Terakhir deh ya ini, hehe..
Happy Reading guys
Waktu masih berputar dengan cara yang sama. Sebagaimana bumi berputar pada porosnya. Waktu pun berputar menuju titik puncaknya untuk kemudian kembali berulang.
Waktu terasa melambat bagi beberapa insan yang berselimut duka. Bisa juga bergerak lebih cepat untuk mereka yang berkawan dengan ambisi. Anehnya, waktuku seolah terhenti tepat selepas kepergian mu.
Jantung ini masih berdetak dengan irama yang sama. Hanya saja, tak ada debaran yang dulu sempat lahirkan senyum, tinggalkan semu.
Yang tersisa kini, hanya..
Seulas senyum yang diiringi kalimat: I'm okay, I'm fine, and will be fine, adalah kebohongan terbesarku selepas pulangmu.
Setidaknya, begitulah caraku bertahan.
Setangkai Lily putih yang di balut rangkaian baby breath di letakan di atas pusara. Seolah menggambarkan tulusnya cinta akan amerta meski tersekat dunia yang tak lagi sama.
"Hai. Gimana kabar kamu?"
"Aku jauh dari kata baik, tapi memaksa untuk tetap baik." Dia tersenyum. "Kamu pernah bilang, bersyukur adalah satu-satunya seseorang menciptakan kebahagiaannya sendiri. Tapi apa yang mesti aku syukuri, Ta? Kepergian kamu?"
Ada jeda sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Papa emang udah kembali nerima aku sebagai anaknya, tapi dia juga udah bahagia sama keluarga barunya. Mama—" lagi-lagi gadis itu tersenyum getir. Kali ini rembasan di matanya lolos. "Mama masih nggak berubah. Bahkan, sekarang Mama lebih sering tidur di luar dan jauh lebih nggak peduli. Mama selalu bilang nggak mau anaknya gila, tapi dia nggak pernah mau ngertiin perasaan aku."
"Ma'af.. Ma'af, lagi-lagi aku datang cuma buat nangis." Sekuat tenaga Qila menahan air matanya agar berhenti. "Aku kangen kamu, Alta.."
"Kemarin aku sama Clarra ke rumah Kak Melly, ketemu Kak Allena juga di sana. Mereka banyak cerita tentang kamu. Nyesel deh nggak pindah ke Jakarta dari dulu. Harusnya kita ketemu lebih awal—"
Gadis itu terus bercerita meski sadar tidak akan pernah pendapat respon dari seseorang yang sudah tertidur di bawah sana. Tidur dalam keabadian.
Qila menoleh ketika seseorang menyentuh pundaknya. "Tante?"
Wanita paruh baya itu tersenyum hangat. Mengusap rambut Qila sebelum beralih pada pusara putra bungsunya.
"Jagoan Mama, gimana di sana? Pokonya harus bahagia ya, sayang."
Natalie terlihat begitu tegar. Tidak ada air mata saat mengunjungi rumah terakhir Alta. Kendati begitu, masih jelas terlihat kantung mata yang membengkak. Ibu dari pria yang di cintainya itu masih berusaha untuk ikhlas. Sama seperti dirinya.
"Tenang aja, pacar kamu aman sama Mama." Natalie terkekeh pelan. "Kamu cukup bantu jagain dia dari atas, Nak. Jangan terlalu erat meluk gadis malang ini." Natalie merangkul Qila. "Kasian, lukanya udah banyak. Izinin dia buat nemuin kebahagiaannya yang baru."
Sontak gadis dalam rangkulan Natalie menumpahkan air matanya. Tidak sedarah, tidak ada ikatan batin, tapi Natalie sangat memahami perasaanya. Kapan Mama bisa kayak gini Ma..
"Nggak papa. Anggap Tante seperti Mama kamu sendiri, ya. Kamu sudah seperti anak Tante sejak Alta bawa kamu ke rumah."
"Makasih, Tan."
"Mama."
Qila tersenyum. "Makasih, Ma." ulangnya.
"Pulang ke rumah Mama, ya? Nanti Mama yang bilang sama Valleri."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAQILA [END]
Подростковая литература⚠️HARAP FOLLOW DULU SEBELUM BACA! #BELUM REVISI "Bahkan aku sudah jatuh terperangkap di labirin hatimu. Menolak beranjak, memilih menetap."-Alta "Gak ada yang boleh ambil senyum kamu, atau dia akan celaka di tangan aku," ujarnya menegaskan bahwa tid...