Bagian Keduapuluhtujuh

5.3K 295 9
                                    

Kami bertiga menghabiskan waktu seharian untuk bersama. Ya, aku dan kedua temanku jalan-jalan ke seluruh tempat-tempat wisata yang ada di Jakarta.

Kami memulai petualangan kami dari Monas. Berhubung ini hari libur, terpaksa kami nggak naik sampai ke puncak Monas karena antriannya mengular. Kami sepakat untuk nggak ikutan antri. Kami harus mengunjungi beberapa tempat lain lagi sebelum hari gelap.

Setelah dari Monas, kami naik transjakarta ke kota tua. "Girls, kita beli gelang yang sama yuk" ajak Sinar. Aku dan Indri langsung mengangguk setuju.
Gelang sederhana yang hanya terbuat kayu dan ada nama kami masing-masing.

Matahari sudah sangat tinggi dan terpaksa kami berteduh di dalam museum kaca. "Kamu jadi pergi ke Amerika?" tanya Indri. Sinar pun ikutan mengangguk.

"Jadi dong. Tiket pesawat, apartemen, paspor semua formulir yang dibutuhkan sudah aku siapin semua. Uhh nggak sabar pengen cepat-cepat kesana deh!" seruku. Lain hal denganku, mereka berdua nampak sedih.

"Kamu udah nggak mau temenan sama kita lagi ya?" gumam Indri sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kok kamu gitu ngomongnya? Jelas nggak lah. Aku bakalan sering kasih kabar ke kalian kok"

"Buktinya kamu pengen cepat-cepat pergi dari sini. Itu sama saja kamu sudah nggak mau ketemu kita lagi, kan?"

Dapat pemikiran darimana mereka. Tentu saja nggak lah.
Kemudian aku yang duduk di tengah-tengah, merangkul bahu kedua sahabatku ini. "Aku akan merindukan masa-masa seperti ini, girls. Percaya deh"

Kami belum puas. Bahkan kami berharap waktu berjalan sangat lamban agar satu hari ini terasa bermakna untuk kami.
Indri mengusulkan agar kami pergi ke.pantai Ancol. Dan lagi, kami merasakan semilir angin pantai yang membelai rambut kami. Dalam diam aku sebut namanya. Dave, aku mencintaimu.

◆◆

Oma datang ke rumahku saat aku baru saja turun dari mobil Sinar. Dahiku berkerut ada apa oma menyempatkan diri berkunjung ke rumahku.

Mataku hampir copot karena mendapati oma nggak sendirian ke rumahku. Melainkan bersama tante Sarah-mamanya Dave.
Ada apa ini?

"Gingga, darimana saja kamu? Ibu Sarah dan oma nungguin kamu dari tadi" kata mama sambil menghampiriku yang masih mematung di depan pintu.

"Gingga pamit sebentar untuk mandi. Nggak enak badan bau asem" kelakar ku. Oma dan tante Sarah mengerti lalu mengizinkan aku untuk mandi terlebih dulu.

Sesampainya di kamar, aku harus dihadapkan dengan pemandangan yang cukup membuatku sesak. Di sudut kamar, tergeletak satu buah koper besar milikku dan sebuah tas ransel pink.

Barang-barang itu yang akan aku bawa selama aku di Amerika untuk menempuh pendidikanku.

♥♥♥♥♥

Saat yang lainnya masih terlelap, Gingga sudah rapi di depan cermin yang berada di kamarnya. Sejenak dia menutup matanya dan menghela nafasnya lalu menghembuskannya ke udara.

"Kamu sudah siap, sayang?" tanya papa yang muncul tiba-tiba di kamar Gingga.
Lalu dia mengusap wajahnya gusar.

"Aku sudah siap, pa" jawab Gingga. Papanya memeluk tubuh Gingga erat sebelum dia benar-benar melepas kepergian putri sulungnya.

"Papa akan merindukanmu, little princess"

"Pa, aku bukan little lagi. Tapi big" rengek Gingga sambil mengerucutkan bibirnya. Papanya yang gemas mencubit kedua pipi Gingga.

Dengan diantar kedua orang tuanya, Satria dan bu Tia, Gingga sudah sangat siap untuk meninggalkan tanah kelahirannya demi menuntut ilmu di negeri orang selama kurang lebih empat tahunan.

"Jaga dirimu baik-baik sayang. Kamu sudah bawa mantel kan? Mama takut disana lagi musim dingin" kata sang mama.

"Sekarang bukan lagi musim dingin, ma. Justru musim panas disana. Tapi aku tetap bawa kok" jawab Gingga. Dia bergeser sedikit ke hadapan papanya. Dipandanginya lekat-lekat sosok tampan di hadapannya kini. Sang kepala rumah tangga.

"Ingat pesan papa. Jaga dirimu disana. Jangan sering keluyuran malam-malam. Disana lebih menyeramkan daripada suasana Jakarta. Papa ingin kamu cepat pulang sayang" papa mencium kening putrinya dengan hangat.

Kali ini Gingga menghadap bu Tia. Wanita setengah baya itu meneteskan air matanya. Air mata yang Gingga yakin sebuah penyesalan berat. Gingga langsung memeluk bu Tia. "Terima kasih, bu. Ini memang impian saya dari dulu. Jaga diri baik-baik ya bu. Sampaikan salam saya buat Alina" bisik Gingga.

"Maafkan saya Gingga.."

"Ini bukan kesalahan, bu. Ini namanya jalan takdir. Sekali lagi terima kasih atas kesempatan emas ini" ujar Gingga. Diam-diam air matanya menetes perlahan membasahi baju bu Tia.

And the last. Satria. Adik kesayangannya sekaligus teman berantemnya.

"Jagain mama sama papa. Jangan keluyuran kalo malam-malam" kata Gingga sambil berkacak pinggang di depan Satria.

"Itu kan nasihat papa tadi. Kenapa dibalikin ke aku? Tapi, oke deh Satria akan jaga mama sama papa. Aku bakalan yang menguasai rumah. Aku bakalan menghabiskan stock es krim di kulkas"

Pletak..

Gingga menjitak kepala Satria hingga cowok itu meringis sakit. Nggak lama Gingga menarik Satria ke dalam pelukannya. "Belajar yang bener. Mbak tunggu kamu di kampus itu. Kurangi waktu pacarannya. Fokus sama sekolah ya adikku sayang"

Papa datang dan melepaskan adegan tangis menangis sambil berpelukan ala-ala sinetron. "Pesawat kamu sudah mau berangkat, Ging. Sekali lagi, save flight ya sayang"

Gingga mendorong trolly yang berisi koper dan tas besar miliknya memasuki ruang pemeriksaan. Dari balik pintu.kaca Gingga masih melihat keluarganya di luar.

"America, wait for me!"

◆◆

In other place..

Dave sudah siap pagi ini. Rencananya dia akan menjemput Gingga dan mengajaknya untuk 'melarikan diri' sehari saja dari pekerjaannya di kantor.

Suasana di ruang makan pun nggak banyak yang terjadi. Hanya suasana hening dan sepi. "Mau kemana kamu, Dave pagi-pagi? Dan kenapa kamu justru pakai baju casual gitu?" tanya oma bingung.

Dave kemudian mencium pipi oma setelah itu mencium mamanya. Lantas dia duduk di sebelah Bima yang sedang menikmati sandwichnya.

"Mau ke rumah Gingga. Aku mau menculik dia. Boleh kan sehari saja aku melarikan diri dari kantor oma?" tanya Dave dengan mengangkat kedua alisnya.

Semua yang berada di ruang makan hanya bisa saling pandang. Namun Bima pura-pura nggak ambil pusing. "Dave.." panggil mamanya.

"Dave buru-buru ma. Takut kesiangan dan jalan tol takut macet parah. Bye semua" Dave pun langsung pergi menuju pintu.

Entah kapan terakhirnya dia pernah tersenyum seperti ini. Langkah kakinya pun terasa sangat ringan. Inilah semua efek dari jatuh cinta lagi. Jatuh cinta pada gadis yang benar.

Jalan ibukota memang nggak pernah sepi. Namun nggak biasanya dia nggak mengutuk suasana yang sangat membosankan ini. Segudang rencana sudah dia persiapkan untuk membuat kejutan untuk gadisnya itu.

Cinta hanyalah cinta hidup dan matiku untukmu

Mungkinkah semua tanya kau yang jawab

Dan tentang seseorang itupula dirimu

Ku bersumpah akan mencinta...

Lagu yang masih sangat easy listening ini mengalun indah di dalam mobil Dave menemani perjalanannya.

"Gingga tunggu aku" batinnya.

------

Happy reading and vomment please.

Makasih buat yang setia sama mereka di 3S. Makaasiihh banyak yaa
*bungkuk dalam dalam*

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang