Bagian Ketigabelas

5.7K 353 0
                                    

Gingga duduk di kursi dengan tampangnya yang sangat kacau. Pemandangan beberapa menit yang lalu seperti kaset kusut yang terus saja berulang-ulang di pikirannya.

Pangeran impiannya ternyata memang tidak sama sekali memandangnya ada. Dari sekian banyak perempuan yang ada di dunia, kenapa harus Alina. Perempuan yang sudah pernah membuat Dave hancur dan seperti zombie.

Gingga menutup mulutnya karena dia takut isakannya terdengar orang lain. Apalagi dengan pasangan di dalam.

"Kamu Gingga kan?" sebuah suara membuat Gingga mau tak mau mendongak. Dilihatnya Alina sedang berdiri di samping meja kerjanya. Terlebih, di belakang Alina ada Dave.

Gingga langsung berdiri dan merapikan penampilannya yang kusut karena habis menangis.

"Kamu masih kenal aku kan?" tanya Alina sekali lagi.

Gingga mengangguk kikuk sambil tersenyum.

"Kamu pucat banget. Kamu sakit?"

"Nggak kok. Aku baik-baik saja. Kamu ada urusan disini?"

Hampir dipastikan Gingga bodoh bertanya seperti itu pada Alina.
Jelas-jelas kan dia menemui pacarnya yang tak lain adalah Dave, bosnya. Catat, bosnya!

"Aku habis antar makan siang buat Dave. Hmm kalau begitu aku pamit ya. Sampai jumpa Gingga." Alina berjalan meninggalkan Gingga.

Matanya tidak lepas memandang Alina dengan tatapan iri. Dia benar-benar jauh jika disandingkan dengan Alina. Bagaikan bumi dan langit.

"Kamu baik-baik saja? Silakan masuk ke ruang saya." perintah Dave.

Gingga mengangguk dan mengekor di belakang. "Ini dokumen Indo Group yang bapak minta." Gingga memberikan map biru itu pada Dave.

Dave memeriksa dengan seksama dokumen tersebut. "Pak, kalau boleh saya minta izin pulang cepat karena ada urusan." kata Gingga. Mata Dave dengan cepat berpindah dari dokumen ke manik mata Gingga.

"Kamu masih sakit?" tanya Dave.

"Nggak pak. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan."

"Urusan penting apa yang membuat kamu ingin cepat pulang?" Dave menaruh kedua tangannya di atas meja sambil menopang dagunya.

"Maaf saya nggak bisa menjelaskan, pak."

Saking gugupnya, Gingga hanya mengulin ujung blouse yang di pakai.

"Kalau saya nggak memberi kamu izin bagaimana?" tanya Dave dengan serius.

Gingga menghela nafasnya dengan pelan. "Kalau nggak boleh, ya nggak apa-apa kok pak. Saya permisi."

Baru satu langkah, Dave memanggilnya kembali. "Saya izinkan kamu."

"Terima kasih, pak."

◆◆

Gingga menunggu seseorang dengan tenang di sudut restoran. Sesekali dia melihat ke pintu masuk dan sesekali juga dia melirik jam di tangan sebelah kanannya.

Saat pintu restoran terbuka, wajah Gingga tersenyum. Dia berdiri dan menghampiri orang yang sejak tadi dia tunggu.

"Maaf ya sayang oma terlambat." kata oma.

Oma menelpon Gingga tadi pagi dan meminta bertemu di restoran ini.

"Nggak apa-apa kok oma. Ada apa oma nyuruh aku ketemu disini?" tanya Gingga sesaat membantu oma duduk di kursi seberangnya.

"Oma khawatir sama kamu Gingga. Maafin oma yang maksa kamu ke Bogor dan akhirnya kamu sama Dave mengalami kecelakaan." oma mengusap punggung tangan Gingga.

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang