Kepiawaian sang DJ memainkan musik tak membuat Claire Davina Salim tergerak turun ke dancefloor, sebab cairan vodka di tangannya lebih ampuh dalam menangani kemelut yang tengah ia rasakan. Meskipun tak sepenuhnya, at least, kepalanya terasa lebih ringan setelah cairan itu melewati kerongkongannya.
Dering ponsel yang entah keberapa kali mengaung tidak Claire hiraukan. Saat ini, dia hanya ingin menenangkan diri sekaligus beristirhat setelah tubuhnya dipaksa mengikuti schedule yang mencekik. Namun yang paling mengganggu pikirannya sekarang adalah pertemuannya dengan Saka seminggu yang lalu.
"Kamu terlambat satu jam," Saka membalas sapaan Claire dengan nada menyudutkan. Sungguh. Claire tidak kaget. Begitulah Saka.
"Gue nggak nyuruh lo nunggu, anyway," balas Claire.
Saka berdeham. Lantas mengajak Claire duduk.
Di dalam ruangan yang cukup luas itu mereka berusaha mendominasi. Bukan lewat perdebatan sengit. Namun tatapan mata yang tak saling mengalihkan. Yang duluan berpaling, berarti kalah. Seolah-olah begitulah peraturannya.
"Kamu pasti sudah tahu tujuan pertemuan kita hari ini." Saka memulai. Tanpa basa-basi.
"Yeah," Claire mengangguk tenang. Berkata malas. "Gue lagi bosan dan ingin membuang waktu gue buat pertemuan bodoh ini."
"Saking bosannya kamu sampai bersedia menunggu satu jam di parkiran hanya untuk membuat saya menanti kedatangan kamu, ya?" Saka mulanya tidak ingin terkonfrontasi. Cuma sulit karena Claire selalu berhasil memancingnya. "Kamu nggak berubah, Claire."
"Nggak seperti lo yang banyak berubah, Saka." Claire melipat kakinya. Menautkan jemarinya sembari mencondongkan badan ke depan. "Apa tipe cewek idaman lo udah ganti sampai lo bersedia dijodohkan dengan gue?"
"Saya tidak punya pilihan."
Claire tertawa mendengarnya. Seorang Saka si pengontrol ini tidak punya pilihan? Bah, terlalu banyak lelucon yang ia dengar hari ini.
"Dan saya yakin kamu juga begitu," Saka melanjutkanya. Menghentikan tawa Claire. Saka tak mungkin bicara begitu bila tak menyimpan sesuatu.
"What are you going to say?" tanya Claire awas.
"We're getting married."
Claire menyugar rambutnya. Mendadak suhu ruangan terasa panas akibat dadanya kini bergemuruh oleh rasa kesal. "Gue nggak akan menikah sama lo. Lebih tepatnya, gue nggak ada keinginan untuk menikah dengan siapapun."
"Kamu akan berubah pikiran."
"Percaya diri banget," Claire mendengus. Melipat tangannya.
Dipandanginya Saka lekat-lekat. Dia masih ingat pertemuan terakhir mereka yang nggak bisa dikatakan baik. Setelah kejadian itu, mereka berdua tak pernah lagi berkomunikasi. Claire terlalu sibuk dengan kehidupannya sebagai aktris lalu Saka yang juga mempunyai beban untuk mengembangkan perusahaanya.
Meskipun kerap kali berpapasan di suatu acara. Claire dan Saka bersikap seperti orang yang tidak dekat. Padahal mereka berdua paling tahu betapa dekat dan intimnya kebersamaan yang pernah mereka lalui.
Sebetulnya pertemuan ini sesuatu yang tak pernah Claire duga. Ketika Papa tiba-tiba menelpon dan memintanya breakfast di rumah—Claire sama sekali tidak punya pikiran kalau cowok yang dijodohkan dengannya adalah Saka.
"Papa nggak mau kamu melakukan sesuatu yang memalukan lagi, Claire." Tekan Papanya. "Perlakukan Saka dengan baik. Papa butuh dia untuk proyek Papa kali ini."
"Apa lo pikir gue bakal setuju karena bokap gue butuh lo buat proyeknya?" Claire mengambil kesimpulan begitu teringat pembicaraannya dengan sang ayah tadi pagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/333421120-288-k226795.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Games
Romance[COMPLETED] Claire Davina Salim definisi dari keegoisan itu sendiri. Ia tidak ingin dimiliki oleh siapapun. Menikah tidak pernah menjadi tujuah hidupnya, Sampai pria bernama Arsaka Alexander Winata melamarnya.