Bagian Ketiga

8K 403 3
                                    

Dibalik kesulitan selalu ada jalan. Sepertinya kata-kata itu cocok menggambarkan situasi saat ini. Setelah copet tadi berhasil dilumpuhkan dengan sepatu heels ku, ternyata nenek pemilik tas limited edition itu mengantarkanku pulang dengan taksi karena mobilnya harus masuk ke bengkel. Ternyata nenek korban kecopetan itu namanya oma Dien. Beliau baik sekali padaku, sebenarnya dia ingin mengajakku makan sebagai rasa terima kasihnya namun aku tolak karena alasan aku ikhlas dan tidak meminta apa-apa dari oma Dien.

"Nanti ada lapangan belok kanan ya, pak." kataku pada supir taksi. Si supir taksi mengangguk paham."Terima kasih atas tumpangannya, oma. Semoga kita ketemu lagi." kataku pada oma Dien setelah taksi berhenti tepat di depan rumah.

"Harusnya oma yang bilang terima kasih ke kamu nak. Kalo nggak ada kamu pasti tas kesayangan oma sudah hilang." jawab oma Dien.

Aku turun dari taksi dan masih mematung sampai taksi itu menghilang di ujung gang. Sedikit heran dengan oma Dien, beliau usianya sudah 70an namun masih terlihat cantik dan modis. Bandingkan denganku, gadis berusia 26 tahun yang nampak kucel dan tidak terawat. Daripada aku membanding-bandingkan diri sendiri, lebih baik aku masuk.

Rupanya motor Satria sudah terpajang cantik di halaman. Awas saja dia!

"Assalamualaikum!" salamku. Aneh Satria tidak menjawab salamku. Biasanya anak itu lagi asyik main PS di ruang tengah. Tapi disana tidak ada batang hidungnya. Kemana dia.

Samar-samar aku mendengar Satria sedang mengobrol dengan seseorang di kamarnya. Pelan-pelan aku menaiki tangga dan menuju kamarnya yang terletak persis di sebelah kamarku.

"Wanjirr hot banget gila!" seru Satria. Dia bicara dengan siapa? Astaga apa kenapa suara Satria seperti orang yang....mendesah. Aku mendaratkan telinga kananku di pintu yang menjulang itu agar bisa mendengar lebih jelas. Karena semakin penasaran, aku bahkan sampai memeluk pintu layaknya seekor cicak. Jangan-jangan dia lagi berbuat mesum. Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau papa sampai tahu, habis dia digantung di tiang jemuran.

"Aawww.." aku tersungkur di lantai dengan posisi mencium lantai. Tepat diwajahku, sepasang kaki menggoyang-goyangkan kedua jempolnya. Sungguh nyeri telapak tanganku saat mendarat di lantai.

Aku mendongak untuk tahu siapa orang sialan yang membuka pintu asal. "Kamu? Ngapain di kamar di Satria? Kalian mesum ya?" tembakku pada Bima. Yes, dia lagi.

Bima mengacak-acak rambutku dengan gemas. Melihat wajahnya membuatku ingin sekali meninjunya. "Cuci otakmu biar nggak kotor." katanya.

Dia santai duduk di kursi samping meja belajar Satria sedangkan aku masih meringis menahan nyeri di depan pintu.

"Tadi aku dengar kamu mendesah-desah sambil bilang hot gitu. Jijik tau!" Satria bingung dengan apa yang aku bicarakan.

"Mbak Gingga, aku sama kak Bima lagi asyik main PS sambil makan soto. Pedes banget sotonya mbak. Sudah gitu panas lagi. Nih masih ada, mbak mau?"

Wajahku tiba-tiba memerah menahan malu. Aku pastikan setelah ini Bima akan mengejekku habis-habisan. Benar saja dia melirikku dengan evil smirk andalannya.

**

Sehabis mandi, aku lebih memilih mengurung diri di kamar sambil berselanjar di dunia maya. Apalagi ada Bima aku malas untuk menemuinya setelah kejadian tadi sore.

Mama dan papa pun belum pulang kerja. Rupanya sudah hampir maghrib dan pantas saja perutku ini sudah meraung-raung karena lapar tapi mau bagaimana lagi selama Bima masih berkeliaran di rumahku, aku tidak mau keluar dari kamar.

Tok..tok..tok..

"Mbak Gingga, aku lapar. Masakin dong atau nggak minta uang deh buat beli nasi goreng di depan." ucap Satria.

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang