Bagian Kesebelas

5.9K 342 6
                                    

Gingga memapah tubuh yang dengan susah payah untuk mencari bantuan. Beruntung di depan sana, ada sebuah rumah rumah yang diyakini ada pemiliknya.

Gingga membantu Dave untuk duduk di bangku reyot yang ada di depan rumah itu.

"Permisi..assalamualaikum!" teriak Gingga. Berkali-kali Gingga mengucapkan salam dan mengetuk pintu namun hasilnya nihil karena tidak ada satupun orang disana.

Kemudian Gingga memapah tubuh Dave lagi mencari bantuan di tempat lain. Akhirnya kesabaran mereka berbuah manis. Di ujung sana nampak terlihat jalan raya.

"Maaf pak, dari sini naik apa ya ke terminal terdekat?" tanya Gingga pada seorang bapak-bapak yang berpapasan dengan mereka.

"Naik angkot yang hijau saja nanti langsung ke terminal." jawab bapak itu.

"Terima kasih pak."

Untung saja tidak memakan waktu lama untuk menunggu angkot yang di maksud. Dalam hening, diam-diam Dave memperhatikan Gingga.

"Maafin aku Gingga."

Mereka pun tiba di terminal. "Bos disini dulu sebentar. Aku mau beli tiket dulu." kata Gingga.

Lalu Dave menarik lengan Gingga. "Kamu ada uangnya kan? Nanti saya ganti karena dompet saya saja nggak tahu dimana." ucap Dave.

Gingga hanya mengangguk sembari tersenyum. Dia berlari menuju loket. Lumayan loket tidak begitu antri hari ini. "Tiket ke Jakarta berapa harganya pak?" tanya Gingga malu-malu.

"Enam puluh lima ribu mbak. Untuk berapa tiket?"

"Sebentar pak.." Gingga memeriksa dompet yang dia simpan di sling bagnya. Astaga uang yang di dompetnya tinggal seratus ribu. Kalau dua tiket berarti masih kurang tiga puluh ribu lagi. Dia memeriksa seluruh saku celananya tapi tidak menemukan uang sepeser pun.

◆◆

"Bos duduk disini saja. Biar bos bisa istirahat." kata Gingga menyuruh Dave untuk duduk di bangku dekat jendela dan Dave pun patuh. "Lebih baik bos tidur soalnya perjalanannya lumayan melelahkan. Sini biar aku nyanyiin nina bobo."  goda Gingga.

"Nggak usah terima kasih." ketus Dave. Gingga tersenyum sumringah karena menggoda bosnya sendiri. Tidak butuh waktu lama untuk Dave segera tertidur pulas. Kebetulan bisnya masih belum berangkat. Dengan hati-hati Gingga berdiri dari tempat duduknya dan menuju pintu keluar.

"Bang, saya titip teman saya yang pakai baju merah itu ya. Turunin dia di terminal terakhir. Ini tiketnya bang." kata Gingga sambil memberikan sebuah tiket kepada kenek bus.

"Kau kenapa nggak ikut?" tanya sang kenek dengan logat Bataknya yang khas.

"Uang saya cuma cukup buat beli satu tiket bang. Pokoknya saya mohon titip teman saya." pinta Gingga sekali lagi.

"Sudah kau ikut saja nggak usah bayar lah berhubung kau ini cantik kali."

"Nggak usah bang. Terima kasih atas tawarannya."

"Ya sudah lah. Saya berangkat dulu. Sampai jumpa gadis cantik."

Perlahan bus itu melangkah meninggalkan terminal. Gingga melambaikan tangan ke arah Dave yang tertidur pulas dengan menempel di jendela. Dengan berat hati dia menitipkan Bram pada kenek bus.

"AYO ABISSS..AYO TURUN! HATI-HATI JANGAN SAMPAI ADA BARANGNYA YANG KETINGGALAN!" teriak kenek tadi saat tiba di terminal terakhir.

Sang kenek itu menuju ke arah Dave yang masih tertidur. "Hay lay, bangun sudah sampai kita."

Dave mulai menggeliat dan terkejut melihat kenek itu bukan Gingga yang ada di sebelahnya.

"Teman saya mana? Ini dimana nih?" tanya Dave panik.

"Sabar lay. Teman kau masih di terminal Bogor. Dia cuma beli satu tiket karena uangnya nggak cukup."

Dave tidak percaya dengan omongan orang yang di sebelahnya itu. "Aku suruh dia naik gratis tapi dia nggak mau. Dia hanya menitipkan kau padaku."

Dave mengerang kesal. Dia keluarkan handphone dan akan menelpon Gingga. Shit! Dia baru ingat kalau handphone Gingga sudah dia buang saat menerima telpon dari Bima.

Apa yang harus dia katakan pada orang tua Gingga dan juga pada oma?

**

Di keadaan normal mungkin nasi uduk ditambah sambal akan menggugah selera makan Gingga. Dia sama sekali tidak nafsu untuk menyentuh makanan itu. Dia memikirkan bagaimana caranya dia pulang.

Memang sih, jarak Bogor dan Jakarta tidak terlalu jauh, tapi tetap saja dia merasa terasing di kota ini.

"Gingga." sepasang tangan yang hangat membuat Gingga berbalik. Wajahnya berbinar saat melihat Bima berada di depannya saat ini.

Reflek, dia memeluk Bima dan menangis. "Aku takut Bima. Aku takut." kata Gingga sesegukan.
Bima mengusap pelan rambut Gingga agar gadis itu merasa tenang.

Akhirnya Bima berhasil membujuk Gingga untuk ikut ke hotel. Tentu saja melewati berbagai perdebatan dan syarat yang panjang.

"Kamu mandilah dulu. Aku akan membawakanmu baju ganti." kata Bima sesaat mereka selesai check-in.
Bima pun keluar dari kamar dan Gingga masuk ke dalam kamar mandi.

Di bawah kucuran air dari shower, Gingga menangis sambil terduduk.
Dia mengingat setiap kata yang menyakitkan dari Dave.

Apakah dia harus benar-benar melupakan Dave dan meminta pada oma untuk membatalkan perjodohan itu?

"Semenjak ada kamu, hidup saya selalu sial. Mulai dijodohkan dengan oma dan sekarang..saya mesti terdampar disini berdua dengan kamu yang saya yakin nggak bisa saya andalkan."

Gingga semakin terisak dengan posisinya yang memeluk kedua kakinya dan dengan wajah yang sengaja dia tengadahkan ke atas. Apa Dave benar-benar membencinya sekarang? Lantas apa yang harus dia lakukan?

"Saya masih sangat mencintai mantan saya, Alina"

Isakan Gingga semakin tidak bisa ditahan. Dia menangis. Selama ini apakah ada yang salah dengan sikapnya? Apakah dia selalu bersikap bar-bar pada Dave?

"Setibanya saya di Jakarta, saya akan meminta sama oma untuk membatalkan perjodohan konyol ini. Terserah kalau oma nggak anggap saya cucu lagi. Itu bukan masalah besar untuk saya."

Sebelum Dave yang bicara pada oma, lebih baik dirinya lah yang akan meminta oma untuk membatalkannya. Kali ini tekadnya sudah bulat kalau Gingga tidak akan meneruskan rencana perjodohan yang dirancang oma.

"Gingga, kamu baik-baik saja kah di dalam? Halo Gingga. Satu jam kamu di dalam nanti kamu bisa sakit." teriak Bima dari luar sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi. Andai saja sikap Dave seperti sikap Bima padanya.

"Gingga buka pintunya atau aku dobrak!"

Ceklek..

Pintu kamar mandi terbuka dan Gingga hanya memakai bathrobe yang disediakan hotel. "Kamu baik-baik saya kan? Ini baju ganti buat kamu."

Gingga menerima sebungkus plastik dengan logo sebuah mall dari Bima. Dia kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian.

Bima masih memandang bingung ke arah Gingga yang hanya diam sejak tadi. Makanan yang dipesankannya pun tidak sama sekali tersentuh.Bima ikut duduk di sofa sebelah Gingga.

"Aku khawatir sama kamu.." Bima menghela nafas dalam-dalam.

"Saat aku tahu kamu pergi mendadak sama Dave, aku berusaha mencarimu. Aku melacak sinyal dari handphone kamu dan langsung pergi kemari. Di tengah jalan, aku melihat kerumunan orang yang memadati pinggiran jurang. Aku shock saat tahu mobil Dave masuk ke dalam jurang." perlahan cairan bening dari mata Bima tumpah.

"Aku menyuruh beberapa orang untuk mencari keberadaanmu dan juga Dave."

Gingga menoleh dan menemukan Bima yang dengan tulusnya menangis. Menangis untuk dirinya yang kelewat khawatir. Gadis itu memberanikan diri menghapus jejak air mata di pipi Bima.

"Kamu mau ikut aku ke suatu tempat?" tanya Bima pelan.

"Kemana?"

**

Vomment Please...

__Paprika Merah __

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang