perasaan Alvan sedikit ringan.
"ALVAN!!" Yessika yang melihat Alvan baru saja memasuki rumah langsung berhamburan memeluknya. "Aku kangen" Alvan tersenyum mengusap rambut tunangannya itu.
"Udah makan?" Yessika menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya. "Mau keluar cari makan?" Yessika mengangguk antusias.
Keduanya tampak serasi dengan warna baju yang senada, Alvan memilih restoran yang biasa dia datangi bersama Yessika. "Kamu dari mana akhir akhir ini, jarang banget masuk sekolah" Alvan tersenyum. "Ada urusan kantor" Yah, Yessika hanya bisa percaya. Toh masalah terbesarnya Abel sedang terbaring di rumah sakit.
"Kakak gak ketemu sama Abel kan?" Alvan menggeleng. "Buat apa ketemu sama orang kaya dia" sahut Alvan seolah tidak peduli.
"Aku mau kita terus gini ya, bisa kan?" Alvan selalu menuruti permintaan gadisnya. Kalian tahu bukan cinta memang membuat bodoh nyerempet ke tolol.
Ponsel Alvan berdering membuatnya harus bilang pada Yessika untuk mengangkatnya.
"Kenapa?".
"Abel nyariin lo" itu telefon dari Damian yang masih berjaga di rumah sakit.
"Sekarang gue lagi sama Yessika".
"Terserah lo juga, gue cuma ngasih tau" panggilan itu langsung terputus.
"Siapa?" Tanya Yessika begitu Alvan kembali.
"Urusan kantor" sahut Alvan sedikit dingin.
Makan bersama hari ini sudah selesai. Alvan mengantarkan Yessika pulang sebelum mampir ke rumah sakit. Ruangan Abel masih kosong, tapi gadis itu sudah terlihat bisa duduk dengan wajah yang masih memperhatikan jendela. "Bel?" Panggil Alvan membuat Abel menatapnya dengan senyum sumringah.
"Kangen ya?" Goda Alvan membuat Abel geli sendiri.
"Mau jalan jalan ya?" Tanya Alvan lagi lalu duduk di kursi sebelah Abel. "Iya, langitnya cantik hari ini" ucapnya menatap langit lagi.
"Kamu lebih cantik" Abel terkesiap lalu menatap tangannya. "Kakak pasti capek ya? Maaf ya..-".
"Aku kesini buat kamu" Alvan menggenggam tangan Abel. "Mau makan apel?" Abel hanya mengangguk.
"Gimana? Masih pusing?" Tanya Alvan mengupas dengan telaten apel di tangannya dan menyuapi Abel. "Udah enggak".
"Besok mau jalan jalan keluar?" Tawar Alvan membuat Abel berbinar. "Boleh ya?".
"Emangnya apa yang gak boleh buat kamu, janji habis ini sembuh oke?" Abel mengangguk senang. Alvan memang yang terburuk tapi dia juga yang terbaik. Ardhan menatap kedua manusia itu yang terlihat bahagia. Mereka seperti dua orang kekasih yang sudah lama tidak bertemu.
"Dhan?" Damian menepuk bahu Ardhan membuat laki laki itu tersadar dari lamunannya.
"Sorry, gimana Dam?" Damian tersenyum tipis. "Ayolah ngopi, anak anak di kantin rumah sakit" Ardhan tersenyum lalu keduanya pergi.
Alvan menatap Abel yang terlihat sudah mengantuk. "Tidur gih, gue nyanyiin" Abel mengangguk lalu tidur menatap Alvan yang masih setia menggenggam tangannya yang dingin.
Alvan mulai bernyanyi dengan suara yang dapat menghipnotis Abel masuk ke dalam mimpi. Melihat gadis itu sudah terlelap Alvan ikut tidur bertumpuan lengan tangan sembari menatap Abel. "Gue janji, gue akan selalu ada di samping lo" gumam Alvan mulai ikut terlelap.
"gak kalo gue bilang si Alvan psycho?" Celetuk Kenan sambil meminum minuman bersoda di tangannya. "Gak sih".
"Ya lo lihat aja tingkahnya, kemarin udah kaya jijik, jijay, ewh, najong trulala sama si Abel, sekarang malah bucin" cibir Damian meminum kopinya.
"Kaya otak lo, gak pernah bener" Arjuna berbicara. "Muka lo tuh gak pernah bener" sungut Damian nyolot.
"Si babi, eh Dhan? Diem mulu sariawan?" Bastian menyenggol lengan Damian.
"Enggak, gue cuma kaget pas awal lihat Alvan sebegitunya ke Abel, padahal..-".
"Manusia emang segampang itu berubah, jangan kaget" Ardhan mengangguk setuju.
"Semoga aja dia beneran berubah, capek gue ladeninnya" celetuk Kenan asal.
Jangan lupa vote+komen+follow mimin bagi yang belum💗.
Thx everyone 💗💗.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALVANZO [ON GOING]
Teen Fiction[𝙁𝙊𝙇𝙇𝙊𝙒 𝙎𝙀𝘽𝙀𝙇𝙐𝙈 𝙈𝙀𝙈𝘽𝘼𝘾𝘼 𝘾𝙀𝙍𝙄𝙏𝘼 𝙎𝘼𝙔𝘼] ⚠️ DON'T COPY MY STORY ⚠️ sekuel dari Alfarez. SMA Gemilang merupakan sekolah elit dengan fasilitas yang cukup lengkap untuk para siswa siswinya. mulai dari ruang ber-AC, asrama, dan...