[TWG ] : Prolog

61.8K 2.4K 130
                                    

"Sudah satu jam, Claire."

Hani berkata nyaris berbisik. Membuat Claire berhenti mengetuk-ngetuk dengkul dengan jemarinya. Sepasang mata indahnya kemudian terbuka, memandang pintu lobi sebuah hotel—tempat ia bertemu seseorang yang Papanya katakan akan menjadi calon suaminya.

Pffttt ... calon suami? Itu adalah lelucon terlucu yang Claire dengar hari ini.

"Dia belum keluar juga?"

"Kayaknya yang satu ini lumayan keras kepala," komentar Hani yang ditanggapi oleh senyum tenang oleh Claire.

"He is," Claire menurunkan kakinya yang menyilang. Meminta Bagas—manajernya yang berada di balik kemudi mematikan musik lalu menjentikkan jari, sehingga Hani cekatan mengambil minibag Prada, kemudian mengasurkannya pada Claire.

"Lo mau ditunggu atau ..."

"Kalian bisa balik duluan." Claire memotong.

Begitu selesai merapikan rambut panjangnya, ia pun menoleh, tersenyum bak malaikat baik hati. "Pasti capek ngikutin gue seharian ini, kan?" katanya sembari meletakkan tangan di dada, memberi gesture parhatian palsu.

Hani dan Bagas saling lirik lewat kaca spion dalam mobil. Alih-alih merasa lega dan ingin menghujani Claire dengan doa-doa tulus. Keduanya malah ngeri sampai meringis. Seorang Claire Davina Salim bukan wanita baik hati yang akan memikirkan kesehatan manajer dan asistennya. Dibalik kebaikannya, pasti tersimpan rencana yang tak disangka.

Namun apapun itu. Selama rencana Claire tidak melibatkan mereka. Hani dan Bagas tak perlu kepo. Suasana hati Claire sedang baik. Artinya hari ini mereka bisa tidur dengan nyenyak.

"Terus gue harus bilang apa sama Pak Bas kalau dia nanyain kenapa lo nggak kami yang antar pulang?" Hani menyergah ketika Claire turun dari mobil.

Claire berbalik. Menjawab singkat. "Baskara urusan gue." Lantas memasang kacamatanya dengan penuh percaya diri.

Dibaluti mini dress koleksi fashion Cloe. Claire melangkah pasti memasuki restoran setelah ia keluar dari lift. Kecantikan seorang Claire Davina Salim memang membutakan mata. Pelayan restoran yang membukakan pintu untuknya tak berkedip saat mendapat kesempatan memandangi wajah Claire dalam jarak dekat. Matanya mengerjap terpesona, bak baru saja melihat bidadari turun ke bumi.

Claire yang sudah terbiasa dengan reaksi itu tidak terlalu peduli. Matanya mengitari penjuru restoran yang membuat sang pelayan tersadar dari keterpesonaanya.

"Atas nama siapa, Mbak?" suara pelayan itu bergetar ketika bertanya. Saking gugupnya.

Claire menoleh, menyebabkan surai coklat panjangnya begoyang indah. "Arsaka."

Right. Arsaka Alexander Winata adalah pria kesekian yang dijodohkan dengannya. Ini bukan pertama kalinya Claire dipaksa melakukan kencan buta bodoh ini. Diumur yang sudah menginjak angka dua puluh delapan tahun—desakan untuk menikah terus mendatanginya. Meskipun tidak memaksa. Tetap saja Claire muak. Dia tidak akan menyerahkan hidupnya dalam ikatan pernikahan. Claire tidak akan membiarkan kebebasannya direnggut dan diperbudak oleh laki-laki hanya karena label 'istri'?

Meskipun orang itu Arsaka Alexander Winata sekalipun. Mimpi siang bolong para cewek-cewek yang mengidamkan suami kaya raya dengan wajah rupawan.

Sang pelayan mengantar Claire melewati beberapa meja menunju private room. Ketika pintu dibuka, yang pertama Claire lakukan adalah menahan pikirannya yang tiba-tiba langsung terbayang kilasan-kilasan lama saat melihat punggung tegap milik Saka yang membelakanginya.

Arsaka Alexander Winata berdiri dengan gagah menghadap tembok kaca yang memperlihatkan pemandangan Jakarta di sore hari ini. Penampilan Saka yang formal dengan kemeja putih dibaluti jas abu-abu menambah kesan kaku dalam dirinya. Samar-samar Claire mendengar suara pria itu bicara dengan seseorang melalui telpon.

The Wedding GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang