Gingga duduk termenung di bawah langit malam yang nampak bercahaya sambil memandang hamparan danau yang bersinar berkat pantulan bintang-bintang.
Inilah yang dimaksud Dave sebagai tempat yang dari dulu ingin dia datangi. Dave duduk tepat di sebelah Gingga. Dari mereka, nggak ada satupun yang berminat membuka percakapan terlebih dulu.
Hanya suara gemercik air karena dilempari batu oleh Gingga yang menjadi theme song untuk suasana awkward ini. "Berhentilah memukul-mukul air dengan batu. Kasihan" kata Dave.
"Apa?" selalu saja Gingga memasang wajah bodohnya kalau dapat pertanyaan serangan mendadak.
Tapi sepertinya Dave sudah sangat paham akan tingkah Gingga yang satu itu. Nggak seperti dulu yang mengomel kalau gadis itu memasang wajah bodohnya. Kali ini dia nampak sabar."Aku-"
"Hmm..gimana hubunganmu sama Alina? Baik-baik saja kan? Kalian berminat untuk menikah? Kapan? Jangan lupa buat-" cerocos Gingga namun bibirnya terasa kaku saat Dave mengintrupsinya. Bukan dengan sanggahan melainkan dengan bibir seksinya.
Ciuman mereka bisa dibilang lumayan 'hot' karena disini Dave lah yang dominan. Gingga belum membalas karena dia pun masih shock. Ini kali pertamanya laki-laki yang begitu dicintainya mencium bibirnya.
Dave menggerakkan lidahnya agar Gingga mau membuka mulutnya. Persetan dengan perjanjian itu. Sekali saja dia berkhianat. Dan akhirnya Gingga membalas ciuman Dave.
Namun nggak lama. Setelah itu dia mendorong tubuh Dave. Dari matanya saja terlihat kalau Dave sangat kecewa.
"Maaf..kita..nggak..seharusnya.. melakukan..ini, Dave" kata Gingga dengan nafas terengah. Mata Dave melebar.
"Kasih saya satu alasan kenapa kita nggak seharusnya melakukan ciuman tadi?" kata Dave menantang. Gingga melempar pandangannya ke arah danau kembali. Beberapa detik yang lalu dia ingat betul saat mencicipi manis dan legitnya bibir impiannya itu.
"Aku harus pulang, kepalaku sakit. Sepertinya tidur bisa menghilangkannya" Gingga mengalihkan topik pembicaraannya lalu beranjak dari tempatnya duduk.
Kalau saja dia bisa melanggar janji itu, dia akan melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman dengan Dave. Tapi nggak harus yang terlalu vulgar juga. Begitu pikirnya.
◆◆
Bima POV
"Terus gue mesti ngelakuin apa supaya Gingga mau nerima gue, Bim? Kasih solusi kek ke gue" geram sepupu sialanku. Dave. Sudah setengah jam dia di ruanganku dan belum berminat sama sekali untuk pergi dari sini.
"Emang lo udah nyatain perasaan sama dia?" tanyaku. Dave menggeleng lemah. Aku pun tertawa melihatnya. "Lo tau, gue juga memahami perasaan Gingga. Lo nggak sepenuhnya single, bro. Setiap hari ada Alina yang terus saja ngikutin lo kayak bayangan tau nggak? Ya gimana Gingga nggak mau lo deketin"
Awas saja kalau sampai dia nggak ngerti dengan apa yang aku bicarakan.
"Gue sama Alina udah nggak mungkin bersama lagi, Bim. It's all over" jawabnya."Gue nggak ikut-ikutan lah. Lo selesaikan sendiri. Jangan libatkan gue dalam kisah cinta segitiga sama sisi ini lagi. Sekarang bukan gue-Gingga-lo lagi. Tapi Gingga-lo-Alina"
Dave mati kutu setelah aku bilang seperti itu. Semuanya sudah clear sekarang. Tinggal mereka yang menentukan jalan hidup mereka. Tapi, kalau Dave masih saja menyia-nyiakan Gingga aku berada di barisan paling depan melawan dia. Nggak peduli dia itu sepupuku atau bukan.
Gadis itu harus aku lindungi. Apapun caranya.
Handphoneku bergetar. Sebuah pesan aku terima dari Gingga.Bisa kita ketemu sebentar?
Dahiku sedikit berkerut. Tumben sekali bocah itu meminta bertemu denganku.
Segera aku ketik balasan untuknya.Oke, kita ketemu di Starbucks yang dekat kantor kamu. See u Gingga-ku :*
Send to Gingga. Agak sedikit bergidik saat aku mengetik itu untuknya. "Kenapa lo senyam senyum sendiri? Nggak waras lo" ledek Dave.
Astaga, aku lupa kalau masih ada dia di ruanganku."Nggak apa-apa kok. Gue cabut duluan ya. Seseorang lagi menunggu pangeran berkudanya datang. Bye sepupuku tersayang" kataku sambil mencuil dagunya. Dengan kasar dia menepisnya sambil menatapku jijik
Aku lajukan mobilku ke tempat yang aku maksud. Ternyata gadis itu sudah duduk manis di sudut coffee shop itu. "Hay my princess. Sudah lama nunggu kah?" tanyaku yang membuatnya terkesiap.
Dia menggeleng lemah. Ada apa dengan dia hari ini? Nggak seperti biasanya yang selalu jutek ataupun memasang wajah sangarnya kalau bertemu denganku.
Hari ini semburat sedih tergambar jelas di wajahnya. Dia menikmati vanilla macchiato pesanannya. "Kamu mau pesan apa?" tanyanya. Aku menggeleng. Mataku terus saja melihat Gingga yang benar-benar sedikit berbeda.
"Tumben kamu ngajak aku ketemuan. Ada apa?"
"Aku mau kasih kabar bahagia buat kamu, Bim" raut wajahnya seketika berbinar. Tapi aku yakin kalau itu hanya topeng untuk menutupi keadaan hatinya sekarang. "Aku dapat beasiswa dari bu Tia untuk melanjutkan S2 ku loh!"
Dia benar-benar pandai berakting. "Apa yang lagi kamu rasakan, Gingga?" akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Dia sedikit bingung dengan pertanyaanku tadi.
Tapi dengan cepat dia memasang lagi wajahnya yang berbinar. "Yang aku rasain..ya bahagia lah. Kamu tau, nggak tanggung-tanggung bu Tia ngasih beasiswa ke Colombia University. Wow kampus impian orang-orang di seluruh dunia" Gingga merentangkan kedua tangannya seolah-olah dia memang lagi berimajinasi sungguhan.
"Sudahlah, kamu nggak pandai berakting. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku kan? Apa itu?"
Gingga menggigiti bibir bawahnya. Aku lihat matanya mulai berkaca-kaca. Aku yakin sesuatu sedang terjadi padanya.
♥♥♥♥♥
Tanpa mereka sadari, Dave melihat adegan yang dipertontonkan Bima dan Gingga.
Tangan gadis pujaannya itu digenggam erat Bima."Apa yang mereka bicarakan sepertinya serius. Sial, aku nggak bisa mendengarnya dari sini. Sepertinya Gingga menangis karena aku lihat bahunya bergetar dan dia hanya tertunduk" batin Dave. Secara nggak sadar, handphonenya sudah dia remas hingga terbelah dua.
"Dengarin aku, aku melakukan itu karena aku nggak ingin melihat seorang ibu dibenci anaknya sendiri. Meskipun dia bukan anak kandungnya bu Tia. Toh, mereka punya memori masa lalu jadi nggak susah untuk memulai lagi semuanya dari awal, Bim.." Gingga tertunduk sambil terisak.
"Kamu nggak harus juga mengorbankan perasaanmu sendiri. Apa kamu bodoh sampai mau melakukan itu, huh?" Bima memaki Gingga. Bukan, dia hanya memaki kebodohan Gingga yang dengan mudahnya melepas Dave untuk Alina.
Gingga tersenyum hambar. Kedua matanya sudah sangat merah dan basah. "Kamu tau, ada saatnya manusia merasakan lelah. Dan aku sudah sampai di titik itu. Aku mohon mengerti posisiku, Bim"
Bima menarik kedua tangan Gingga lalu menciuminya. "Aku nggak akan pernah bosan untuk mendampingi kamu, Gingga"
"Mau lakukan satu hal lagi untukku?" tanya Gingga.
Bima menaikkan alisnya sebelah. "Apa?"
Gingga melirik ke arah Dave sebentar lalu kembali menatap Bima. "Cium aku"
-----
Happy reading!!
Vomment please..makasih buat yang udah ngasih jejaknya. Makasih binggow ya, say *kedip kedip manja*Nggak kuat pisah lama lama dari kalian. Hehehe makanya aku bawain chapter ke-25 buat kalian..
Lophe,
221092♥
KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga Sama Sisi
Romantizm"Aku suka sama bossku sendiri itu wajar kan? Dia ganteng, charming, bijaksana tapi ya gitu dia nggak suka sama cewek" -Ratu Gingga- "Aku bukannya gay, tapi aku nggak segampang itu jatuh cinta" -Dave Maharaja- "Aku bukannya playboy, aku hanya lagi m...