Bagian Keduapuluhtiga

5.5K 303 8
                                    

"Sepertinya kamu cukup mengenal ibu Noe" kata bu Tia tiba-tiba saat aku sedang sibuk melamun di dalam mobilnya. Selalu saja aku nggak pernah siap dapat pertanyaan dadakan seperti ini. Tampangku pasti sangat bodoh sekarang.

"Maaf kalo saya mengejutkanmu, Gingga. Oke sekali lagi saya tanya, sepertinya kamu cukup mengenal baik ya ibu Noe-omanya Dave"

Ini pertanyaan atau pernyataan sih? Apa aku harus bilang kalau oma pernah menjodohkanku dengan Dave yang statusnya sekarang pacarnya Alina-anaknya sendiri.

"Gingga.." panggil bu Tia pelan.

"Hmm..saya kan dulu sekretarisnya pak Dave. Jadi ibu Noe sering datang dan nggak jarang mengajak saya ngobrol atau makan siang" jawabku setenang mungkin agar bu Tia nggak curiga.

Bu Tia hanya mengangguk saja.

◆◆

Mobil Pajero putih itu sudah terparkir di depan kantorku. Tapi aku nggak menemukan si pemilik mobil. Baguslah lebih baik dia nggak usah menampakkan wajahnya di depanku.

"Tarrraaa....." Bima mengagetkan aku dari belakang. Suaranya itu loh besar banget. Bisa buat telingaku kapalan nih.
Wajah khasnya yang selalu dilengkapi senyum lima jarinya memang nggak pernah pudar. Apa seperti itu ekspresinya kalau sedang bertemu orang lain selain aku?

"Baru pulang kerja ya, mbak?" godanya sambil mencuil-cuil daguku. Hampir saja jarinya aku gigit.

"Nggak. Aku baru pulang macul di sawah" jawabku jutek. Dia tertawa lebar. Lebar banget sampai-sampai becak juga bisa masuk ke dalam mulutnya.

"Ayo.." dia menarik tanganku untuk segera naik ke mobilnya. Aku sama sekali nggak menolak paksaannya kali ini.

♥♥♥♥♥

"Kamu kenapa sayang?" Tia baru saja tiba di rumahnya namun mendapati kamar Alina yang seperti kapal pecah.
Tia meletakkan tas kerjanya di atas meja rias milik Alina.

Nggak seperti biasanya Alina yang tampil dengan sempurna, hari ini dia berubah menjadi seorang monster.

"Alina.." Tia mendekat ke arah putrinya yang berada di atas ranjang dengan posisi menelungkup seperti bayi.

"Katakan pada mami, sayang. Ada apa ini?" tanya Tia sekali lagi.

Alina menampilkan wajah berantakannya. Sang mami pun dibuat terkejut. Hidungnya memerah begitu pun dengan matanya. Ditambah maskara serta lipstik yang sudah nggak tentu arah. Gadis itu mengulurkan tangannya hendak membuka laci nakas.

"Ini, ini maksudnya apa mi?" tanya Alina sambil memberikan mamanya sebuah map berwarna merah. Tia sangat terkejut saat mengetahui apa isi map tersebut. "Apa Alina bukan anak kandung mami? Iya? Jawab aku, mami!"

Alina menolak untuk dipeluk sang mami sebelum dia mengetahui dengan jelas maksud dari isi perjanjian adopsi tersebut.

"Mami divonis dokter untuk nggak bisa memiliki anak karena rahim mami harus diangkat. Mami hopeless saat itu.." ada jeda sejenak sebelum Tia kembali melanjutkan ceritanya.

"..papi mu menyarankan untuk mengadopsi anak dari panti asuhan, sayang. Tapi percayalah kalo mami dan papi nggak mempermasalahkan statusmu di keluarga ini. Mami akan berusaha memenuhi kebutuhan kamu. Mami akan membahagiakanmu dengan cara apapun, Alina"

Emosi Alina mulai sedikit mencair dan Tia langsung memeluk tubuh Alina dengan erat. "Mami mau lakukan apa saja untuk kebahagiaan Alina, kan?"

Tia mengangguk di balik punggung Alina. "Ya sayang. Apapun selagi mami bisa. Memangnya apa yang kamu minta dari mami?"

Alina menyeringai licik.

◆◆

"Kak Gingga! Mau berangkat kerja ya?" seru Caca dari atas motor Scoopy-nya. Duh pagi-pagi mesti ketemu nih bocah. Sebisa mungkin aku memperlihatkan senyum manisku pada anak pak RT ini.

"Ya, Ca. Emangnya kenapa? Mau anterin aku ya? Nggak usah repotin ah, makasih" kataku dengan geer. Ya kali saja kan, daripada aku harus keluar komplek baru dapat taksi. Kan mendingan nebeng sama Caca.

"Hmm..maaf kakak ipar, Caca nggak bisa anter. Soalnya Caca sudah janji sama ayang Satria buat berangkat bareng. Nggak apa-apa kan? Besok-besok lagi ya" katanya. Tak lupa memperlihatkan deretan kawat berduri di giginya yang berwarna pink.

Untung saja setiap pagi aku sarapan pakai nasi goreng, coba kalau sama roti tawar, bakal aku jadiin selai dia terus aku taruh di dalam toples kaca. "Yaudah deh kakak ipar, Caca duluan ya. Dadah.."
Aku lebih baik mengabaikannya daripada membuat mood ku di pagi ini berantakan.

Tin..tin..tin..suara klakson memekakan telingaku. Ini pasti Caca. Mau apalagi itu bocah. Saat aku berbalik, ternyata..aku mendapati seorang pria setengah baya turun dari mobil Alphard-nya. "Apa kamu yang bernama Gingga?" tanya pria itu padaku.

Hey, siapa gerangan? Kenapa bisa tahu namaku? Apa dia seorang cenayang?

"Saya bukan cenayang, saya Ahmad Dandri. Papa kandungnya Bima. Kamu pasti mengenal putra saya kan?" Pria bernama Ahmad Dandri itu tersenyum ke arahku.

Aku mengangguk bodoh. Papa kandungnya Bima? Jadi beliau juga anaknya oma?

"Maaf, ada urusan apa bapak ingin bertemu saya?" tanyaku gugup.

"Nanti siang temui saya di restoran KOKi dan ini kartu nama saya. Saya ingin banyak cerita sama kamu" papanya Bima memberikanku selembar kartu nama berwarna gold padaku.

Disana tertera nama Ahmad Dandri selaku direktur di PT. Graha Nuansa. Setahu aku itu perusahaan dibidang pertambangan.
Wow!! Amazing!! Saat aku mulai sadar, ternyata pak Ahmad Dandri sudah masuk ke dalam mobilnya kembali.

Aku tiba di kantor sebelum bu Tia datang. Seperti biasa, aku memeriksa ruangan bu Tia. Kali saja dia ingin aku membuatkan sesuatu untuknya. Tapi hari ini berbeda. Bu Tia sedang terlihat melamun sambil melihat jalan ibu kota dari balik jendela ruangannya.

"Selamat pagi, bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Bu Tia membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku. Bu Tia nampak seperti habis menangis. "Apa ibu baik-baik saja?" tanyaku sekali lagi.

Lalu bu Tia duduk di kursi kebesarannya. Sesekali bu Tia menghela nafas dengan rakus. Aku pun semakin bingung dibuatnya.

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan Dave Maharaja, Gingga?" pertanyaan ini membuatku menaikkan alis sebelah. "Apa kamu menyukai dia? Jawab saya, Gingga"

Aku harus jawab apa? Apa aku harus bilang 'iya'. No no no..aku takut bu Tia akan marah karena berani-beraninya menyukai pacar anaknya.

"Apapun perasaanmu sama Dave, saya mohon kamu jauhi Dave. Kamu tahu kan kalo dia adalah pacarnya Alina.." lagi-lagi bu Tia mengambil nafas.

"..saya menyayangi Alina meskipun dia bukan lahir dari rahim saya. Saya akan melakukan apapun untuk kebahagiaannya"
Tubuhku kaku bagaikan tersengat listrik ribuan volt. Jadi Alina bukan anak kandung bu Tia?

"Saya sudah berjanji pada Alina untuk membuatmu menjauhi Dave. Sebenarnya saya tahu kalau Dave nggak mungkin menerima Alina kembali karena dulu dia pernah dikecewakan Alina. Tapi saya nggak bisa untuk menolak permintaan Alina itu. Alina pun tahu kalo Dave sebenarnya mencintaimu. Gingga, saya mohon lakukan satu hal untuk saya. Saya nggak mau kehilangan Alina. Saya...nggak mau Alina membenci saya"

Mulut dan mataku sukses melebar. Tuhan, bagaimana ini? Bu Tia meratap padaku demi anaknya. Apa yang harus aku lakukan?

------

Happy nice week'N, happy birhday, happy fasting and...happy reading!!

Vomment terus ya say, eh betewe nih cerita ngebosenin nggak sih?
Kasih tau aku dong!!

Makasih buat kalian semua yang baik..aku doain deh semoga yang ngevote di tambahkan rezekinya sama Tuhan. Yang jomblo biar dapet pacar, yang masih sekolah semoga lulus dengan nilai memuaskan, yang kuliah biar cepet-cepet lulus dan dapet kerjaan bagus. Yang bekerja, semoga naik pangkat. *ucapkan amin bareng bareng*

Lophe,
221092♥

Segitiga Sama SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang