Bagian Kelimabelas

5.9K 355 1
                                    

Meskipun mama ku orang kepercayaan bu Tia, aku tetap saja nggak merasa di anak emaskan. Ini terbukti aku harus ikut interview bersama dua orang calon peserta lain. Hal seperti ini aku sudah pernah merasakannya.

Bedanya saat pertama aku memasuki ruangan Dave, dia melihatku nggak berkedip sampai aku duduk di depannya. Kalau saja pak Yudi nggak menyenggol tangan Dave, mungkin dia masih saja memandangiku.

Kesan pertama yang aku lihat dari Dave, dia sangat tenang pembawaannya. Sesekali mataku nggak sengaja bertemu dengan mata hitam pekat miliknya. Disitulah aku mulai merasa..aku menyukai bosku sendiri.

"Ratu Gingga." sebuah suara mengintrupsi lamunanku. Aku langsung berdiri dan masuk ke ruang bu Tia selaku CEO PT Permata Hijau.
Perusahaan yang bergerak di bidang properti ini semoga memberikanku kesan yang lebih baik dari sebelumnya.

Bu Tia tersenyum padaku dan menyuruhku untuk duduk di kursi yang berada di seberangnya. Meskipun ini yang kedua kalinya aku melakukan interview, tapi gugup masih saja terasa.

"Jelaskan tentang diri anda." kata bu Tia. Aku mengangguk dan menghela nafas sebentar.

"Nama saya Ratu Gingga, usia dua puluh enam tahun. Pendidikan terakhir saya lulus S1 Sarjana Ekonomi di universitas Khatulistiwa. Sebelumnya saya pernah bekerja di Maharaja Group dengan posisi sekretaris." kataku dengan lantang.

Bu Tia tersenyum padaku sambil membuka-buka CV yang aku kirimkan dua hari yang lalu. "Kamu sudah tau kan posisi apa yang saya cari? Saya nggak meragukan kemampuanmu karena yang saya lihat dari track record kamu. Mulai besok kamu bergabung dengan PT Permata Hijau. Terima kasih."

I'm speechless. Aku diterima bekerja disini! Yeayyy..setelah mengucapkan terima kasih, aku pamit keluar dari ruang bu Tia. Semoga dengan pekerjaan baruku ini, dengan mudahnya aku melupakan hal-hal yang dapat menganggu karirku.

Masih ingat kan obsesiku? Yap, aku ingin punya karir bagus dan akan menikah dengan pria mapan. Sepertinya nggak terlalu kaya raya nggak apa-apa. Yang penting cowok itu harus bisa mencintaiku sepenuhnya itu saja sudah cukup.

**

Aku merogoh handphoneku yang tersimpan di dalam tas. Nama Satria terpampang di layar. Untuk apa bocah itu menghubungiku.

"Ada apa adikku tersayang?" tanyaku.

"Mbak Gingga dimana? Cepetan pulang. Please pulang sekarang!" seru Satria lalu mematikan telpon sepihak.

Kenapa dia berubah jadi panik. Apa yang terjadi? Jangan-jangan ada perampok di rumah atau..ah aku segera menyuruh supir taksi menambah kecepatan.

Saat aku turun dari taksi, aku melihat mobil Pajero putih milik Bima terparkir rapi di halaman rumah. Aku merasa ada yang nggak beres dengan Bima dan Satria.

"Assalamualaikum." salamku. Aku melihat Bima duduk manis di ruang tamu rumahku dengan Satria.

"Waalaikum salam. Udah lama nggak ketemu ya." ucap Bima dengan ekspresi dingin. Tak seperti biasa yang terlihat santai.

"Kamu ada perlu apa kemari?" tanyaku nyaris tanpa suara. Setengah mati aku berusaha menghindar darinya ataupun dari sepupunya tapi kenapa dia masih saja mencariku.
Dia bangkit dari sofa dan menghampiriku yang masih mematung di depan pintu.

"Nggak ada kabar, kemana saja?" tanya Bima. Aku menunduk dan mengulin ujung kemejaku.

"Aku? Aku nggak kemana-mana. Gimana kabar oma? Sehat-sehat kan?" tanyaku berapi-api dan sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Nggak usah mengalihkan topik pembicaraan. Aku tanya sekali lagi, kamu kemana saja? Nomer kamu nggak aktif lagi." Bima meraih daguku agar aku mau menatap matanya.

"Aku kan sudah bilang, aku nggak kemana-mana Bima. Aku masih disini." jawabku dengan emosi tertahan. Kenapa justru Bima yang mengkhawatirkanku? Bukan Dave, orang yang aku suka?

Rasanya mataku sudah nggak bisa menahan cairan bening yang sebentar lagi akan tumpah. Tanpa aku duga sebelumnya, cowok rese ini membawaku dalam pelukannya.

"Aku belum sempat bilang terima kasih ke kamu karena sudah menyatukan aku dan oma.."

Seulas senyum aku bingkai di wajahku. Ini yang aku harapkan kalau Bima nggak akan pernah kesepian lagi. "..kenapa aku selalu nomer dua Ging? Mulai dari perhatian oma sampai perhatianmu?" lanjut Bima.

Aku yang nggak paham kemana arah bicara Bima dan memilih melepaskan tubuhku dari Bima. "Maksud kamu?" tanyaku. Kedua tangan besar Bima menangkup pipiku sambil menghapus jejak air mataku.

"Dave menyukai mu Gingga. Dia frustasi saat kamu mengundurkan diri dari kantornya. Aku belum tahu apa yang terjadi sama kalian.." aku menggigit bibir bawahku agar aku nggak menangis terlalu kencang.

"..kamu tahu, Dave itu nggak mudah untuk jatuh cinta. Dia hanya memilih satu gadis kalau dia merasa benar-benar nyaman dengannya." ujar Bima. Aku mendorong pelan tubuh Bima.

"Aku capek Bim. Aku mau istirahat. Maaf aku nggak bisa ngobrol banyak sama kamu."

Aku meninggalkan Bima sendiri di ruang tamu. Maafin aku Bim. Tapi jujur, aku belum bisa berdamai dengan perasaanku sendiri. Satu sisiku mengatakan aku lelah dan sudah seharusnya aku menyerah. Namun satu sisiku berkata, kejar cintamu sampai benar-benar dia mengatakan cintanya sendiri di depanmu.

**

Ini hari pertamaku bekerja di tempat baru. Aku menolak berangkat bareng mama karena aku nggak mau jadi bahan pergunjingan diantara karyawan lain.

Aku memilih naik taksi dan menyandarkan tubuhku di kursi belakang sambil menatap jalanan ibu kota yang macet.
Setengah jam kemudian, aku tiba di Permata Hijau. Aku menatap bangunan kantor tersebut sambil berkata selamat datang rezeki baru.

Aku langsung menuju lantai 3 dimana ruang bu Tia. Di lantai tiga ini terdapat ruang CEO dan ruang kosong khusus rapat direksi. Tepat di depan ruang bu Tia, ada meja khusus sekretaris. Sama seperti di Maharaja Group.
Mengingat nama itu membuat perutku sedikit tergelitik.

Lebih baik aku duduk saja di single sofa sambil membaca majalah yang terdapat di kolong meja.

"Selamat pagi Gingga. Pagi sekali kamu datang" sapa bu Tia.

Lantas aku menaruh kembali majalah tersebut dan berdiri. "Sudah seharusnya saya datang lebih awal, bu" jawabku sambil tersenyum.

"Baiklah, ikut ke ruang saya" aku mengekor di belakang bu Tia. Ruang bu Tia nyaman dan banyak lukisan antik khas bumi Borneo. Yang aku tahu dari mama, bu Tia memang asli Pontianak, Kalimantan Barat.

Hari pertama ku sukses aku kerjakan. Tugasnya pun belum berat. Aku melirik jam di tangan kananku. Sebentar lagi saatnya istirahat. Sepertinya ke toilet bukan hal yang sulit mengingat bu Tia masih belum sering meminta bantuanku.

Lantas aku bangkit dari kursiku dan mencari toilet di sekitar lantai tiga ini. Samping lift persis, disana ada toilet.

Ting!

Suara lift berdenting. Lalu keluarlah seorang cewek cantik dengan peplum dress yang membalut tubuh rampingnya. Wajahnya familiar. Aku sepertinya mengenal cewek yang sama-sama memandangiku dengan tatapan bingungnya itu. Tapi siapa??

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang