Bagian Ketigapuluhdua

5.5K 320 17
                                    

"Jadi kamu mantan sekretaris papa saya?" tanya Bima pada Sally yang tengah mengaduk-aduk vanilla latte pesanannya. Sally nampak salah tingkah karena mendapat pertanyaan mendadak dari Bima.

"Hmm..ya mas. Aku dulu bekerja sama pak Dandri waktu di Kalimantan" jawab Sally gugup. Bima menyenderkan punggungnya ke sandaran bangku di coffee shop dan menghirup nafas banyak-banyak.

"Nggak usah formal banget manggilnya. Panggil saya Bima nggak perlu pake tittle 'mas' di depannya. Kesannya saya tua banget" kata Bima mengkoreksi. Sally hanya tertunduk sambil mengangguk.

"Kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bima lagi.

"Hmm..aku bekerja di sebuah toko handphone sekarang, mas-eh-Bima" Bima nampak menaikkan alisnya sebelah. Bagaimana bisa seorang yang dulunya bekerja di perusahaan pertambangan dengan jabatan sekretaris sang CEO sekarang hanya sebagai pegawai toko handphone.

Sally melirik jam yang melingkar di tangan kanan Bima, sudah jam sepuluh rupanya. Lantas dia bersiap-siap akan pulang. "Maaf, Bima kalo kamu nggak keberatan, aku pamitan dulu soalnya sudah malam. Sampaikan rasa terima kasihku kepada pak Dandri. Permisi" Sally segera bangkit dan mendorong kursi itu ke belakang.

Namun sebelum dia pergi, Bima menahan pergelangan tangannya. "Saya yang antar kamu" ujar Bima. Mata Sally yang bulat semakin membulat mendengar Bima berkata demikian.

Tanpa bisa menolak, Sally hanya mengangguk lalu mengekor di belakang Bima menuju parkiran. Suasana canggung dan sepi tercipta di antara keduanya. Sayup-sayup hanya terdengar lagu yang disetel Bima sangat kecil.

"Jelaskan tentang kamu, Sally" ucap Bima tanpa menoleh sedikitpun ke arah Sally. Gadis itu mengulin ujung dressnya saking gugupnya. Dia yakin kalau saat ini dia merasakan..love at first sight.

Bagaimana nggak, Bimatrya Yulastanto mampu membuat hatinya dag-dig-dug seperti bedug. "Kalo kamu belum siap menceritakannya, nggak apa-apa. Saya nggak maksa kok" ujar Bima lagi.

Sally merutuki kebodohannya yang menyia-nyiakan kesempatan untuk bicara banyak dengan Bima. Tapi, dia masih belum mempercayai apakah ini ilusi atau memang realita yang harus dia yakini.

"Terima kasih, Bima atas tumpangannya. Maaf aku nggak bisa mengajakmu mampir karena sudah sangat malam. Sekali lagi terima kasih" ucap Sally lembut dan nyaris tanpa suara. Bima hanya mengangguk.

Bima belum mau beranjak dari depan rumah yang di tempati Sally. Rumah yang sangat kelewat sederhana untuk seorang Sally. Sepertinya ada misi penting yang papanya sedang jalani. Namun Bima nggak tahu apa itu. Perlahan mobilnya kembali berjalan meninggalkan gang kecil tersebut.

◆◆

"Kau jahat kenape kau tak cakap kalo kau punya calon suami setampan dan secomel laki-laki di sebelah ku ini?" ledek Issa padaku. Aku mendelik kesal dengan Issa yang mulutnya nggak bisa di rem itu.

Sementara yang menjadi objek pembicaraan hanya mesem-mesem nggak jelas. Aku hanya bisa menggeram melihat Issa tanpa mau bersusah-susah melirik seseorang yang duduk di sebelahnya.

"Dia.bukan.calon.suamiku.Issabella!" balasku dengan penekanan. Aku tahu pasti laki-laki itu melotot ke arahku sekarang. Bagaimana aku tahu, karena aku merasakan tiba-tiba New York berubah menjadi gurun pasir. Panas. Hanya karena ditatap seperti itu olehnya.

Issa tertawa renyah dan dia dengan santainya mengelus lengan laki-laki itu dengan manja. "Ya sudah kalo kau tak nak, untukku saje. Macam mane?" godanya lagi.

Hilang sudah sumpah serapahku untuk Issa. Dia benar-benar mematahkan prinsipku untuk cepat-cepat melupakan kisah tak sampai yang aku alami ini. Aku melirik sekilas saat laki-laki itu--sebut dia Dave--berdehem.

"Issa, bisa aku bicara sebentar dengan calon istriku?" kata Dave. Mulutku sukses melebar dan mataku sukses menganga. Apa yang barusan dia bilang? Calon istri? Siapa? Alina? Ih..

"Tentu saje, pria tampan. Pergilah. Tapi, kau jangan macam-macam pada bestfriendku" ancam Issa dengan kedip-kedip manjanya.

Dave langsung berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Seketika aku mendongakkan wajah. "Ayo ikut aku" ajaknya. Mataku lirik sana lirik sini berharap ada siapa saja yang tiba-tiba datang menyelamatkanku dari situasi darurat ini.

"Jalan saja duluan. Aku akan mengikutimu dari belakang" jawabku ketus.

Dave menghembuskan nafasnya kasar. "Aku nggak tahu seluk beluk kampus ini. Kalo aku nyasar bagaimana?" tanya Dave dengan raut wajah dramatis.

"Aku nggak berharap kamu nyasar supaya kamu bisa segera pulang ke Indonesia" aku menghentakkan kakiku dan segera meninggalkan kafetaria.
Aku mendengar Issa dan Dave berbisik dan mereka sepertinya ber-high five bersama.

Sampailah kami di taman dekat air mancur yang masih di dalam kawasan kampus. Beberapa orang yang mengenaliku, hanya tersenyum mengira aku dan Dave sepasang kekasih. Harapan yang sulit diraih.

"Sejak kapan kamu disini?" tanyaku membuka percakapan.

"Sekitar satu minggu" jawab Dave singkat dan padat. Baiklah lebih baik kaali ini aku diam. Biarkan dia yang memulai pertanyaan kembali.

Kriiikk..krriikk..tiga menit aku menunggu dan dia nggak mengajakku bicara. Keterlaluan. "Aku capek. Lebih baik aku pulang" aku bangkit namun langkahku berhenti karena sebuah tangan besar nan hangat menarikku. Aku menoleh dan tangan Dave-lah yang menahanku.

Dia berdiri menghadap padaku tanpa melepaskan cekalannya. Tanpa aku duga-duga, dia menarikku dalam pelukannya. Tuhan, inikah rasanya bersandar di dada bidang Dave? Kalau dulu aku hanya sebatas ber-fantasi liar tapi kali ini sungguh nyata.

Dave Maharaja memelukku! Memelukku di tengah umum. Amerika, i'm in love..

♥♥♥♥♥♥

Dave POV

Gingga-ku sungguh banyak berubah. Dia bukan lagi Gingga yang sering mencari-cari perhatian padaku dengan segudang aksi konyolnya. Dia sekarang menjadi gadis yang ketus. Aku tahu dia seperti itu hanya padaku saja.

Terbukti saat beberapa laki-laki menyapanya sepanjang kafetaria, dia membalasnya dengan senyum lima jarinya.
Selain sikapnya yang berubah, aku lihat tubuhnya agak berisi. Mungkin dulu-dulu adalah efek sakit hati yang aku berikan untuknya. Aku mengerang frustasi.

Sejahat itukah dulu sikapku padanya? Apa yang akan aku katakan setelah hampir lima menit kami saling diam dengan pikiran masing-masing.

"Aku capek. Lebih baik aku pulang" lalu Gingga bangkit dan aku tarik pergelangan tangannya. Dia menoleh dan wajahnya berubah menjadi bingung.

"Aku merindukanmu, Gingga. Maaf kalo kehadiranku mengejutkanmu. Tapi aku sudah sangat hopeless menunggumu. Makanya aku meminta izin pada oma dan orang tuaku untuk menemui mu disini" kataku sambil membelai dan mencium aroma rambutnya.

Aku merasakan dadanya bergemuruh hebat seperti terkena badai tornado. Dia berusaha keras mendorongku agar melepaskan pelukanku. Aku nggak mau itu terjadi dan aku putuskan untuk semakin mengeratkan pelukanku.

"Bagaimana dengan Alina?" tanyanya.

"Sudah aku bilang, aku nggak akan pernah kembali sama dia" aku melepaskan pelukanku dan menyuruhnya duduk kembali. "Maaf kalo aku terlambat mengatakan ini padamu"

Sial, kenapa udara tiba-tiba menipis begini. Dengan sebelah alisnya terangkat, Gingga menunggu kelanjutan kata-kataku.

"Will you marry me?"

------

Terimaaaa!! Terimaaa!!! Yuhuuu...

Vomment ya say...oh ya, aku nggak bahas lebih jauh tentang Bima dan Sally ya. Hehehe..

Maaf kalo chapter sebelumnya jeleeeeekkk banget. Typo banyak yang nyempil. Maklum tanpa edit. Hahaha..
Makasih buat semua readers!!

Boleh kakak mampir di lapakku yang laen yuk. *berlagak jadi SPG*

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang